HARI MINGGU, bagi sebagian pembantu wanita di Singapura adalah hari kebebasan. Pergilah ke tempat-tempat kongkow seperti Marina, Orchird Park, City Hall, atau Bugis, di sana ribuan buruh migran, terutama dari Indonesia, menghibur diri, bercengkrama bersama rekan-rekan sedaerah sembari berekreasi. Tapi tidak bagi Nessa Kartika. SMS saya untuk mengajaknya bertemu dalam sebuah wawancara, awalnya dibalas dengan sebuah penolakan kecil. “Saya hanya punya waktu satu jam kalau hari ini (Minggu, 17 April). Saya baru libur tanggal 24 minggu depan,” tulis Nessa dalam pesan singkatnya kepada saya.
Tapi, satu jam, bagi saya sudah cukup untuk sebuah wawancara awal kepada pembantu rumahtangga asal Wonosobo, Jawa Tengah tersebut. Saya berpikir, pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terjawab dalam pertemuan nanti, bisa dilanjutkan lewat pesan di Facebook atau e-mail. Nessa pun kemudian setuju. Janji bertemu pada Minggu (17/4) siang di Tech Whye Avenue Blok 8, Choa Chu Kang, tempat tinggal majikan Nessa, berlangsung dengan sangat tergesa. “Kita bertemu di blok antara 10-12 ya, di playground,” jawab Nessa membalas pesan saya. ‘Bukankah tempat tinggal dia di blok 8?’ pikir saya ketika itu.
Pertanyaan itu baru bisa saya jawab sendiri – tentunya dengan sejumlah kira-kira – ketika saya harus menunggu sekitar 15 menit dari perjanjian awal. Ia datang, bert-shirt warna pink yang sudah pudar plus span berbahan jeans yang tak bermerek. Sendal jepitnya tipis sedikit kusam, tapi kuku-kuku kakinya bersih terawat dengan cat kuku sewarna dengan t-shirt yang ia kenakan siang itu. Mendorong kereta bayi yang ada balita berusia dua tahun di atasnya, Nessa sepertinya belum bisa melepaskan “statusnya” sebagai pembantu rumahtangga: tidak percaya diri menghadapi orang baru dikenal.
Padahal Nessa adalah pembantu yang spesial. 22 Februari lalu, pertama kali informasi tentag spesialnya Nessa saya baca lewat feature yang diterbitkan hampir setengah halaman oleh The Strait Times, suratkabar terbesar terbitan Singapura. “Maid Pens Stories with Drama, Spice, and Real Life”, begitulah Straits Times memberi judul feature yang mengisahkan kehidupan wanita kelahiran 27 Mei 1983 itu. Nessa seorang pembantu rumahtangga. Namun dari tangannya, sudah berbuah kisah-kisah yang kini telah dibukukan dan diedarkan. Tulisan-tulisannya menghadir dalam buku Luka Tanah Priok, 30 hari Dalam Cinta-Nya, Karenina Singa Bauhinia, Tiga Biru Segi, Lamunan Bidadari, Bicaralah Perempuan, Be Strong Indonesia, Ibuku Adalah…, Kisah Kasih di Masa Lampau, dan Kisah Pelangi.
Buku Karenina Singa Bauhinia dilaunching pada 20 Februari lalu di Chinese Garden, Singapura. Peluncuran berlangsung meriah, atas prakarsa Indonesia Family Network (IFN) dan Buruh Migran Indonesia (BMI) di Singapura. “Launching itu sekaligus dibarengi dengan ulangtahun IFN kelima,” tambah Nessa.
Dihadiri oleh rekan-rekan sesama pembantu rumahtangga di Singapura, Nessa mengaku, sebagian besar cerita-cerita yang dibukukan adalah persoalan para buruh migran. “Kadang-kadang datang dari curhat teman-teman, Kalau ndak ada, saya justru minta pada teman-teman ide, ‘ayo ceritakan apa idenya,” jawab Nessa ketika saya tanya dari mana ide menulis datang.
Lahir dengan nama Anisa Hanifa, Nessa remaja menyelesaikan sekolah terakhirnya di SMK Negeri 1 Wonosobo pada tahun 2002. Kesulitan ekonomi karena kedua orangtuanya, Siti Maria dan Moch Hatru bercerai, memaksa Nessa untuk memilih menjadi buruh pabrik di Bandung seusai lulus sekolah. Maklum, ia adalah putri sulung dari sembilan bersaudara (lima sekandung). Jadi, tanggungjawab besar untuk membantu perekonomian keluarga ada di pundaknya.
Setahun bekerja di Bandung, pada Mei 2003 Nessa memutuskan untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong. Di Desa Lipursari, Wonosobo, tempat di mana Nessa lahir dan besar, profesi TKW memang menjadi pilihan utama warganya selain bertani. Ibu Nessa sendiri, Siti Maria, adalah TKI. “Di desa saya banyak yang jadi TKI. Laki-lakinya banyak juga yang jadi TKI di Taiwan,” imbuh Nessa. “Sekarang banyak (TKI) yang sudah pulang sukses ngajar di SD, jadi PNS, buka rumah makan. Ibuku buka Rumah Baca.”
