Rally atau campaign?
DUA pekan lalu, di Tabloid DIA, saya mengakhiri tulisan Rasa Singapura dengan ucapan selamat kepada rakyat Singapura, “Selamat Berkampanye!” Memang, sepanjang sebulan terakhir ini tujuh partai peserta pemilu Singapura sibuk mencari muka dari rakyat mereka. Menggelar rapat di mana-mana, calon legeslatifnya blusukan ke pasar-pasar. Tak jauh beda dengan kampanye di sini. Tapi ada sedikit ganjalan yang menggelanyut di benak saya hingga Kamis pekan kemarin saat tulisan ini mulai saya ketik. Kenapa Singapura menyebut rally untuk kampanye di sana? Kenapa tidak memakai kalimat umum, campaign, yang dalam bahasa Indonesia berarti kampanye. Saya segera membuka kamus besar Bahasa Indonesia edisi keempat keluaran Pusat Bahasa. Menyasar huruf K untuk mencari pengertian kampanye. Dan salah satu artinya, saya kutipkan di sini:
Kampanye = gerakan serentak untuk melawan atau mengadakan aksi! Terjemahan dari kalimat asli berbshasa Inggris, campaign, lebih “ngeri” lagi: campaign bisa berarti “mengadakan operasi militer”. Operasi militer yang mana? Di titik ini saya kian bingung. Apalagi ketika menemukan arti di kamus bahasa Inggris bahwa salah satu pengertian rally adalah “rapat umum”. Operasi militer tentu tidak cocok untuk merujuk sebuah kampanye politik; sementara rapat umum tentu tidak bisa disematkan pada frasa kampanye politik karena tidak ada interaksi dua belah pihak yang seimbang. Bukankah sebuah acara bisa disebut rapat jika ada interaksi dari kedua kubu, kedua belah pihak.
Tapi dua hari di akhir pekan kemarin, ketika saya hadir di tiga kampanye (baca: rally) di Singapura, sedikit memberi gambaran kenapa kata “rally” lebih dipilih ketimbang “campaign“. Kampanye pertama yang saya saksikan adalah ketika saya dan istri saya terpaksa menuruti keinginan si kecil Ken, pulang jalan kaki dari stasiun ke rumah kami. Tidak jauh memang, cuma sekitar 10 menit jalan kaki melewati lahan terbuka seluas sekitar tiga hektar berumput aduhai yang tiap minggu saya dan adik ipar pergunakan untuk bermain bola. Entah kenapa, malam itu si kecil ogah naik bus, sesuatu yang menjadi hobinya selama ini.
Kebetulan ada rally partai berkuasa Singapura, People Action Party (PAP), di lapangan terbuka yang kami lewati ketika hendak pulang. Ini pengalaman pertama saya melihat kampanye di Singapura setelah empat tahun lebih menikah wanita Singapura. Jadi, spontan saja saya membelokkan langkah ke kerumunan ribuan warga yang tengah mengelilingi panggung berukuran sedang dengan cahaya penerang yang menyilaukan.
Kampanye di sana memang lebih banyak digelar malam hari, dan ini sangat masuk akal mengingat kesibukan kerja sebagian besar warga Singapura. Di belakang kerumunan sembari memperhatikan Ken yang lari ke sana-sini, saya mencoba mencerna isi kampanye. Untungnya, di Singapura, etiap orasi dalam sebuah kampanye harus diucap dengan tiga bahasa, Inggris, China, dan Melayu. Jika si caleg tidak menguasai tiga bahasa, ada penterjemah yang akan membantunya.
Untuk negeri yang nyaris politiknya senyap seperti Singapura, datangnya ribuan warga di kampanye malam itu merupakan hal yang mengejutkan bagi saya. Padahal tidak ada artis mahal yang didatangkan, tidak ada bagi-bagi kaos gratis, apalagi bagi-bagi ongkos bensin dan nasi bungkus yang seperti kampanye kita. Saya hanya kebagian brosur tentang profil calon legeslatif yang tengah berorasi.
