: dan pelajaran tentang betapa bodohnya Indonesia
Mbot’he. Itulah nama di kampung saya untuk talas yang wujudnya seperti di foto. Saya menjepretnya pada 14 September 2016 siang, di toko buah dan sayuran, saat mengantar Zak sekolah. Saya tertarik karena harganya yang “wah”, juga jarang-jarang nongol di pasaran sini, Singapura. Di pandangan pertama saya pada mbot’he, tiba-tiba juga membangkitkan ingatan saya di masa bocah/remaja.
Di kampung saya, Singosari, Malang, Jawa Timur, talas ini masuk kelas “sudra”. Yang berarti hanya orang yang benar-benar fakir dan kurang makan yang menkonsumsinya. Di Pasar Singosari, biasanya mbok-mbok tua miskin dari desa atas yang membawa barang sebakul dua bakul untuk dijual dengan harga yang betul-betul “menyedihkan”. Itupun biasanya bukan dagangan utama, melainkan cuma sekedar dagangan pelengkap ketimbang tidak membawa apa-apa dari gunung.
Tumbuh di mana saja, mudah sekali mengumpulkan mbot’he sekedar sekarung dua karung. terutama di tanah-tanah kosong di pinggir-pinggir sungai atau pojok-pojok sawah bersama belukar lainnya. Petani tidak menginginkannya, malah biasa dibasmi karena dianggap ngrusoni. Bocah-bocah kampung miskin yang hobi blakrak’an seperti saya, pasti akrab dengan tanaman yang berbiak lewat umbinya ini. Saya dulu, ketika sedang blakrak’an ke tegalan-tegalan, kerap njebol barang satu dua pohon, untuk kemudian membakarnya bersama pohong atau ketela curian. Minumnya? Tentu saja yang paling lezat adalah kelapa hijau, yang lagi-lagi curian entah siapa pemiliknya.
Tapi kami tidak pernah mencuri berlebihan. Hanya sekedar untuk menghapus lapar dan dahaga. Berkali-kali kami kepergok mencuri kelapa, ubi, atau sejenisnya. Petaninya hampir tak pernah marah berlebihan. Bahkan tak jarang, mereka cuma “berpura-pura marah”, untuk memberi pelajaran bagus bagi kami yang bocah-bocah. Alam Indonesia memang memberi apa saja kepada manusia. Bahkan kepada orang paling miskin sekalipun. Termasuk menganugerahkan petani yang baik hati.
Saya sendiri cukup menyukai rasa dan tekstur mbot’he yang lembut dan lengket, namun kadang sedikit gatal di mulut. Saya atau nenek biasa menyelipkan satu dua biji di sela menanak nasi dengan kayu bakar. Mbot’he biasanya ditanak tanpa dikupas dulu, cukup dibersihkan dari kotoran saja. Setelah masak, biasanya kita cukup menekannya dengan jari, untuk kemudian umbinya makcrut keluar dari kulit dan segeralah berpindah ke mulut kita.
Lha kok di Spore, sekilo $4,5. Rp 45 ribuan. Opo ora edan??!!
Saya jadi pingin berandai-andai; jika talas kelas “sudra” yang bisa tumbuh di mana saja bisa menjadi komoditi semahal ini, gimana dengan ragam hayati Indonesia yang begitu kayanya. Jika dulu BJ. Habibie tak “gaya-gayaan” mengembangkan pesawat dan lebih memilih mengembangkan tanaman seperti talas ini, mungkin Indonesia sudah menjadi negara adidaya pangan dunia, dan bukan pasar konsumen negara lain. Australia adalah contoh terbaik bagaimana pangan bisa menjadi kan mereka makmur. Dari tanah yang sebagai gurun itu, Australia sanggup memproduksi begitu banyak hasil bumi, mulai dari beras unggul hingga buah kiwi yang masam-masam masyuk itu. Mulai dari madu hingga daging sapi yang unggul itu. Dan kini, semua produk dari tanah Australia, begitu memenuhi pasar Indonesia yang punya bumi begitu makmurnya.
Jepang, meski begitu tingginya standar tekhnologi yang mereka punya, tapi petani-petani mereka, nelayan-nelayan mereka, hidup begitu makmur, gemah ripah loh jinawi, bangga pada profesi. Itu semua, karena selain mengembangkan tekhnologi membuat mobil, mereka juga tidak melupakan berikhtiar mengembangkan tekhnologi pertanian dan perikanan yang begitu hebatnya.
Nenek moyang Indonesia adalah petani dan nelayan. Dua hal ini menjadi pondasi utamanya, yang bahkan tidak perlu diajari bertanam atau menangkap ikan dulu, mereka sudah begitu ahlinya. Tapi, jaman terus berkembang, mereka tak bisa melakukannya dengan cara tradisional. Jika dulu Habibie memilih meriset tanaman-tanaman asli Indonesia, mengembangkan tekhnologi nelayan, memberi prioritas utama pada keunggulan bumi Nusantara ini, mungkin kita akan bisa lebih jaya dari Australia. Petani kita tak perlu berbondong-bondong ke kota mencari kerja. Tanah-tanah pertanian di desa tidak dijual untuk dibuat perumahan. Serta, gunung-gungung dan lembah tidak dijarah untuk dicari emas dan batubaranya.
Mbot’he, adalah sekelumit pelajaran berharga, betapa bodohnya kita yang memilih “bercerai” dengan alam, serta sejarah dan beradaban kita sendiri sebagai manusian Indonesia. Mbot’he adalah pelajaran yang mengingatkan kita, betapa kita sejauh ini sebagai nengara, tak pernah bersyukur dengan anugerah Gusti Allah berupa alam yang subur, yang kata Koes Plus, bahkan “tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman”. Andai saja, dulu, Tuan Habibie yang dulu menteri riset dn tekhologi tidak salah mengembangkan teknologi yang seharus betul-betul dibutuhkan Indonesia.
Andai saja….