: Mari memandang Rokok dari Perspektif Berbeda
“Kesalahan terbesar mereka yang tidak merokok adalah; menganggap diri mereka lebih sehat dari perokok, dan GAGAL mengendalikan keserakahan mulut.”
KITA pasti pernah, bahkan mungkin sering mendengar; ada saudara, kawan, kenalan, atau tetangga, yang meninggal dunia mendadak. Entah terserang stroke, jantungan, atau penyakit mematikan lainnya. Lalu kemudian, dari mulut kita atau lawan bicara kita keluar kalimat; “padahal masih muda, tidak merokok, gaya hidupnya sehat. Kok cepet banget dia nduluin kita…”
Ya, sejatinya usia memang bukan menjadi urusan kita. Tapi, bukankah Gusti Allah juga memberi wewenang pada kita, untuk bagaimana memperlakukan tubuh, kesehatan, kehati-hatian, yang secara langsung berhubungan dengan usia kita. Makanan yang kita konsumsi, minuman yang kita teguk, lingkungan yang kita tempati, gaya hidup yang kita jalani, semuanya punya “benang merah” dengan kesehatan, dengan usia. Anda mau cepat mati? Coba saja Anda ngejlub dari gedung bertingkat 30! Atau saban hari menghirup asap knalpot mobil Anda!
Saya juga percaya, kebiasaan merokok bisa mempengaruhi usia kita. Mau usia panjang atau pendek – di luar takdir yang sudah ditentukan – itu juga tergantung dari bagaimana cara kita memandang rokok dan menikmatinya. Yang jelas, kali ini saya ingin menulis rokok dari sudut pandang berbeda. Dari perspektif yang selama ini jarang dibicarakan orang. Rangkuman dari segenap pengalaman pribadi, rasa yang selama ini saya rasai, lingkungan kanan-kiri, serta bertahun-tahun memperhatikan tubuh ini secara sesama.
Monggo membacanya dengan hati-hati!
***
Saya perokok aktif. Bahkan sudah mengenal rokok sejak kelas lima sekolah dasar. Jika tulisan ini saya buat ketika berusia 38 tahun, sudah sekitar 26 tahun saya merokok. Tentu saja, selama itu saya tidak selalu “nyepur” ngerokoknya.
“Nyepur” sendiri, istilah slengekan Jawa yang bisa diartikan merokok ngebes mirip sepur atau kereta api lama yang cerobongnya mengeluarkan asap pekat tak henti-hentinya. Saya mulai “nyepur” sekitaran seusai lulus SMA, tahun 1997. Karena ketiadaan biaya kuliah, dua tahun mandeg. Dua tahun masa itu, kebanyakan waktu saya habiskan untuk kerja serabutan sana-sini. Untuk mendapatkan uang sekedarnya. Meski tidak banyak, minimal saya punya uang sendiri untuk sekedar memenuhi keinginan membeli rokok kegemaran. Rata-rata, ketika itu, saya bisa menghabiskan sebungkus rokok (mereknya Ardath, dan kerap diplesetkan Aku Rela Ditiduri, Asal Tidak Hamil) dalam sehari. Kadang lebih jika ada acara njagong lama sama kawan-kawan. Cukup “nyepur” untuk ukuran saya.
Sepanjang pengalaman saya merokok, rasa-rasanya saya tak punya kegemaran khusus atas jenis rokok yang saya pertahankan. Saya bisa merokok merek apa saja. Kretek boleh, putihan monggo. Tengwe (nglenteng dhewe) juga ndak masalah. Bahkan, kadang kalau lagi punya duit dikit, atau sekedar “kawan nakal” mampir ke rumah, saya bisa menikmati lintingan genjes yang aduhai nikmatnya itu. Karena di kampung saya dianggap “anak baik” dan aman(ah), berkali-kali seorang kawan saya yang bandar menitipkan dagangan genjesnya ke saya. Dengan “bayaran” saya boleh “nyubit” sekedarnya.
Tapi itu dulu! Ketika masih jahiliyah. Hehehe..
Saat kuliah, gaya ngerokok saya justru berkurang. Diirit-irit. Biasanya saya memilih rokok yang lama habisnya, Sampoerna A Kretek ( biasa disebut Sampoerna ijo) adalah pilihan paling tepat. Selain harganya murah meriah, juga bisa dimatikan rokoknya saat tinggal setengah, dan kemudian masih nikmat untuk dirokok kembali berikutnya. Kalau rokok lain, apalagi yang putihan, tidak bakal enak dirokok lagi setelah dimatikan.
