Ups…, dia mengatakan saya anjing jalanan. Memang, sih, kata-kata itu tanpa bernada umpatan, tanpa penekanan makna, tanpa keseriusan. Hanya sebuah percandaan. Namun tanpa kasih sayang.
Tapi tetap saja dia mengatakan, saya seperti seekor anjing jalanan! ”Berarti saya suka menumpahkan air liur? Menjilat-jilat pantat majikan? Atau menggonggong di kesunyian malam?” Dedar saya.
Dia tertawa. ”Bisa jadi. Tapi, okelah! Meski anjing jalanan, Kau tetap anjing jalanan yang manis.”
”Kalau saya anjing jalanan, berarti saya juga siap ditendang? Dilempari dengan sepatu laras keras ke muka saya? Siap diteriaki maling? Siap ditabrak sedan-sedan plat merah?”
”Pokoknya segala konsekuensi menjadi anjing jalanan-lah! Maaf-maaf saja!”
”Saya mengerti!” Kemudian saya melolong. Auuuuuuuuuuuuuuu……….., dan dia senang mendengar lolongan saya. Wanita itu, sahabat saya, kekasih saya, musuh bebuyutan saya, sekaligus rival saya, kemudian, berjingkrak-jingkrak kesenangan. Pinggul rampingnya digoyang-goyang. Senyumnya dikembang-kembangkan. Kedua tangannya bergerak-gerak membentuk menirukan anjing. Sambil mulutnya dimonyong-monyongkan. Huk…huk…huk… lucu sekali. Saya berusaha menebak, apakah dia menirukan anjing jalanan atau anjing gedongan?
Kami pun kemudian tertawa bersama. Berjoget bersama. Melolong bersama. Berjilatan bersama. Wah, pendek kata, semuanya bersama-sama deh! Tak sopan menceritakannya semua.
”Kita ternyata sama-sama seperti seekor anjing ya?” Canda saya.
”Tetapi tetap, kau anjing jalanan, aku anjing rumahan!”
” Lho?
”Apanya yang lho?”
”Nggak jadi ah….”
”Ayolah! Apanya yang lho?”
”Malu nih!”
”Kau malu dengan aku? Dengan sahabatmu? Dengan anjing peliharaanmu ini?” Dia mengatakan, ia anjing peliharaan saya? Yang benar saja Non! Enak saja kau bilang saya punya anjing peliharaan. Anjingnya kamu lagi! Nggak matching! Saya nggak mau, anjing peliharaan saya mengumpat majikannya sebagai anjing jalanan. Mengatai-ngatai saya, sepatu berlars keras, cukup layak menendang pantat saya. Mengata-ngatai, bahwa saya cukup terhormat ketika harus mati ditabrak sedan-sedan plat merah. Meskipun kamu bilang, saya anjing jalanan yang manis.
Pendeknya, saya tak mau, memiliki anjing peliharaan yang bisa menggigit pantat saya dari belakang. ”Seekor anjing pun punya harga diri. Punya hak hidup, dan tentu saja masih bisa menggonggong dan menggigit ketika sakit!” urai saya.
”Lho?” Dia terbengong. Benar-benar mirip sekali…maaf… dengan anjing. Tapi masih tetap cantik, kok. Seekor anjing yang manis, centil, dan menggairahkan.
”Apanya yang lho?” Tanya saya.
”Kamu pikir aku mau menggigit pantatmu?”
”Saya nggak mengatakan begitu!”
”Tapi maksudmu itu, kan?!”
”Tapi saya lebih suka kau gigit bibir saya.”
Dan, kemudian, kami pun tertawa. Bergoyang-goyang pinggul. Saling memoncong-moncongkan mulut. Menggerak-gerakkan kedua tangan menirukan anjing. Dan, huk…huk…huk…, saling menggonggong bersahutan.
Dia menghentikan gerakannya. Kemudian, menarik saya untuk menghentikan kekanak-kanakan ini semua. Dia berbisik, ” Apakah kau tidak suka memiliki anjing secantik saya?”
Lagi-lagi saya tak bisa menahan tawa dengan pertanyaan terakhirnya itu. “Tentu saja aku tidak bisa melakukannya!”
”Kenapa?”
”Seekor anjing tidak bisa bersahabat dengan anjing. Apalagi memilikinya!”
”Lho?”
”Anjing hanya bisa bersahabat dengan manusia! Tidak dengan sesama anjing!”
”Ah…teori!”
”Kalau tak percaya, ya, sudah! Aku tak memaksa.”
”Buktinya kita bisa bersahabat?”
”Karena kau anjing yang cantik, sementara aku anjing jalanan!”
”Yang penting kan sesama anjing!”
”Iya, ya…”
”Nah….kan! Tidak ada yang aneh dalam hidup ini! Bahkan banyak orang yang menuhankan anjing!”
”Masa?”
”Buktinya, banyak penjilat yang sukses. Banyak pengonggong yang jadi pejabat. Lihatlah! Mereka disembah-sembah selayak tidak ada yang lain di dunia yang lebih patut untuk dititah! apa itu tidak berarti menuhankan anjing?”
”Pintar juga kau! Memang, selain cantik, kau memang seekor anjing yang pintar!”
”Seorang anjing!”
”Apa bedanya seekor dan seorang?”
”Tentu beda! Tentu saja jika seekor, tidak bisa menjadi pentitah!”
”Tidak bisa menjadi pejabat maksudmu?”
”Ngomong-ngomong, awas! Di belakang kita ngebut mobil pejabat!” Dan kami pun dibuat lari tunggang-langgang dari ruas jalan. Mungkin ia lagi tergesa-gesa biar kebagian dana kompensasi BBM.
Nasib… nasib…
Batam, Minggu ketiga Oktober