Di menit itu, saya merasa sangat bahagia sekali. Hari Senin (8/8/2011) ketika tengah antri di Imigrasi Singapura, di depan saya antri seorang pria yang sering nongol di koran-koran di Batam ngomongin soal pendidikan. Dia terkenal karena memang dia wakil kita di Jakarta. Dia satu di antara anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Kepri. Berbaju koko dengan kopyah di kepala, serta mau tertib antri pula, menjadi pemandangan yang indah setelah seharian sesak oleh pemandangan-pemandangan orang-orang yang membuka aurat di MRT.
Bersama istrinya yang mengenakan kerudung rindang, wakil DPD kita itu terlihat serasi sekali. Apalagi menguntit di belakang mereka, beberapa remaja wanita yang semuanya berkerudung yang tak lain adalah anak-anak mereka. Sebuah keluarga yang menyenangkan. Pemandangan yang seolah seperti guyuran air mineral di tenggorokan orang yang tengah puasa Ramadan. Menyejukkan sekali.
Ketika melihat mereka tertib antri dengan kesopanan mengesankan, seolah-olah tak sia-sia pajak yang saya bayarkan selama ini untuk membayar gaji mereka. Pajak-pajak yang secara tidak sadar telah kita bayarkan saat membeli sebungkus rokok, beli kolor di mall, atau makan di warung kakilima. Tidak sia-sia pajak itu jika untuk menggaji seorang anggota DPD tertib dan santri yang mau antri setara dengan rakyatnya. Bukankah memang wakil rakyat harus setara – atau bahkan lebih rendah – dengan rakyatnya! Karena mereka wakil kita, kita yang menafkahi mereka, kita yang membayar uang bensin mereka! Meski kadang secara tidak sadar, kita kerap minder dan menganggap mereka manusia setengah dewa!
Pak Wakil DPD, sungguh, saya benar-benar bahagia melihat Anda dan keluarga Anda. Di menit itu!
Di kapal feri Penguin yang membawa kami dari Singapura ke Batamcenter, kebahagiaan itupun belum hilang. Saya bersama keluarga, duduk beberapa baris di samping keluarga Pak Wakil DPD itu. Saya perhatikan gerak-gerik mereka. Sepertinya dugaan saya benar, mereka benar-benar keluarga bahagia yang serasi mandraguna.
Kebahagiaan Anda dengan keluarga Anda, Pak Wakil DPD, tentu sangat penting buat kami. Bukankah sebuah keluarga bahagia akan membuat Anda bisa bekerja dengan bahagia untuk rakyatnya? Itu teori yang selama ini saya yakini. Bahagia di keluarga, akan menular di lingkungan kerja, di lingkungan rekan-rekan, dan di manapun ia berada.
Feri Senin itu cukup sesak dengan sebagian besar penumpangnya warga Singapura. Seperti biasa, begitu kapal merapat di plantar, kami berusaha secepat mungkin masuk Imigrasi untuk mendapatkan antrian terdepan pemeriksaan paspor. Di Batam tak seperti di Singapura yang memberi kemudahan warganya sendiri saat antrian cek paspor. Di Batam, meski setahun terakhir sudah diklasifikasikan jalur mana untuk paspor Indonesia, dan mana paspor asing, tapi pada praktiknya tetap amburadul. So, kami yang memegang paspor hijau sama perlakuannya dengan pemegang paspor warna lain.
Saya setengah berlari. Ken, anak semata wayang kami, menguntit lari di belakang saya. Dia tak mau tangannya dipegang saya maupun ibunya. “I can do my self,” teriaknya ketika saya minta pospornya biar lebih gampang dalam pengecekan. Dia mau dia sendiri yang menyerahkan paspornya ke petugas Imigrasi. Dasar anak-anak.
Tapi saya tak melihat Pak Wakil DPD di tengah hiruk-pikuk perjuangan para penumpang untuk berada di antrian terdepan. Pikir saya ketika itu, mungkin ia terlalu lemah karena puasa dan memilih antri saja dengan sabar di belakang kami. Sebagaimana yang ia perlihatkan ketika antri di Imigrasi Singapura. Bukankah hakikat puasa adalah bersabar, bersabar dari apa pun, termasuk bersabar untuk tidak menyakiti mata rakyatnya dari segala macam pemandangan kontras yang kerap diperlihatkan anggota-anggota DPRD busuk pada rakyatnya. Bersabar untuk tidak naik mobil mewah di tengah kian banyaknya pengemis-pengemis di lampu merah. Di detik itu, saya tentu percaya dong Pak Wakil DPD tidak berbuat senonoh menyakiti mata rakyatnya! Lihat baju koko dan kopyahnya, sungguh indah dan menyejukkan mata.
Tapi…
Jangkrik! Di tengah kami, para penumpang, berlarian mengejar antri di depan, Pak Wakil DPD itu enak saja melenggang melewati ruang jalan di belakang petugas pemeriksa paspor. Sebelumnya, dengan menghamba, seorang pegawai Imigrasi datang menyambut dia bak seorang raja. Tanpa antri, tanpa menyodorkan paspor, berbondong-bondong ia bersama keluarganya melenggang begitu saja menyakiti mata kami. Saya lihat seorang wanita setengah baya di samping saya melongo melihat rombongan itu begitu saja masuk tanpa harus diperiksa apa-apa. Jangkrik, seketika kebahagiaan saya menguap begitu saja.
Jika yang berbuat itu presiden, menteri, atau walikota yang punya alasan masuk akal demi kepentingan keselamatan saya mungkin memaklumi. Tapi Pak Wakil DPD itu adalah wakil saya, wakil rakyat, yang seharusnya setara dengan orang yang diwakili. Tiba-tiba saja saya teringat berita ketika seorang wakil rakyat Jepang yang minta maaf dan memilih mengundurkan diri setelah dikomplain karena tak mau antri ketika membayar di minimarket.
Ah saya lupa, ini kan bukan Jepang!
Pak Wakil DPD, jika Anda membaca, tulisan ini tentu bukan semata soal antrian. Melainkan mengapa Anda bisa tertib di negeri orang, sementara di negeri sendiri seperti raja? Mengapa?
Ditulis untuk Tabloid DIA.
(sultan yohana)