: Indonesia (baca pejabat) yang kian brengsek!
SAYA membayangkan Bukit Timah seberharga namanya. Seonggok bukit tertinggi di Singapura, yang kemudian menjadi salah satu lokasi wisata-olahraga atraktif di sana. Sepekan lalu bersama istri dan si kecil, Ken, yang Januari ini genap berusia 2,5 tahun, kami mendaki bukit setinggi 163,63 meter tersebut. Bahkan anak saya mampu menaiki bukit itu dengan tanpa bantuan gendong sama sekali. ”Let’s go! Eghe… let’s…,” begitu istri saya menyemangati si kecil yang biasa kami panggil Eghe. Dan si kecil pun kian kencang berlari.
Sebuah rumah tua atau tepatnya kantor bertingkat tiga yang teduh, menyapa kami ketika hendak masuk kawasan Bukit Timah. Di gedung tua yang difungsikan sebagai pusat informasi itu, Anda bisa mendapatkan apa pun informasi yang anda inginkan tentang Bukit Timah. Selapangan parkir yang luas juga tersedia. Sebuah toko sepatu/sandal siap menyediakan kebutuhan akan alas kaki yang cocok untuk mendaki. Butuh air minum? Isi saja botol Anda dengan air toilet untuk mengirit pengeluaran.
Sepanjang dasar bukit hingga puncaknya, jalan beraspal selebar tiga meter mengular. Rapi dan menyenangkan, kanan-kiri jalan beraspal itu, full hutan belantara yang sebagian dibiarkan perawan seperawan-perawannya. Sebagian lagi sudah disulap menjadi trek-trek pendakian dan trek sepeda yang bisa membuat keringat kita membanjir. Tidak ada rumah liar, apalagi villa pejabat. Sebagai orang yang besar di kaki Gunung Arjuno dan Semeru, Jawa Timur, tantangan mendaki Bukit Timah jauh dari luar biasa. Bahkan sangat biasa!
Jika capek, ada beberapa tempat peristirahatan berupa pondokan. Kecuali Anda yang tak doyan jalan, saya yakin Anda tak butuh terlalu banyak tenaga untuk bisa mencapai puncak bukit. Kicauan burung aneka macam dan semilir udara yang dipenuhi oksigen, tentu akan bisa mendinginkan tubuh, terutama kepala. Dan ketika tiba di puncak, Anda hanya akan menemui ruangan kosong dengan pondokan dan sebongkah batu bertuliskan tinggi dan titik koordinat di mana Anda berdiri ketika itu. Dua buah menara pemancar, sedikit merusak aroma alamiah puncak Bukit Timah.
Saya membayangkan Bukit Timah seberharga namanya. Dan sebenarnya di seantero kawasan bukit itu, memang harga tanahnya sugguh-sungguh luar biasa mahal. Di kawasan yang dikenal sebagai Distrik 11 inilah berkumpul orang-orang kaya Singapura yang sepertiganya merupakan orang kaya Indonesia (sebagian lagi koruptor). Di sanalah berdiri rumah-rumah pribadi berharga puluhan miliar rupiah, apartemen-apartemen mewah yang harga sewanya mencapai belasan ribu dolar Singapura per bulan, serta rumah-rumah pejabat tinggi Singapura. Sejengkal tanah di Bukit Timah, mungkin bisa membeli berhektar lahan hutan dan seisinya di Batam. Tapi Pemerintah Singapura masih menyisakan sebagian besar lahan Bukit Timah yang berharga itu sebagai area publik yang bisa dinikmati rakyatnya yang paling melarat sekalipun.
Di Batam, sebelum digunduli hingga tampilannya seperti rambut anak-anak punk, saya biasa mendaki seorang diri di Bukit Clara. Seonggok bukit mungil di belakang Masjid Raya. Sembari mencari flora, fauna, dan benda-benda yang bisa dijadikan obyek foto, Bukit Clara bisa sedikit menghadirkan penawar rindu akan kegemaran pendakian tempoe doeleo.
Tapi beberapa waktu lalu bukit itu disakiti begitu rupa. Pohon-pohon besar ditebangi, dan sekeliling lahan di bukit berubah menjadi perumahan dan lahan perumahan. Elang-elang yang dulu banyak berkeliaran di atas bukit kini lari entah ke mana. Flora-fauna Bukit Clara, menjadi korban sebuah kawasan yang dianggap mahal.
Di bukit lainnya di Batam, Bukit Mata Kucing, areal hutan malah diacak-acak untuk dijadikan kawasan wisata yang mirip arena bermain anak-anak taman-kanak-kanak. Di Bukit Sei Ladi, seonggok Hotel Vista di atasnya, tentu hanya bisa dinikmati orang kaya saja; dan rawan menghadirkan bencana longsor. Di bukit-bukit cantik di Sekupang, rumah-rumah pejabat tinggi bertebaran. Di Bukitsenyum, malah dijadikan lokasi prostitusi.
Saya merasa bersyukur Bukit Timah tidak berlokasi di Batam. Saya bersyukur bukit yang teridentifikasi sejak tahun 1828 tidak memuncaki Batam. Andai saja Bukit Timah di Batam, mungkin rerimbunan perawan hutannya akan dibabat, lahannya diserahkan ke developer, dan kemudian dibangun villa/perumahan yang bisa membikin banjir dan longsor pemukiman di bawahnya. Saya bersyukur Bukit Timah dirawat dengan baik, dan bisa kami nikmati sekeluarga. Meski bukit itu ada di negeri tetangga kita.
sultanyohe@yahoo.com
Foto: by my