Saat itu, ketika kuliah, memang saya tak lagi bisa leluasa bekerja. Hingga lebih sering “gak gablek” duit. Praktis, selama itu, saya mengandalkan uang saku ibu yang tak seberapa. Kerap, sore-sore menjelang petang, ketika sama sekali tidak ada uang dan rokok, saya bersama karib saya yang pelukis, Ipong, menenteng gitar, sekedar mengamen keliling kampung sebelah untuk bisa mendapatkan uang guna membeli sebungkus rokok plus semangkuk pangsit mie. Ya, kami berdua tak pernah mengamen hingga berlebihan. Jika uang receh yang terkumpul sudah cukup untuk membeli sebungkus rokok dan masing-masing bisa makan pangsit mie, kami akan segera meletakkan gitar. Untuk kemudian, njagong hingga larut malam di pinggir jalan. Membicarakan soal seni hingga politik, ngobrolin dunia sastra hingga cewek tetangga yang menggoda hati kami.
Jaman yang, aduhai…, betapa kangennya saya dengan jaman itu.
Hingga kemudian, dunia kuliah sepertinya bukan menjadi tempat saya. Sekitar tiga tahun dicekoki “omong kosong”, saya akhirnya merantau pada akhir tahun 2002. Beberapa bulan kemudian mendapat pekerjaan di Batam, punya uang, dan kembali rokok menjadi teman terbaik. Marlboro, Lucky Strike, Dji Sam Soe; adalah tiga merek rokok yang selalu saya nikmati ketika itu. Kadang bergantian, selang-seling. Tergantung situasi dan kondisi tubuh. Saban hari saya bisa menghabiskan rokok hingga dua bungkus, dan lagi-lagi tergantung situasi dan kondisi tubuh. Dji Sam Soe biasanya saya beli ketika kondisi tubuh kurang nyaman. Sementara rokok putihan, saya hisap jika sedang “gagah-gagahnya”.
Setiap perokok yang merokok dengan hati tahu. Momen terbaik menikmati rokok adalah ketika tubuh dalam kondisi TERBAIK pula. Perut kenyang, tenggorokan tidak kering. Tidak stress. Sambil ditemani kopi dan gorengan, saya kerap bisa nongkrong lama-lama bersama kawan-kawan sembari tak henti-hentinya asap rokok keluar dari mulut saya.
Gaya hidup saya terlihat tidak sehat bukan? Bisa iya, tapi tidak buruk-buruk amat juga!
Dipandang dari kacamata fisik/kesehatan, kegemaran saya merokok sama sekali tidak sehat. Saya setuju rokok itu menimbulkan banyak masalah. Saya tidak pernah mencari-cari alasan, bahwa merokok itu baik. Tidak! Merokok, buruk. Titik!!! Bahkan jika saya boleh memilih, saya ingin berhenti merokok. Beberapa kali saya mencoba melakukannya, dengan rekor stop merokok terlama selama 21 hari. Tapi pada akhirnya, selalu gagal. Saking susahnya, akhirnya saya memilih untuk “bersahabat” saja dengan rokok.
Namun, seperti yang saya jelaskan di atas, menikmati rokok dengan “hati” tidak sama dengan membakar rokok di mulut. Ini bukan persoalan merek rokok apa yang Anda hisap yang membuat Anda terlihat keren (seperti iklan-iklan rokok itu). Seorang perokok sejati, SEJATINYA harus bisa selalu menjaga kondisi tubuh sebaik mungkin agar bisa benar-benar menikmati rokok. Bukankah makan makanan terlezat sekalipun, serasa tak selera jika tubuh tidak fit???!!
Sepengalaman saya, ketika tubuh tidak fit, keinginan merokok itu akan berkurang. Bahkan kalau dipaksa, beberapa hisapan saja niscaya kita akan segera membuang rokok itu. Saya kini, bahkan biasa tidak merokok seharian, dan tidak kepengen, jika memang tubuh tidak nyaman. Karena itulah, kenapa waktu terbaik merokok adalah setelah kita makan. Saat perut kenyang, tenggorokan basah, dan tubuh rileks.
Saya bahkan menggunakan rokok sebagai “indera perasa awal” apakah tubuh saya dalam kondisi fit atau mulai ngedrop. Ketika rasa rokok hambar dan sedikit pahit, itu menjadi pertanda bahwa tubuh sedang bermasalah. Saya biasanya segera mencari tahu kenapa tubuh tidak fit. Jika akan flu, saya akan segera memperbanyak makan makanan yang baik dan bervitamin penguat tubuh, serta istirahat yang cukup. Jika kurang fit karena tubuh kurang gerak, saya akan segera ambil sepatu lari, jongging satu-dua jam, atau ikut nyemplung berenang dengan anak-anak di akhir pekan.