Tak perlu disebutkan lah siapa caleg yang ketika itu mendapat giliran rally. Tapi kata “rally” memang lebih masuk akal dipakai ketimbang campaign. Karena tidak ada aksi-aksi “fantastis” menyulut perseteruan dengan lawan-lawan politiknya. Tidak ada orasi menggebu-nggebu hingga mulut berbusa-busa untuk menjanjikan ini-itu. Tidak ada hujatan, tidak ada kalimat-kalimat memanaskan telinga. Yang ada hanya menawarkan program partai. Kampanye Indonesia jauh lebih mengasikkan dan mengeluarkan lebih banyak adrenalin. Pengertian campaign berupa “gerakan serentak untuk MELAWAN atau mengadakan aksi!” tentu tidak cocok untuk acara di lapangan Hougang yang saya saksikan Sabtu malam itu. Belum setengah jam, saya sudah mengajak istri pulang. “Membosankan,” kata saya ketika itu.
Keesokan harinya, seusai hari yang panjang kami menuruti kemauan Ken berkeliling Singapura naik bus, kami kembali melewati sekerumunan acara rally. Kali ini di daerah Yio Chu Kang, setengah jam perjalanan naik bus dari tempat tinggal kami di Hougang. Kali itu partai oposisi yang mendapat bagian rally: Workers Party, partai berlogo palu warna kuning yang menjadi partai terbesar kedua di Singapura. Kali ini suasana lebih riuh ketimbang rally PAP yang saya saksikan sehari sebelumnya. Tribun dan sebagaian lapangan di Stadion Yio Chu Kang, tempat digelarnya rally Worker Party, bejibun warga yang menonton. Saya bertanya pada istri, kenapa partai yang berkuasa lebih sedikit penontonnya ketimbang partai oposisi? Dia bilang, “ah... paling cuma menonton saja. Asyik dengar omongan mereka. Pun tak akan menang mereka.”
Dari brosur yang saya terima, ada dua nama caleg yang saya pikir masih terlalu hijau untuk mengurusi negera secepat Singapura. Dua caleg pria, masing-masing berusia 23 dan 24 tahun. Pemuda seusai ini di Singapura, kata istri saya, sebagaian besar masih “netek” orangtua dan asyik dengan masa muda mereka. “Apa saya mau diurus anak muda yang tak bisa apa-apa?” istri saya balik bertanya.
Lagi-lagi ganjalan saya soal pemilihan kata “rally” seolah terjawab begitu mendengar orasi wakil-wakil Partai Pekerja. Orang Jawa bilang, babarblas tidak ada gerakan atau aksi “perlawanan” dalam oras-orasi mereka. Setidaknya jika saya bandingkan dengan orasi-orasi partai oposisi di Indonesia. Mereka hanya berandai-andai, seandainya partai mereka terpilih, rakyat akan diberikan ini, dikasih itu…. Yang ini mirip partai-partai Indonesia yang gemar umbar janji.
Selain rasa hambar di rally-rally mereka, jalanan di Singapura juga tak semarak jalan-jalan di Kepri ketika kampanye digelar. Tidak ada stiker tertempel sana-sini yang setelah kemudian jadi sampah setelah pemilu selesai. Tidak ada pawai-pawai kendaraan bermotor yang memacetkan jalan. Sebagai ganti, hanya ada sebuah lori keliling yang menyiarkan kaimat kampanye dari corong pengeras suara. Mirip-mirip pengumuman dari mobil bioskop di kota asal saya di Malang, yang mengumumkan film apa yang bakal diputar di gedung bioskop mereka.
Poster-poster dan bendera memang ada. Tapi tertata rapi di pinggir jalan atau terikat dengan baik di tiang-tiang lampu. Saya bayangkan, jika pemilu selesai, sekali gasruk bersih tak tersisa lah bekas-bekas alat kampanye enam partai politik Singapura.
Rally Singapura? Ah, bukankah ketika tulisan ini terbit mereka sudah mencoblos! Sudah tak perlu lagi mempersoalkan kata rally atau campaign. Rapat besar atau aksi massa. Sekali lagi – meski terlambat – selamat berpesta, Singapura!
Tulisan ini Diterbitkan di Tabloid DIA edisi 2 Mei 2011