Suatu ketika, seorang teman melempar tanya pada saya. Todongnya, “apa sih enaknya nulis?”. Karena kebetulan dia suka dugem, saya balik melempar tanya, “lha ente, apa enaknya dugem?”
Dia ketawa. Sesaat, dihisapnya dalam-dalam batang Sampoerna Mild yang sudah terbakar separuh. Dan saya meloloskan sebatang rokok merek sama miliknya. “Asyik aja”, jawabnya pendek. Saya juga menjawab dengan kata-kata yang sama atas pertanyaannya. Fair, bukan!
Banyak kalangan menganggap, menulis itu susahnya minta ampun. Lebih baik cerita langsung ketimbang menulis. Kebetulan saya sekarang dipercaya mengasuh halaman “Lembaran Kelam” di POSMETRO Kepulauan Riau. Di halaman itu, saya selipkan nomor HP dan e-mail saya, mengundang siapa saja yang punya cerita sedih dan tragis untuk berbagi dengan pembaca POSMETRO. Ratusan SMS saya terima. Tapi, tak satupun ada yang mau menulis lewat surat.
Ketika saya minta mereka mencurahkan kisahnya lewat surat, saya peroleh banyak jawaban berupa gelengan kepala. Ogah. “Ketemu aja deh, nanti saya ceritakan langsung. Saya nggak bisa kalau menulis,” begitu kira-kira SMS balasan yang sering saya terima. Sejauh ini, hanya sebuah e-mail curhat yang mampir ke e-mail saya. Itupun ceritanya ngalor-ngidul kagak karuan. Ironis.
Tapi tunggu dulu! Yang dimaksud susah di sini menulis apaan? Menulis blog? Surat pribadi? Proposal? Atau menulis pakai SMS? Murid-murid saya di SMP Bengkong jago-jago menulis surat pribadi. Mereka juga jago ber-SMS ria. Jago ngobrol sampai-sampai pelajaran saya tak pernah peroleh perhatian. Dan kalau diminta menulis sebuah cerita/kisah penuh khayalan, penuh imajinasi, kagak bisa babar-blas.
Ada banyak orang yang punya daya imajinasi tinggi, tapi letoy kalau disuruh menulis. Ada pula yang IQ-nya super, tapi menyusun kalimat-kalimat efektif saja tidak bisa. Di sini saya memberanikan diri menyimpulkan, enak menulis yang enak itu tidak butuh orang yang pinter-pinter amat. Orang tidak harus lulus Oxford University untuk bisa menulis enak. Tidak juga jadi “pujangga menara gading” untuk bisa enak menulis. Untuk bisa menulis, syaratnya cukup jadi manusia biasa saja.
Menjadi manusia yang gemar nongkrong. Gemar ngobrol dengan semua kalangan. Gemar ngopi di warung-warung nyungsep nan kotor. Gemar baca. Gemar seks (beberapa orang mensyaratkan demikian, he-he). Gemar memperhatikan bahasa tubuh orang lain. Gemar nonton film Hollywood (terutama yang bintangnya Julia Robert idola saya). Gemar ke toko loakan. Gemar memperhatikan apa pun. Dan gemar-gemar yang lainnya.
Mudah, bukan!
Setelah gemar apa saja, jangan lupa kegemaran diteruskan dengan gemar corat-coret. Kalau sekarang ada blog, ya gemar-gemarlah nulis di blog. Tulis apa saja. Tulis dengan percaya diri. Dengan catatan, tulisan yang enak dibaca selalu tulisan yang runut dan beralur cerita yang tidak putus-putus. Juga tidak meloncat-loncat. Apalagi sampai terputus.
Pelajaran mengarang di SD soal kerangka karangan, bisa menjadi panduan menulis yang mumpuni. Setiap paragraf punya satu ide/kalimat pokok. Kemudian dibumbui dengan beberapa ide/kalimat penjelas. Dan, ketika akan meloncat dari satu paragraf ke paragraf berikutnya, jangan lupa selipkan kalimat penghubung! Bingung? Saya juga. He-he-he. Pokoknya harus runut deh!
Memulai menulis (apa saja, terutama untuk posting blog yang berkemungkinan dibaca orang lain), ini biasa yang sulit untuk orang yang tidak biasa menulis. Memulai menulis, terkadang kita terjebak untuk menghadirkan hal-hal yang luar biasa. Hal-hal fantastik. Hal-hal yang bisa menunjukkan “kehebatan” kita. Ke-intelektualan kita. Ujung-ujungnya, di bagian tulisan berikutnya, kedodoran. Kehabisan ide. Ancur. Saran saya, mulailah dengan sesuatu yang sederhana. Apa adanya dan terus mengalir lancar.
Kalimat yang panjang membuat kita kecapekan. Memakai banyak akronim atau singkatan, membuat mata ogah membaca. Salah tulis, mencerminkan ketidakmampuan kita memanajemen diri sendiri. Sering menggunakan tanda baca salah, menciptakan malapetaka. Sok berbahasa asing, ini penyakit yang harus diperangi!!! Majalah Tempo yang punya slogan “enak dibaca dan perlu” kerap menggunakan kata-kata “ndeso” asal lebih populer di telinga dan mata kita. Kita korbankan rasa intelektual kita, untuk sebuah pencapaian tulisan yang enak dibaca.
Setelah selesai, jangan lupa tulisan kita edit dengan sejeli mungkin. Sederhana bukan.
Menulis dengan enak (baca: enjoy!) akan menghasilkan tulisan yang enak (dibaca).