Neighborhood Six Park Ang Mo Kio yang cukup berangin. Hembusannya sanggup merontokkan bunga-bunga sonokeling yang dahan-dahan raksasanya meneduhi sebagaian besar taman. Hujan bunga sonokeling seperti musim gugur di negeri-negeri yang punya empat musim. Bunga kuning kecil memenuhi seantero pelataran taman. Mengurapi udara dengan baunya yang segar.
Di taman bermain, empat bocah terlihat berlari-lari gembira di antara sejumlah alat bermain yang dipasang di tengah taman. Juga anak saya, Ken; yang larut bersama mereka. Saling kejar, saling teriak, dan kadang muncul pertengkaran kecil merebutkan tempat bermain di antara mereka. Saya dan beberapa orangtua yang menemani anak-anak mereka bermain, memilih duduk di bangku-bangku kayu pinggiran taman sembari memperhatikan mereka bermain.
Neighborhood Six Park adalah taman yang menjadi tempat bermain favorit anak saya bermain. Letaknya cuma lima menit berjalan kaki dari rumah tinggal kami di Hougang, Singapura. Di sekitar tempat tinggal saya, sebetulnya ada tiga taman bermain lainnya yang tak kalah bagusnya. Namun di Neighborhood Six Park ada trek-trek mirip jalan raya lengkap dengan rambu-rambu lalu-lintasnya, agar bisa mengedukasi anak-anak menggunakan jalan raya. Dan karena trek ini lah, anak saya yang menggilai mainan semua jenis kendaraan, menjadikan Neighborhood Six Park sebagai tempat favoritnya bermain. Dengan scooternya, di trek itu, dia mengibaratkan seolah-olah menyetir kendaraan berkeliling kota.
Keliling kota Batam atau Singapura? Ah, Ken pasti menjawab “Batam”. Karena hanya di Batam, dia bisa minta jalan sepuasnya dengan jeep butut bapaknya.
Sabtu siang itu di akhir bulan Juni 2012 itu kian meriah oleh suguhan orkestra burung-burung penghuni taman. Seekor kepodang berbulu kuning indah berpelesir hitam berkoak-koak, mungkin memanggil pasangannya. Suaranya menggelegar, seperti pukulan drum di antara kicauan burung-burung lainnya yang lebih kecil seperti prenjak, kolibri, jalak hitam paruh kuning, kacer, dan bahkan cucak hijau.
Saya yang dulu sempat menggemari burung kicauan dan sempat punya puluhan ekor di Malang, seakan diingatkan kembali pada masa-masa ketika punya hobi memelihara burung itu. Tapi di sini, di Singapura, indah kicauannya bisa dinikmati dengan merdeka. Burung-burungnya hidup merdeka. Tidak di dalam sangkar yang tidak merdeka. Bahkan saya sering melihat burung anis atau punglor terbang bebas di taman-taman di Singapura.
Anda yang menggemari burung kicauan, mungkin akan ngiler mendengar saya menyebut beberapa nama burung di atas. Anis dan cucak hijau misalnya, ini salah satu burung “berharga” bagi penggemar kicauan di Indonesia. Ayah saya dulu sempat punya sebiji cucak hijau, sempat memenangi beberapa kontes kicauan, dan harganya terdongkrak hingga belasan juta. Di alam bebas di Indonesia, cucak hijau sudah sangat sulit dicari. Nilai ekonomisnya yang tinggi, membuat burung ini diburu banyak orang untuk diperjual-belikan. Sama halnya dengan kacer, kepodang, bahkan prenjak yang mungil dan biasanya pagi-pagi menyapa kita dengan kicauannya di pelataran rumah, kini sudah tak bebas lagi hidup di Indonesia.
Hanya KORUPTOR dan PREMAN saja yang bisa bebas merdeka di Indonesia!
Neighborhood Six Park hanyalah taman mungil seluas dua kali lapangan sepakbola yang berada di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Dikelilingi gedung-gedung flat tinggi, dan diselingi lalu-lintas padat kendaraan yang memberikan tambahan suara gaduh, sebetulnya taman ini bukanlah taman ideal bagi komunitas burung-burung yang saya sebutkan di atas. Belum lagi segala kegiatan ada di sana: mulai dari gaduh anak-anak yang bermain, hingga kakek-nenek yang kerap menggelar acara joget sehat bersama-sama.
Tapi, seolah cuek dengan segala kegaduhan, burung-burung itu bebas merdeka di Neighborhood Six Park. Hidup bersama dan berdampingan dengan orang-orang di sana yang juga memberi kemerdekaan pada burung-burung itu. Tidak ada penangkapan, apalagi pemandangan remaja-remaja bawa senapan angin berburu burung untuk dipanggang. Di Singapura, ada aturan ketat memelihara burung kicauan. Apalagi menangkap burung liar untuk dipelihara. Dan bebasnya kepodang dkk hidup di alam bebas Singapura, membuktikan bahwa penggemar burung kiauan di Singapura menaati aturan pemerintah.
**
Aturan dibuat, “kadang” untuk dilanggar! Sebagian orang memahami seperti itu. Tapi orang Singapura, sepertinya terlalu sibuk untuk melakukan pelanggaran dengan sekedar berburu burung liar di alam bebas. Di negeri kecil “depan rumah” kita itu, bejubel lowongan kerja yang memberikan penghasilan bagus untuk membuat rakyatnya sibuk. Hingga enggan melanggar aturan.
Tidak ada orang yang bahagia punya pekerjaan merusak alam, termasuk menghabiskan burung-burung liar di alam untuk diperjualbelikan. Karena hakikatnya manusia itu adalah makhluk indah yang suka akan keindahan. Siapa pun orangnya, pasti akan bahagia dan hidupnya akan lebih berwarna: ketika tiap petang bisa duduk di taman yang berudara sejuk sembari dihibur kicauan burung-burung liar.
Tapi kondisi tak jarang memaksa orang untuk merusak habitat mereka sendiri. Di Indonesia, demi alasan ekonomi dan tak ada pekerjaan burung-burung dijaring untuk kemudian dijual dan uangnya ditukarkan sekilo beras. Jangankan seekor burung liar, jika perut sudah meronta, membunuh sesama manusia pun dilakukan.
Di Batam, jika ingin alam terjaga dan kicauan burung ada di pekarangan rumah kita; hal pertama adalah mensejahterakan rakyatnya. Dan itu pekerjaan pemerintah. Jika gagal, jangan-jangan kelak kita akan pergi ke Singapura hanya untuk mendengarkan kicauan burung prenjak.
*) Diterbitkan Minggu, 8 Juli untuk DIA