Sumpah, Gila! Sampah-sampah itu! Belum pernah dalam sepengamatan saya ada begitu banyak sampah berserakan di lingkungan tempat tinggal saya di Batamcenter. Sampah di mana-mana, mulai dari perumahan elit seperti Dutamas hingga perumahan biasa selayak Taman Anugerah Ideal, semuanya bertumpuk sampah. Tiba-tiba saja, bergunung-gunung sampah terserak di jalan-jalan kompleks di seantero Batam. Ini muncul mengingat warga sudah tak tahu lagi mau diapakan sampah yang menggunung di depan rumah mereka masing-masing. Jalan satu-satunya, membuang sampah mereka di pinggir-pinggir jalan dengan sekenanya.
Bahkan ada hal lucu di tengah masalah banjir sampah yang terjadi saat ini. Di dekat kompleks Perumahan Hang Tuah, Batamcenter, pemilik lahan di sana tak cukup dengan memasang tulisan “dilarang membuang sampah” di lahan miliknya. Tapi ia juga terpaksa memagari sebagian lahan di pinggir jalan dengan balok-balok kayu agar warga tidak membuang sampah di tempatnya. Sialnya, warga pun tak kehabisan akal. Mereka tidak membuang sampah di pagar dan di tulisan si pemilik lahan. Melainkan membuang sampah di samping tulisan “dilarang membuang sampah.” Ironis sekaligus menggelikan. Istri saya bilang, “yang buang sampah tidak salah. Kan buangnya di samping tulisan.”
Sampah, benar-benar masalah yang sepertinya sangat sulit dihadapai untuk kota seelit Batam yang mobil sekelas Jaguar banyak berseliweran di jalan-jalan. Untuk Batam yang notabene sebagian pejabatnya menghabiskan tiap pekan dengan melancong Singapura – negara kota yang begitu bersih dari sampah itu – sudah tidak ada kata lagi yang bisa saya pakai untuk menyebut seberapa serius mereka menyelesaikan persoalan sampah ini. Ketika para pejabat Dinas Kebersihan Batam terus saja bertekak dengan DPRD Batam soal pengangkutan sampah, apakah mereka tak sadar, di samping rumah mereka sampah sudah menggunung dan mengeluarkan aroma busuk. Pak Wakil Ketua DPRD Aris Hardy Halim yang rumahnya di Perumahan Hang Tuah, tentu tahu di sebelah kompleks rumahnya sampah sudah mengulat-busuk menyakiti warga.
Pihak Dinas Kebersihan mengklaim ketidakcukupan armada dan dana untuk mengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir di Punggur. Hitung-hitungan kasar saya, dengan 40 armada truck dan metode pengangkutan konvensional yang seperti dilakukan di Batam selama ini, setiap truk harus 17 kali mondar-mandir TPA-kompleks perumahan untuk bisa membersihkan 700 ton sampah yang dihasilkan Batam. Apalagi ketika saya melihat truk-truk bongsor itu yang keluar masuk jalan kompleks perumahan yang sempat, sungguh menjadi sesuatu yang mubadzir. Baik minyak maupun besarnya tenaga kerja yang dipakai. Sangat tidak efisien. Dana Rp4,5 miliar yang diajukan Dinas Kebersihan untuk tiga bulan ke depan, akan habis untuk ongkos bensin dan gaji karyawan saja.
Okelah, mungkin tulisan saya ini bisa menjadi inspirasi bagaimana mengelola sampah secara efektik seperti di Singapura. Tulisan yang bersumber dari pengamatan saya yang tiap tiga hari tinggal di Singapura, dan empat hari tinggal di Batam dalam sepekan. Kami tinggal di flat lantai 11 di daerah tenggara Singapura bernama Hougang. Saya tidak bisa membayangkan jika di Batam saat ini warga tinggal di flat-flat tinggi seperti Singapura, namun dengan penanganan sampah yang begitu mengerikan. Bisa-bisa penghuni lantai bawah marah-marah terus karena penghuni lantai di atasnya enak saja lempar sampah ke bawah karena jengkel sampah-sampah mereka tak diambil petugas kebersihan.