Setiap perokok yang bertanggungjawab, pasti punya “rasa bersalah” atas diri sendiri, kenapa merusak tubuh dengan asap rokok. Ada yang merespon rasa bersalah itu dengan baik, namun banyak pula yang meresponnya dengan buruk. Saya, mungkin kebetulan memberi respon dengan baik. Jika saya ingin nikmat merokok, saya akan terus menjaga tubuh saya dalam kondisi fit. Menjaga dengan cara makan makanan yang baik, minum vitamin, memperbanyak air putih, cukup istirahat, dan tentu saja olahraga.
Dan Alhamdulillah, hingga usia 38 tahun, saya tidak pernah punya masalah kesehatan yang berarti. Paru-paru baik, jantung tidak bermasalah. Terakhir saya melakukan general check-up di Singapura sebagai syarat pengajuan status permanent residence, November 2015, semuanya baik-baik saja. Berat badan saya terus terjaga di angka 53 kilo. Gula dan tekanan darah normal. Nyaris dua kali sehari saya masih sanggup jogging rata-rata 3 kilometer, plus sit-up 100 kali, pull-up 40 kali, melakukan berbagai macam angkat beban, serta masih sanggup mencium lutut dan bertahan hingga hitungan ke-100. Dan saya masih terus merokok hingga kini. Meski tidak lagi “nyepur” seperti dulu. Karena harga rokok Sampoerna A Mild yang kini saya pilih di sini, Rp120 ribu per bungkus.
Anda yang seusia saya dan tidak merokok? Berapa jauh Anda kuat jalan kaki dalam sehari?
***
Sementara mereka yang tidak merokok, terkadang, terlena dengan perasaaan bahwa mereka lebih sehat, lebih beruntung ketimbang rekan-rekan mereka yang merokok. Perasaan ini sangat berbahaya. Karena akan memberikan dorongan untuk “menyantap” apa saja yang mereka inginkan, serta tidak melakukan hidup sehat yang seharusnya mereka butuhkan.
Apa saja disantap. Makanan apa saja dilahap. Mereka gagal mengendalikan keserakahan mulut. Akibatnya, tubuh membengkak dan enggan diajak bergerak. Jika sudah demikian, pelan namun pasti, segala macam penyakit datang. Kolap.
Itulah kenapa, mereka yang tidak merokok biasanya tambun-tambun, gendut, penampilan tidak enak dilihat, dan kerap banyak bisulan. Bukan karena rokok membuat orang jadi langsing, saya sama sekali TIDAK SEPENDAPAT dengan anggapan salah kaprah ini. Merokok itu buruk, tapi perokok yang baik akan MENJAGA TUBUH dengan baik, hingga punya tubuh dan kesehatan lebih baik ketimbang yang bukan perokok yang hidup ngawur tanpa bisa menjaga mulut mereka berhenti mengunyah.
Saya memberikan analogi yang mungkin tidak terlalu berhubungan, tapi bisa ditarik persamaannya. Di Singapura, kasus kecelakaan terbesar justru terjadi di traffic-light. Kecelakaan, terutama melibatkan penyeberang jalan. Kenapa demikian? Karena ketika kita sudah mengikuti arahan rambu-rambu lalu-lintas, penyeberang jalan justru akan mengurangi kewaspadaan. Mereka menganggap pihak lain juga akan menaati aturan lalu-lintas. Padahal belum tentu. Bisa jadi ada pengendara kendaraan terburu-buru, atau kurang piawai bawa kendaraan, atau tidak waspada, atau mabuk. Hingga gagal mengendalikan kendaraannya, dan terjadilah kecelakaan.
Ini berbeda jika kita menyeberang di bukan tempat penyeberangan. Kewaspadaan mutlak di kita. Panca indera kita pasang baik-baik. Kita tidak akan menyeberang sebelum benar-benar aman. Meski kadang kala, nasib sial tetap juga datang. Namun yang jelas, kewaspadaan diri sendiri jauh lebih penting ketimbang menyerahkan nasib kepada pihak lain.
Perokok dan bukan perokok juga demikian. Perokok sejati, akan terus waspada dan berusaha menjaga tubuhnya tetap fit agar bisa menikmati rokok dengan baik. Merokok bisa menjadi ikhtiar yang baik untuk terus menjaga kesehatan. Sementara mereka yang tidak merokok berpikir, diri mereka sehat, dan gagal mengendalikan ANCAMAN lain yang justru lebih berbahaya: keserakahan dan kemalasan.
Tentu saja, pilihan terbaik adalah tidak merokok dan hidup sehat.
KETERANGAN FOTO: Saya tak mau buat ilustrasi dengan memotret rokok, dan bingung cari ilustrasi foto untuk tulisan ini. Kebetulan sepekan lalu, transaksi dengan orang Prancis. Dia memperagakan memotret kamera yang dijualnya, dan kebetulan kok kaki saya yang difoto. Ini bukan semata memamerkan betis saya ya, tapi karena ndak ada foto yang tepat untuk ilustrasi, jadi saya pilih ini saja. Hehehe….