Rambutnya yang merah, berombak, dan panjang sebahu; basah dan dibiarkan tergerai. Mengenakan kemeja berbahan tipis transparan, lekuk tubuhnya cukup leluasa untuk dilihat dan disimpulkan: ia seorang wanita yang bertubuh indah. Langsing. Tingginya sekitar 160-an senti. Kemeja yang dipadu celana jins cutbray, plus sepatu santai motif batik bersol tipis, mengingatkan saya pada sosok gadis-gadis gypsi bergaya slenge’an namun tahu pakaian apa yang cocok untuk tubuhnya. Tahu bagaimana memadukan kegenitan, sekaligus menjaganya dari keusilan pria.
Saya selalu mengagumi model gadis seperti itu.
Ketika itu di Jurong MRT. Saya antri berada di belakang wanita slenge’an itu menunggu kereta yang baru saja datang. Pintu kereta terbuka, dia masuk, saya masuk; dan dia memilih duduk di deretan sebelah kanan kereta. Saya sedikit bergerak lambat untuk mendapatkan kursi yang kosong. Alhasil, saya harus berdiri di koridor, tepat berhadapan dengan wanita itu.
Tapi, busyet dah! Wanita berpenampilan slenge’an di depan saya yang tadi saya duga berusia sekitar 20-an ternyata seorang nenek-nenek. Usianya saya taksir sekitar 60-an. Atau sedikit lebih muda mungkin. Tapi yang jelas tak di bawah 50-an tahun. Memang, bodinya masih singset mirip-mirip gadis 20-an. Tapi, kulit wajah dan lehernya sudah lumayan berkeriput. Dia berdandan cukup bersahaja: lipstik tipis tanpa warna, bedak bayi, selain itu tak ada.
Benar-benar tertipu saya! Saya sampai ketawa-ketawa kecil sendiri memikirkan kebodohan saya. Mungkin ketika itu, ketika ada orang yang memperhatikan saya, dia kira mungkin saya sedikit gila. Apalagi orang-orang di Singapura, terkenal “berwajah dingin” dengan orang yang tidak mereka kenal. Tidak gemar melempar senyum kepada orang asing sebagaimana kita yang biasa memberikan senyum kepada orang yang sekalipun baru pertama kali bertemu.
Hari itu mungkin “hari keberuntungan” saya bertemu banyak wanita aneh. Di tengah perjalanan kereta menuju Stasiun Outrum Park, tepatnya di Stasiun Buona Vista masuk wanita yang tak kalah anehnya. “Nenek Barbie,” begitu bathin saya ketika melihat ada satu lagi nenek-nenek tampil mirip boneka barbie. Boneka kegemaran anak-anak gadis yang biasa tampil dengan rok mini mengembang, make-up tebal, plus rambut blonde macam model-model bugil Majalah Playboy.
Memang, tubuh nenek yang satu ini tak selangsing nenek slenge’an yang tadi. Tapi, tampilannya betul-betul berani dan luar biasa: rok putih motif kembang-kembang sangat mini, sekitar satu setengah jangka tangan dari lutut. Sepatu hak tinggi, make-up warna berani, plus rambut mekar memerah. Semua itu berani dilakukan, mungkin karena – meski berstatus nenek – ia merasa punya tubuh aduhai. Bisa menjaga tubuhnya dengan baik. Tak elok dong, tampil seperti barbie dengan tubuh gembrot.
Sekali lagi, saya senyum-senyum sendiri, namun sangat mengapresiasi dengan baik bagaimana mereka memperhatikan sekaligus menjaga penampilan tubuh mereka. Sekalipun usia mereka tak bisa dibilang muda. Usia, bagi mereka, bukan halangan untuk tampil mengesankan. Orang-orang Singapura yang bisa membeli makanan apa saja dengan gaji standar mereka, tentu akan sangat mudah menjadi gemuk. Menjadi tidak menarik. Yang saya maksud, bukan berarti gemuk itu jelek. Tapi yang tidak baik adalah yang gemuk dan tak sehat. Kelebihan berat badan tentu karena ketidakmampuan kita menjaga nafsu, ketidakmampuan mengontrol apa pun yang masuk ke perut kita, sekaligus mengkombinasikan dengan seharusnya apa yang kita lakukan untuk “membakar” makanan itu.
Tuhan tidak mencetak seseorang ditakdirkan gemuk. Kitalah yang memilih memiliki kondisi ini.
Memang tak sedikit orang Singapura yang mengalami obesitas, kegemukan. Ironisnya, sepandangan mata saya yang saban minggu menjelajah Singapura, naik turun dari bus, mrt, taksi, hingga jalan kaki; yang banyak mengalami kegemukan justru etnis Melayu. Entah itu si wanitanya, lelaki, bahkan anak-anak. Saya tidak tahu kenapa, tapi saya menduga-duga pola makan yang menyebabkan demikian. Masakan Melayu, seperti halnya masakan Padang, lebih banyak bersantan, berlemak, serta minim sayur-sayuran segar.
