: Ketika Blogger juga berebut “Amplop”
Woro-woro itu dibuat seorang Blogger, dan diposting di grup Facebook khusus pemilik blog di Kepulauan Riau yang saya ikuti. Pengumuman tersebut, dibuat untuk mengkoordinasi siapa-siapa Blogger yang sudah menulis artikel tentang launching sebuah hotel di Batam yang baru saja mereka ikuti. Agar tertib, tidak acakadut, dan tentu saja biar bisa lebih enak “nagih” janji pada pihak hotel. Janji bisa macam-macam, misalnya nginap gratis, atau makan-makan bagi Blogger yang sudah “bersusah payah” menulis review “angkat telor” hotel tersebut.
Jika misalnya Anda salah satu dari Blogger yang diundang, dan berharap bisa menginap gratis atau sekedar bawa keluarga Anda makan-makan gratis, apa yang kemudian Anda lakukan? Jelas akan menulis review yang baik-baik saja, bukan! Menyusun “tulisan indah” yang akan menyenangkan hati manajemen hotel. Mengesampingkan, hal-hal buruk yang Anda saksikan sendiri, semisal ada layanan minus, keamanan hotel yang amburadul, atau lift yang sering macet.
Lalu di mana letak persoalannya? Mari kita cari tahu bersama!
Di dunia jurnalistik, amplop (hehehe, tentu saja amplop berisi duit) adalah salah satu persoalan klasik bin rumit, yang sekaligus dicaci namun juga dinanti. Saya tidak ingin munafik, dan mengakui pernah beberapa kali menerimanya sepanjang 13 tahun lebih menjadi wartawan. Apalagi di awal-awal profesi saya menjadi wartawan, ketika belum benar-benar paham “efek negatif” dari amplop yang saya terima. Namun, seiring kematangan hati (tentu saja diiringi peningkatan penghasilan yang baik) saya kemudian menolak pemberian amplop. Bahkan, ketika misalnya saya diajak makan-makan dalam sebuah kegiatan jurnalistik, saya berusaha untuk pesan seminim yang bisa saya pesan.
Bukan karena saya sok suci, dan sok tak butuh duit. Untuk urusan prinsip/ideologi, saya adalah penganut KEBEBASAN, dan saya benar-benar TIDAK MENYUKAI ada orang yang di luar wewenangnya berani mengatur saya. Apalagi gara-gara amplop berisi seratus dua ratus ribu rupiah saja! Saya bahkan lebih bersedia MEMBAYAR kebebasan itu sendiri, dengan mengeluarkan uang dari kantong saya sendiri.
Kenapa saya sebut amplop itu masalah rumit, karena masalah itu tidak hanya bergantung pada pihak wartawan sendiri. Di lain pihak, pemberi amplop terkadang melakukan hal ini karena menganggap hal tersebut sudah biasa, sudah menjadi budaya. Satu wartawan mungkin menolak amplop, tapi ada seratus lainnya yang justru berharap. Jika misalnya saya bertemu/wawancara secara pribadi/ kelompok kecil dengan sumber berita, saya akan dengan mudah menolak pemberian amplop. Ini tidak sulit, saya hanya butuh menjelaskan prinsip yang saya pegang kepada si sumber, dan biasanya si sumber selalu paham dengan prinsip saya. Mereka tidak akan memaksa memberi amplop pada saya, dan saya pun tidak punya beban apa pun untuk menuliskan sesuai dengan kaidah jurnalistik yang saya pahami.
Tapi, seringkali situasinya tidak demikian. Saya sering terpaksa menerima amplop. Misalnya ketika diundang dalam sebuah konferensi rame-rame, dan amplop memang sudah disediakan oleh pihak perusahaan. Jika tidak diterima, amplop itu akan digasak panitia sendiri, dan pihak panitia tetap akan memberi laporan bahwa kita telah menerima amplop. Di situasi ini, saya terpaksa menerimanya, untuk kemudian uang tersebut – biasanya – saya bagikan pada cleaning servis di kantor, orang-orang yang saya temui di jalanan yang saya anggap membutuhkan, atau siapa saja. Saya berpikir, ketimbang ditilep orang, kan lebih bagus duitnya diberikan pada orang yang membutuhkan. Itulah kenapa, saya “dicintai” banyak cleaning servis atau pekerja level bawah di Grahapena Batam, (hehehe bercanda).
