Kemarin dia baru saja mengatakan, saya adalah sahabat terbaik yang dimilikinya. Segala hal yang ada pada diri saya, adalah anugerah yang menjadikannya jauh lebih dewasa, lebih bisa berpikir positif. ”Biar nggak kampungan,” selorohnya. Nafasnya yang wangi, gemelinjang menerpa indera penciuman saya. Sedikit membuat otak saya sara.
Pun saya mengatakan hal yang serupa. Saya katakan, ”Kau adalah sahabat yang terindah yang pernah saya miliki! Karena kau suka ngutangi aku,” dan, dia pun tertawa dengan celotehan saya.
Kemarin, dia masih berjalan di samping saya dengan senyum mengembang. Menggandeng tangan saya dengan mesra sambil langkahnya yang berjingkit-jingkit itu, yang selalu sunyi tak terdengar, yang membuat tampilan keseluruhannya semakin memesona, masih mewarnai aktifitas saya.
Kemarin, dia masih memutarkan vcd I am Mine-nya Pearl Jam di telinga saya. Sambil, masih, membisikkan ribuan kata-kata, bahwa saya adalah sahabat terbaik yang dimilikinya. Seraya tubuhnya yang wangi merebah di samping saya. Di antara tumpukan tabloid-tabloid sepakbola. Mengapit sejejak dalam lembaran buku-buku teori pewarta. Tapi kerlingan matanya, sedikit meragukan saya.
Kemarin, dia masih meng-SMS saya. Mengatakan apakah ada yang lain yang terbaik di dunia ini selain memiliki seorang sahabat yang tidak terbantahkan, terbutuhkan. Saya katakan masih ada: ”Seks!” Dan ia pun kemudian tertawa terbahak-bahak. Dalam SMS-nya.
Kemarin, ketika di luar hujan mengguyur keras, dia masih berbasah-basah bertandang ke kamar kos saya. Mengetuk pintu triplek kamar keras-keras sambil mengumbar tawa renyahnya. ”Kau masih menyisakan vodka untukku?” Tanyanya ketika pintu saya buka. Ketika dia bertanya demikian, saya pastikan, di balik kedalaman mata nakalnya, di balik suaranya yang sesak mendesah, terasa selaksa duka. Kesedihan yang terpendam dalam pada ramping tubuhnya yang semakin kentara oleh bajunya yang membasah. Kemudian, lagi-lagi ia berkata, saya adalah sahabat terbaiknya. Hingga black label terakhir yang saya punya saya relakan membakar kerongkongannya.
Berikutnya, dengan merancau kata-kata, dia tumpahkan
segala riuh gelisahnya. Saya merejang air, meracik kopi
untuk saya, sambil mendengarkan ceritanya. Lama sekali,
hingga akhirnya kepalanya terkulai, terkalahkan alkohol dalam genggamannnya. Sebelum kemudian dia ngorok dengan kerasnya, dia sempat memberi kecupan pada pipi kiri saya. Kecupan kesedihan.
Namun, ketika saya memintanya untuk menjadi sahabat
terbaik saya–bukan sahabat terindah–dia berkilah,
saya adalah seorang lelaki yang teramat kuat untuk
tidak tergantung pada seorang sahabat. Dia
menegaskan, eksistensi saya akan tercemarkan jika
saya memintanya demikian. Bahwa saya tidak akan jauh lebih kuat, dengan kehadiran seorang sahabat terbaik. Sambil mencecar sejuta macam ketakutan-ketakutan tentang sebuah keburukan sahabat. Saya bertanya, ”apakah ada yang lain yang terbaik di dunia ini selain memiliki seorang sahabat terbaik?”
”Seks!” Dan ia pun tertawa. Tawa terakhir dari bibir merah merekah miliknya. Tawa terindah yang pernah diperlihatkannya kepada saya. Lalu, seonggok kecupan melayang di pipi kanan saya. Besoknya, saya tidak bisa lagi berharap dia membisikkan kata-kata, bahwa saya sahabat terbaiknya. Saya hanya bisa mendapati bau parfumnya. Di sprei kamar saya.
Batam Minggu pertama Oktober