Di Singapura, setiap rumah di dapur mereka, diberi satu lubang yang cukup untuk membuang sampah basah sisa aktivitas mereka. Jadi, baik yang tinggalnya di lantai 20, maupun yang di lantai 1 (lantai dasar selalu berisi ruang terbuka), bisa langsung membuang sampah dari rumah tanpa perlu keluar rumah. Tinggal buka lubang sampah, lalu lempar saja sampah itu ke dalam lubang. Sampah itu kemudian turun dengan sendirinya. Di bagian dasar, dibuatkan kotak penampung sampah yang dengan mudah bisa ditarik oleh petugas pengangkut sampah.
Sampah-sampah yang sudah tertumpuk di tempat penampungan di bawah flat-flat, tiap beberapa waktu diambil oleh petugas sampah dengan gerobak modifikasi seperti gerobak motor milik pemulung-pemulung di Batam. Sampah-sampah itu kemudian diangkut ke tempat pembuangan sementara di kompleks-kompleks pemukiman. Dari TPS itulah truk-truk besar pengangkut sampah segera membawa pergi sampah ke tempat pembakaran sampah. Dengan empat alat pembakaran senilai 1,83 triliun dolar Singapura, untuk membakar 8,200 ton sampah tiap hari yang dihasilkan Singapura, pemerintah di sana justru bisa memanen listrik sebesar 2 persen kebutuhan mereka. Rantai kerja yang efisien dan hemat.
Dan untuk semua kenyamanan itu, setiap keluarga seperti kami hanya dibebani uang retribusi sebesar 5 dolar per bulan.
Abu dari bekas pembakaran itu kemudian dikirim ke Pulau Semangkau. Di pulau inilah kemudian sampah-sampah itu “ditidurkan”. Yang menarik, saking bersihnya pulau sampah ini, Semangkau justru jadi salah satu pulau atraktif untuk wisatawan. Menarik bukan?
Bayangkan dengan rantai kerja pengambilan sampah di Batam. Tiap truk besar terpaksa harus masuk ke jalan-jalan kompleks perumahan untuk mengambil satu per satu sampah warga. Ini jelas memakan biaya (solar), plus tenaga manusia yang tidak sedikit. Di Singapura, hanya perlu tak lebih dari empat orang untuk memberesi satu kompleks besar pemukiman penduduk. Dua untuk pengambil sampah dari rumah-rumah, dan dua lagi untuk sopir truk dan asistennya.
Bersama kawan-kawan kantor kemarin saya coba berhitung soal biaya pengangkutan sampah di Batam. Dari hitung-hitungan kasar kami, 40 armada yang dipakai Dinas Kebersihan yang tiap truknya harus 17 kali mondar-mandir mengambil sampah (untuk bisa mengangkut 700 ton sampah tiap hari) dibutuhkan hampir 170 liter solar tiap hari tiap truk. Jika satu liter solar seharga Rp4.500, 40 armada itu butuh Rp918.000.000 per bulan hanya untuk solarnya saja. Pengajuan anggaran Rp4,5 miliar yang baru disetujui DPRD Batam, praktis akan habis untuk solar dan gaji karyawan. Lalu bagaimana dengan biaya perawatan truk? Biaya pembuangan sampah di TPA? dan biaya-biaya lainnya yang muncul?
Hitung-hitungan di atas tentu saja bukan untuk menunjukkan betapa minimnya dana pengangkutan sampah di Batam. Melainkan bagaimana tidak efisiennya Dinas Kebersihan memanajemen penangkutan sampah hingga harus mengeluarkan biaya sebesar itu (hanya untuk solar). Ironisnya, sampah masih terus tetap menggunung!
Sumpah, Gila! Sampah-sampah itu!
(sultan yohana)
Foto sampah di Batuaji oleh Arrazi Aditya.