Sekali lagi, ini bukan masalah sok suci atau tidak butuh duit. Ini sekedar ikhtiar menjaga kebebasan personal saya. Pihak pengundang mungkin mengira saya sudah bisa “diurus” karena sudah menerima amplop. Saya tidak pernah peduli anggapan tersebut. Secara personal saya memang telah memberikan kepada orang lain, hingga hilang beban di hati ini untuk memenuhi harapan pemberi amplop. Memang, sebagai wartawan, tentu saja saya menulis apa saja data/fakta yang saya peroleh dalam kegiatan tadi. Namun kebebasan moral yang sudah saya dapatkan, mengesampingkan gaya penulisan “diangkat telur” seperti yang diharapkan setiap pihak yang telah memberi amplop.
***
Begitulah sekelumit masalah amplop di dunia jurnalistik. Meski sekarang wujud “amplop” itu sendiri telah begitu banyak berkembang. Mulai dari sekedar amplop berisi uang, hingga “amplop” berupa tur wisata, voucher hotel, biaya perjalanan haji, kolusi agar istri bisa masuk jadi PNS, bahkan bagi penggede-penggede media, “amplop” bisa berupa saham bagi-bagi yang nilainya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Semua itu satu intinya, untuk mempengaruhi berita, agar ditulis/diberitakan sesuai keinginan pemberi amplop. Atau dalam beberapa kasus tertentu, “amplop” diberikan untuk “menghilangkan” berita itu sendiri. Tergantung situasinya.
Yang jelas, tidak ada kebebasan/kebenaran obyektif ketika “amplop bekerja”, dan itulah kenapa di dunia jurnalistik “amplop” adalah hal yang memalukan. Yang ada adalah kebenaran subyektif dari si pembuat berita yang menerima amplop. Di perusahaan-perusahaan media baik yang menggaji wartawannya dengan baik, aturan soal amplop jelas dan cukup ketat (meski kita tidak bisa tahu dengan pasti apakah wartawan menerima atau tidak), serta ada resiko moral yang setiap wartawan tahu itu.
Namun, yang MENJADI INTI DARI TULISAN INI justru adalah ketika Blogger-blogger (juga Facebooker maupun Youtube-ker) juga ikut “berebut amplop”, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Jika ini terjadi, “akibatnya” bisa sangat mengkhawatirkan. Salah satunya adalah, ketika tidak ada seseorang tak lagi PEDULI tentang yang halal dan haram, tak lagi mampu memilih antara penghasilan yang bermartabat atau yang tanpa martabat. Karena tidak ada aturan/hukum khusus yang berlaku di dunia Blogger/Facebooker/Youtoube-ker. Yang ada hanya norma moral.
Di dunia jurnalistik, ada garis tegas antara berita/news (maupun artikel berupa feature) dengan review/advetorial sebuah produk. Itu kenapa setiap berita advetorial/review, biasa ditambahi kode (adv) di bagian bawah artikel. Atau biasa ditaruh di space khusus dengan pemberian garis batas yang jelas. Ini dilakukan biar tidak ada konflik kepentingan antara wartawan atau perusahaan media dengan perusahaan/produsen produk yang ditulis reviewnya..
Di dunia blog, media sosial, yang notabene kini sudah menjadi media alternatif, belum ada ketegasan memisahkan yang demikian. Ini mengingat blog, facebook, youtube, dls, pada dasarnya adalah hal personal yang siapa pun punya hak personal melakukan hal personal. Seperti Anda di kamar pribadi Anda.
Tapi kemudian, yang jadi masalah adalah yang personal tersebut berfungsi menjadi publik, mengambil peran publik, dan berada di ranah publik. Sejauh yang saya tahu, memang belum ada aturan khusus di dunia blog selain KEJUJURAN dan tanggungjawab personal yang membatasinya.
Analoginya sederhana. Jika seorang istri bercinta dengan suami di rumah mereka, jelas sah, baik, menyenangkan, dan bahkan dianjurkan. Tapi jika mereka melakukannya di ruang publik, mungkin masyarakat akan menangkap dan mengaraknya keliling kampung. Menjebloskannya ke polisi dengan tuduhan membuat keresahan umum. Hal yang baik dan benar secara personal, ketika dibawa ke ranah publik, terkadang menjadi sebaliknya.
Belum lagi iming-iming penghasilan on-line atau Adsense yang bisa membuat BUTA setiap pelaku on-line.