Pekerjaan pertama Nessa sebagai TKW di Hongkong adalah menjaga anak balita. Tapi ketika itu, belum terbersit sedikitpun di benak Nessa keinginan untuk menulis. Genap 15 bulan bekerja di Hongkong, ibu satu anak ini kemudian memutuskan pulang kampung. Di tahun itu juga, Nessa menikah dengan pria sekampung pilihannya, Wahidin. Setahun kemudian, ia dikarunia seorang putra yang diberi nama Axl Satriaji yang kini berusia 6 tahun.
Wahidin, menurut Nessa, adalah petani seumumnya lelaki di desanya. Selama menikah mereka menumpang di rumah orangtua mereka. Hingga akhirnya, keinginan untuk membuat rumah sendiri datang namun kondisi ekonomi kembali tak memungkinkan untuk membuat rumah. Nessa kemudian berunding dengan suaminya, dan memutuskan untuk kembali menjadi tenaga kerja wanita. Kali ini, negeri Singapura menjadi tujuan berikutnya. “Ini (bekerja di Singapura) adalah pilihan saya sendiri. Saya pingin membikin rumah,” tegas Nessa.
Tahun 2007, Nessa berangkat ke Singapura. Di sana, tepatnya di majikannya yang tinggal di daerah Sengkang, Nessa dibebani tugas menjaga orangtua lanjut usia. Di sela-sela waktu kosong menjaga orang lansia itulah Nessa gemar berselancar di internet, terutama membuka situs-situs penulisan. Lewat mailing list (milis) “Kosokata” di Yahoo.com, Nessa kemudian mengenal dunia tulis menulis. “Di milis itu, ada penyair-penyair Jawa Timur seperti Pak Bonari,” ungkap Nessa.
Di milis Kosokata itu juga, Nessa kerap memamerkan tulisan-tulisannya, terutama puisi yang ketika itu dibuat sebagai bentuk dari curahan hatinya sendiri bekerja di negeri orang. Respon kemudian muncul. Ada diskusi menarik antaranggota milis untuk membahas satu per satu tulisan yang dipamerkan. Di situlah Nessa mengaku belajar bagiamana menulis yang baik. “Saya juga publish di Facebook. Datang banyak kritik untuk tulisan saya, ‘eh ini salah, ini harusnya begitu’. Saya jadi mulai tertarik dan tahu bagaimana menulis yang betul,” tambahnya.
Sejak perkenalannya dengan milis Kosokata, karya-karya Nessa bak air bah yang deras mengucur kapan saja. Dari semula menulis hanya untuk mencurahkan emosinya saja, sejak saat itu menulis sudah menjadi kewajiban tersendiri bagi wanita berambut lurus tersebut. “Beruntung majikan saya mengizinkan aktivitas menulis. Mereka mengizinkan saya pakai komputer mereka. Tapi mereka berpesan, ‘menulis boleh, asal anaku harus diperhatikan ya’,” kata Nessa sembari terkekeh.
Majikan yang sekarang, menurut Nessa adalah majikan keduanya di Singapura. Kontrak pertama ia ditugaskan menjaga lansia. Setelah dua tahun kontrak selesai, Nessa pulang namun kembali ke Singapura pada 2009 untuk menjaga balita hingga sekarang. “Majikan lama dengan majikan yang sekarang sebetulnya bersaudara. Target saya pulang setelah bisa buat rumah dan beli motor,” ungkap Nessa.
Proyek Buku I
Ketrampilan menulis Nessa kian lama kian terasah. Hingga kemudian, kesempatan membuat buku muncul saat diajak proyek membuat buku puisi oleh seorang rekan sesama TKW yang dikenalnya di Hongkong, Mega Vristian. Mereka kemudian sama-sama menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Luka Tanah Priok (2010). Kelar dengan buku pertama, bersama rekan-rekannya sesama TKI di Singapura, Nessa kemudian membuat buku tentang pengalaman mereka berpuasa Ramadan di Singapura. Buku 30 hari Dalam Cinta-Nya, serta menerbitkan Karenina Singa Bauhinia yang Februari lalu dilauncing. “Sebetulnya Karenina Singa Bauhinia sudah dilaunching tahun lalu (2010) di Hongkong. Di Singapura adalah launching ulang buku versi Indonesia,” ungkap Nessa.
Kepada saya, Nessa mengaku tengah berusaha merampungkan novel karyanya sendiri yang ia rahasiakan judulnya. Wanita yang membentuk Komunitas Buruh Migran Indonesia di Singapura ini, mengaku belum bisa “tidur” sebelum menyelesaikan buku karyanya sendiri. “Saya belum punya buku sendiri. Semua rombongan,” tegasnya sembari mengambil HP dari saku spannya yang bergetar.
