BOCAH lelaki itu menggaco kelereng dengan melenceng. Segepok umpan kelereng yang diletakkan pada bulatan depannya, gagal kena oleh gacoannya. Berkali-kali ia mencoba, gagal lagi. Maklum, cara menggaconya saja salah. Kelereng gacoan tidak diletakkan antara ibu jari dan jari telunjuk. Melainkan dikempit oleh jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Ya pasti tak bisa dikendalikan itu arah kelereng.
Si bocah pertama gagal, beberapa bocah lainnya mencoba. Sebagian besar gagal, hingga akhirnya seorang pria pemandu acara main kelereng itu memberi contoh. Menggaco dengan benar untuk kemudian mengenai segepok umpan di bulatan di tengah arena main. Semua bocah yang gagal bersorak, kegirangan. Acara “Welcome to Our Kampong” yang digelar di tengah publik area di daerah Hougang, sekitar sebulan lalu, kian menggembirakan.
Main kelereng, itu permainan kegemaran saya sewaktu kecil. Di Singapura, permainan seperti ini sudah sangat langka, terbukti dari banyaknya anak yang tak bisa menggaco kelereng dengan benar. Saya dulu tak jago-jago amat, tapi setidaknya tidak pernah membeli kelereng baru karena kerap pulang dengan mengantongi kelereng kemenangan. Di Singapore, portable PlaySation, internet, dan aneka jenis permaian canggih lainnya, telah merampas salah satu permaian tertua di dunia ini. Tapi ketika acara main kelereng “disajikan” dalam sebuah kampanye pemanasan partai berkuasa di Singapura saat ini, People Action Party (PAP), ini baru kisah yang mengasikkan untuk saya sajikan kepada Pembaca.
Welcome to Our Kampong! Selamat Datang di Kampung Kami.
Lahan seluas setengah lapangan bola di tengah-tengah pusat belanja Hougang, sebulan lalu disulap menjadi “kampung”. Ada sederet foto-foto kawasan Hougang mulai dari tahun 1900-an hingga foto terkini, ada arena permainan kelereng, ada pameran alat-alat rumahtangga jadul, ada setrika arang, mesin jahit tangan, hingga lampu minyak templek dan petromax. Saya membayangkan ibu mertua dan nenek mertua saya memakai alat-alat di atas saat mereka masih muda.
Tapi ibu mertua saya, yang kini sudah berusia 60 tahun, bahkan menjahit tangan bajunya yang robek saja tak bisa. Ia mengaku sudah lupa bagaimana memakai jarum jahit, apalagi menyalakan lampu minyak. Kerap kali ketika bajunya robek kecil (ini jarang terjadi), baju itu kemudian berakhir di tong sampah. Meski sudah lansia, dia memang bekerja dan berpenghasilan bagus. Karena itu masalah baju robek sudah tak jadi persoalan lagi baginya.
Dan fenomena seperti yang terjadi pada mertua saya inilah yang kemudian ditangkap PAP untuk sajian kampanye mereka. Sekitar bulan Juni mendatang, Singapura memang akan menggelar pemilihan umum. Acara “Welcome to Our Kampong” seolah menyadarkan pada masyarakat pemilih, keberhasilan PAP – yang memang menguasai pemerintahan sepanjang Singapura merdeka – untuk memakmurkan Singapura. Tak ada janji apa-apa di kampanye ketika itu sebagaimana kampanye pemilukada di Batam atau Kepri beberapa waktu lalu.
Sebagai ganti “janji” PAP, di bagian lain dari lokasi pameran, digelarkan tenda raksasa berpendingin udara yang berisi aneka maket pembangunan Hougang lima tahun ke depan. Di dalam tenda yang bisa dimasuki siapa pun itu, setiap calon pemilih bakal tahu apa yang dilakukan pemerintah ke depannya. Tanpa tebar janji-janji, tanpa orasi omong kosong!
Sibuk melihat-lihat maket dan pameran “jadul”, tiba-tiba sesuatu yang meriah muncul. Dari luar, seorang pria, berpolo-shirt kuning dengan celana kain kecoklatan. Tanpa iring-iringan mobil patroli apalagi para ajudan atau anggota Satpol PP yang biasa melindungi pejabat di sini, pria itu masuk, beramahtamah sebentar lewat sepatah dua pidato, dan ikut berbaur dengan para warga. Memang sih, ia sempat diberi kalungan bunga oleh panitia. Tapi untuk ukuran – istri saya membisikkan dia seorang menteri Singapura dari Partai PAP-, sambutan atau penampilan si pria itu sungguh sangat sederhana.
Tanpa jas, tanpa sepatu kulit mengkilat. Tanpa janji-janji, apalagi omong kosong!
Inilah secuil gambaran kampanye di Singapura. Dalam pandangan politik, rakyat di sana dengan di Batam saya kira hampir sama: cukup melek politik. Yang membedakan adalah isi kepala para politikusnya. Di sini, kata “akan mensejahterahkan rakyat” yang kerap keluar dari mulut politikus saat kampanye, masihlah berupa janji absurd yang tak dimengerti banyak orang. Janji yang kemudian membuat merek abisa berkelit dari rasa berdosa jika enggan menepatinya. Di Singapura, janji “menyejahterahkan rakyat” sudah terwujud dengan jelas dalam sebuah rencana matang pembangunan hingga detil sekecil-kecilnya. Itulah kenapa, setiap politikus di sini berjanji, masyarakat akan menertawainya.
Politikus di sini mungkin tak sadar, mereka seperti badut di mata kita. Lucuuuu banget….