Saya sendiri punya blog sejak tahun 2003 silam. Namanya Batamseksi.blogspot.com.Blog yang saya susun sesaat setelah saya menjadi wartawan ini, niatan utama sekedar mengarsipkan tulisan-tulisan atau foto yang sudah saya buat. Tentu saja tulisan-tulisan maupun foto yang baik menurut saya. Tulisan-tulisan yang saya anggap asyik, dan jauh dari urusan material semata. Saya menyusun blog juga untuk berbagi IDE ataup pengalaman kepada siapa pun yang bersedia “bertamu” ke blog saya. Itu saja.
Tidak ada terbersit niatan untuk mengumpulkan Adsense atau mencari uang lewat blog saya. Saya beranggapan, NGOJEK jauh lebih mulia ketimbang menghabiskan waktu berburu Adsense atau dolar lewat blog atau sebangsanya. Secara matematika sendiri, silahkan hitung, berapa waktu yang Anda habiskan untuk berburu dolar di depan komputer?! Saya dulu punya rekan kerja yang gila berburu dolar, yang selalu pulang kerja di atas pukul 11 malam. Kaya kah dia sekarang? Tidak juga. Bahkan waktu yang dia habiskan di depan komputer, tak sepadan dengan penghasilan yang sudah ia terima. Jika waktu itu dipakai untuk memulung sampah, mungkin dia kini sudah bisa jadi juragan barang bekas sukses yang uangnya bisa dipakai untuk mencalonkan diri jadi walikota Batam! SERIUS saya!
Hehe, Gusti Allah sendiri, sudah memberi rezeki yang cukup dari usaha saya yang lain. Lagipula, berapa banyak sih duit yang saya perlukan?! Lha wong seumur hidup saya tak pernah membeli parfum, atau punya jam tangan, juga barang-barang mahal lainnya. Di lemari pakaian saya, isinya cuma kaos oblong yang harga per bijinya cuma seharga makan siang doang (tapi makan siang di Singapura ya!) Oh ya, istri saya juga punya penghasilan yang baik. Jadi, secara umum, kami tidak membutuhkan pemasukan penghasilan tambahan. Yang kami butuhkan justru lebih banyak waktu untuk terus bermain dengan anak-anak.
Pemilik blog, atau yang punya akun di youtube, bisa mencari penghasilan, selain lewat Adsense, juga bisa ikut “berebut amplop” dengan wartawan beneran, sama-sama menulis sebuah berita advetorial. Jika penghasilan lewat “amplop” sudah jelas, yang BERBAHAYA justru cara mereka berburu Adsense. Blogger-blogger, Facebooker, atau Youtub-ker yang ingin mendapatkan Adsense, biasanya sebisa mungkin menarik pengunjung untuk datang ke situs pribadi mereka. Dan ini yang biasanya BERBAHAYA.
Mereka menggunakan segala macam cara, mulai menulis hal-hal sensasional, hal-hal bohong, atau mengunduh video-video propoganda/fitnah. Kita sering mendengar, ulama-ulama seperti Cak Nun, KH Said Aqil Siraj; mengeluh ceramah-ceramah mereka dipotong-potong, untuk kemudian diunduh di Youtube dan diberi judul yang sangat MEMFITNAH. Blog-blog pribadi bermunculan, dan demi Adsense, mereka kemudian menyusun artikel-artikel yang jauh dari nilai kebenaran.
Dan KERUSAKAN kian menjadi-jadi, ketika banyak Facebooker GEBLEK, ikut-ikutan sharing berita/artikel/video fitnah/bohong tersebut. Anda bisa bayangkan, jika tahun 2016 ini di Indonesia saja ada 70 juta pengguna smartphone, SEBESAR APA kerusakan yang bisa terjadi dalam SEKEJAP, ketika artikel/berita/video berbau fitnah nan bohong yang disharing seorang saja, dan kemudian menyebar ke mana-mana?!!!
Ini memang jaman fitnah! Jaman edan. Dan, kata budayawan Ronggowarsito, orang-orang yang selamat adalah mereka yang tidak ikut edan!
Selamat menjadi EDAN!
CATATAN: Foto yang saya sertakan ini, contoh bagaimana The Sunday Times (Koran The Strait Times edisi Minggu) memberi keterangan bahwa pihak perusahaan membayar makanan yang direview di halaman mereka, agar tidak ada konflik kepentingan/berita bersifat “angkat telor”.