Nessa kemudian lekat-lekat mengamati HP tersebut, dan raut mukanya tiba-tiba berubah setelah memastikan nomor siapa yang menghubunginya. “Majikan saya sudah minta saya pulang,” katanya sembari meletakkan Kelwin, balita yang diasuhnya ke atas kereta bayi. Secepat yang ia bisa, Nessa kemudian buru-buru meninggalkan saya untuk kemudian tubuhnya menghilang di antara gedung-gedung tinggi flat di daerah Tech Whye Avenue Blok 8. Berikutnya, lewat pesan di SMS dia pesan untuk dibawakan novel-novel religius karya Habiburrahman El Shirazy, Helvy Tiana Rosa, atau Asma Nadia. “Saya ingin menulis novel-novel religi,” begitu isi pesan berikutnya.
Sembari melepas pandang ke sosok Nessa yang kemudian menghilang, saya kemudian membathin, wanita-wanita seperti Nessa, yang perkasa dengan segenap kekurangan dan situasi yang tidak bersahabat, adalah Kartini-kartini Indonesia masa kini yang mampu memberi kontribusi besar pada Indonesia, terutama kaumnya. SELAMAT HARI KARTINI!***
400 Dolar yang Begitu Berharga
Menjadi buruh migran tentu saja bukan pilihan yang bagus bagi Annisa Hanifa setelah lulus dari SMKN 1 Wonosobo, Jawa Tengah. Keadaan ekonomi lah yang kemudian memaksa wanita yang punya nama beken Nessa Kartika ini bekerja sebagai pembantu rumahtangga di Hongkong pada 2003. Begitu juga ketika ia terpaksa harus kembali menjadi TKW pada 2007, meski statusnya ketika itu adalah istri dan ibu satu anak. “Suami saya petani. Mas tahulah keadaan petani kecil di desa. Jika saya tak seperti ini (jadi TKI) saya tak bisa buat rumah,” bebernya.
Nessa mengaku, dari pekerjaannya sebagai pengasuh anak balita, sebulan ia memperoleh penghasilan sebesar 400 dolar Singapura. Atau jika dirupiahkan dengan kurs Rp7 ribu, kira-kira Nessa mengantongi uang sekitar Rp2,8 juta. Dari jumlah itu, 300 dolar langsung dikirimkannya ke kampung halaman. Pembaca pasti tahu, uang dari keringat pembantu seperti Nessa ini adalah devisa atau penerimaan terbesar Indonesia. Tahun 2010 lalu, Bank Dunia menaksir, para buruh migran seperti Nessa, telah menyumbang devisa negara sekitar 7,1 miliar dolar Amerika Serikat. Jumlah yang hanya bisa dikalahkan oleh pendapatan dari sektor minyak dan gas alam.
Nessa menambahkan, sisa penghasilan 100 dolar sebulan ia anggap cukup untuk hidup di Singapura. Itu mengingat segala kebutuhan akan makan, tempat tinggal, dll, sudah dipenuhi oleh majikannya. “Saya jarang libur, jadi tak sering keluarkan uang untuk belanja,” ungkapnya.
Nessa memang mengaku tidak punya waktu libur yang pasti. Kadang sebulan bisa sekali, atau bahkan tidak ada sama sekali. Jika ia memaksa off, Nessa harus rela gajinya dipotong 20 dolar setiap kali libur. Ini berbeda dengan pembantu-pembantu rumahtangga dari negara lain seperti Filipina maupun Thailand. Di Filipina misalnya, pemerintah mereka berani “memaksakan” aturan kepada pemerintah Singapura, agar pembantu mereka diberi hak libur minimal satu hari dalam seminggu. Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah menerapkan demikian. Tapi dalam kenyataannya, praktiknya tidak jalan. Agen penyalur TKW lebih berkuasa, hingga kemudian si pembantu dibebani aturan yang berat, seperti ketiadaan hak libur setiap minggu.
Namun Nessa mengaku tidak mempermasalahkan soal libur tersebut. Justru dengan beban berat yang membelit para TKW, mereka bisa jauh lebih perkasa. “Saya berpendapat, di sini mereka semua hebat-hebat. Perkasa semua. Kalau mereka punya masalah dengan majikan, mereka bisa sabar. Mereka bahkan biasa menasihati aku. Padahal nasib mereka tak lebih baik dari aku. ‘Jangan menyerah jadi TKI, jangan malu-maluin,'” tegas Nessa.
Yang kemudian menjadi ironis adalah dukungan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) terhadap wanita-wanita kreatif seperti Nessa. Dalam launching buku Karenina Singa Bauhinia misalnya, bantuan yang diharapkan KBRI tak kunjung datang hingga akhirnya rekan-rekan Nessa di Indonesia Family Network dan Migran Voice yang membantu melaunching buku tersebut. “Sekali saya pernah berurusan dengan KBRI, waktu pemilu kemarin. Sudah datang ke sana, tapi nama saya justru tak ada. Akhirnya tak jadi milih. Sekarang kalau ke sana cuma untuk urusan paspor saja,” ungkap Nessa.
(sultan yohana)
Tulisan ini Diterbitkan di Tabloid DIA edisi 25 Maret 2011 untuk Hari Kartini.