Tapi, seiring perkembangan jaman dan kesadaran untuk hidup sehat, warga Singapura bisa melakukan apa saja untuk bisa tampil baik dan enak dipandang. Apakah seperti si wanita slenge’an atau nenek barbie yang saya temui tadi. Terus terang, saya juga menikmati, bagaimana wanita-wanita Melayu yang mengalami obesitas, berani tampil percaya diri untuk mempercantik diri. Tidak pasrah dengan kegemukan mereka. Dibanding orang Batam, warga Singapura memang jauh lebih percaya diri.
Tapi, hidup sehat memang sangat sulit. Lebih sulit lagi mengubah persepsi seseorang tentang bagaimana seseorang dikatakan sehat.
Banyak orang bilang, saya sangat kurus. Tapi saya lebih suka menyebut langsing. Apalagi dengan potongan rambut saya yang panjang sebahu, kian memberi kesan saya orang sakit-sakitan. Tinggi saya sekitar 167 senti, dan seumur hidup saya berat badan tak pernah melebihi 50 kilogram. Saya rajin tiap minggu timbang badan, juga main futsal, jogging, dan jalan kaki. Perut saya yang rata, kerap membuat iri banyak wanita. Bahkan istri saya juga.
Saat futsal, ketahanan tubuh saya cukup bagus, bahkan melebih kawan-kawan yang usianya jauh lebih muda dari saya. Saya masih bisa mengalahkan mereka lari sprint rekan kerja yang umurnya belum genap 25 tahun. Apalagi dengan kawan seusia yang kebanyakan sudah obesitas. Lewat lah mereka saya perdaya dengan bola.
Tubuh saya yang mereka katakan kurus, justru memberi banyak manfaat ketika saya bergerak.Saya mendiskripsikan diri bukan berarti saya ingin menyombongkan diri. Tapi lihatlah apa komentar seorang kenalan saya ketika kami sama-sama menumpang satu lift di Gedung Grahapena. Kenalan itu, tubuhnya cukup gemuk, dengan perut cukup membuncit. Meski belum bisa dikatakan obesitas. Usianya lima tahun lebih muda dari saya.
“Mbok ya sekali-kali ini perut seperti saya,” kata dia berlogat Jawa sambil mengelus-elus perutnya. “Biar terlihat sehat, makmur.” Saya kemudian mengatakan, justru menjaga perut tetap rata seperti perut saya butuh perjuangan keras. Juga butuh lebih banyak biaya ketimbang membiarkan perut membuncit. Saya butuh olahraga teratur, butuh makanan yang baik, dan yang terpenting sekaligus tersulit, harus bisa mengatakan “CUKUP” ketika perut ini sudah kenyang. Padahal tak jarang, mulut ini masih ingin terus mengunyah makanan.
Pernyataan kenalan saya jelas, perut yang buncit dengan tubuh subur dianggap sebagai status “sehat”, dan tentu saja makmur. Cara berpikir yang sudah ketinggalan jaman ini, ironisnya masih terus terpelihara di kepala kita. Ibu saya bahkan sering meminta saya untuk lebih banyak makan agar bisa terlihat gemuk. Saya jelas menolaknya. Saya bisa gemuk, tapi tak ingin memilihnya.
Rekan-rekan kerja saya, bahkan yang usianya di bawah saya: nyaris semuanya menderita kegemukan. Gaya hidup “mapan” yang telah mereka jalani, kerap membuat lupa bahwa ada ancaman besar di balik semua itu. Mereka lebih suka leyeh-leyeh sambil ngopi, ngerokok, dan ngegosip; ketimbang menyempatkan diri main futsal atau sekedar jogging keliling lapangan.
Wanita slenge’an dan nenek barbie yang saya temui di MRT Singapura lalu, adalah antitesis dari kebanyakan kawan-kawan saya. Penampakan tubuh mereka adalah hasil nyata dari antitesis itu. Dan sekarang, pilihan terserah Anda. Mau hidup sehat ala nenek barbie, atau tanpa daya dimakan sadisnya obesitas?
Kembali ke MRT, belum lagi ingatan saya lepas dari dua nenek tadi, saat saya berganti MRT dari Outrum Park menuju Hougang, duduk mojok, lagi-lagi seorang nenek berpenampilan aneh tertangkap mata saya: bersepatu boat coklat merek Caterpilar, dengan rok mekar putih yang panjangnya di atas lutut. Mirip-mirip nenek barbie, tapi yang ini versi premannya. Tapi tetap feminim dan enak dipandang.
Memilih menjadi kurus…, eh langsing, bagi saya justru menjadi status kemapanan. Kemapanan untuk terus mengeksplorasi tubuh dan gerak sesuai keinginan kita. Tidak justru menyerah dengan timbunan lemak.