: Juga ketika Kita takut “Cegatan” Polisi?
– Ridwan Kamil mbangun Bandung.
– Risma bersih-bersih Surabaya.
– Ahok buat PNS Jakarta bekerja baik.
Emang apa istimewanya mereka? Saya benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa begitu banyaknya orang, memuji-muji mereka setinggi langit. Seperti tidak ada orang baik lain di Indonesia ini. Dalam cara berpikir saya, lha…, kan memang sudah menjadi PEKERJAAN mereka begitu, Ridwan Kamil sebagai walikota Bandung, tentu harus mbangun Bandung sebaik mungkin, sehebat mungkin. Memakmurkan rakyatnya semakmur mungkin. Menjadi pemimpin sejujur mungkin. Begitu juga Risma, Ahok, dan tentu saja seharusnya seluruh pemimpin negeri ini.
Lha kalau mereka sudah jujur, sudah mbangun daerahnya, kan itu memang sudah SEHARUSNYA. Sewajarnya. Tidak perlu dibesar-besarkan, tidak perlu dimulia-muliakan secara berbunga-bunga. Bukankah mereka dipilih, dibayar untuk melakukan yang demikian. Itu seperti tukang pel lantai yang memang pekerjaannya bersihkan lantai. Tukang listrik yang kudu beresin masalah listrik.
Cukup didoakan saja mereka, di setiap kita bisa, agar Gusti Allah memberi pemimpin-pemimpin baik kepada Indonesia. Memberi kebaikan kepada pemimpin-pemimpin yang memang benar-benar mengurusi kita, rakyatnya. Pujian berlebihan akan mendatangkan malapetaka. Pemimpin-pemimpin itu bisa besar kepala. Dan hal itu, bisa merusak diri mereka sendiri.
Yang luar biasa dan perlu mendapat pujian itu, jika ada tukang pel lantai, yang sekaligus biasa ngimami sholat, pulang ke rumah masih jualan makanan, malamnya ngojek, dan kemudian sebagian besar penghasilannya dishodaqohkan ke yatim piatu. Kalau ada orang yang demikian, orang seperti inilah yang kita bisa anggap LUAR BIASA. Patut mendapatkan pujian setinggi langit.
***
Akhir-akhir ini, saya sering melihat banyak sharing-sharing status di Facebook tentang prosedur polisi dalam melakukan operasi lalu lintas. Di tempat kami di Malang, acara yang demikian biasa disebut “cegatan”. Polisi memeriksa surat-surat dan kelengkapan pengendara bermotor, jika ada sesuatu yang dianggap melanggar, polisi kemudian mengeluarkan surat tilang.
Banyak memang, penjelasan yang bermanfaat dari sharing informasi tersebut. Seperti misalnya prosedur yang benar yang harus dipenuhi polisi dalam melakukan aksi “cegatan”. Tapi, kebanyakan, dari banyak rekan Facebook yang sharing, nada-nada mereka justru lebih pada rasa ketakutan atas “cegatan” itu sendiri, ketimbang prosedur “cegatan” yang benar.
Satu kali, saat masih di Batam, saya pernah saya diminta tolong seorang paguyuban untuk membantu “ngelobi” polisi yang menangkap anggotanya. Saya sih tidak bisa yang begini-begini, meski saat itu masih wartawan (banyak yang mengira wartawan itu sakti, padahal itu bohong saja). Tapi, kalau mau, setidaknya bisa membantu sedikit dengan misalnya, meminta wartawan saya yang bertugas di kantor polisi untuk membantu “menyelesaikan”. Tapi saya ogah. Setelah saya tanya apa masalahnya, rekan menjelaskan, “mereka ditangkap karena naik motor tak pakai helm dan tak punya SIM”. Lha kok jancuk tenan…, mereka yang melanggar, orang lain yang disuruh beresin. Saya saja kalau naik motor selalu melengkapi diri dengan helm standar, spion motor ada, dan tentu saja SIM. Kalau mau petantang-petenteng, ya…, kudu tahu akibatnya Bro! Begitulah cara berpikir orang dewasa.
Kalau masih kanak-kanak, biarkan bapak mereka saja yang ngurusi!
Kenapa kita harus takut dengan”cegatan” polisi? Sampai-sampai kita bahas tuntas hingga ke media-media sosial. Jika takut? Berarti ada hal yang kita langgar. Jika, misalnya, kita sudah punya SIM, pakai helm standar, motor kita baik, dicegat sepuluh kali sehari pun, seharusnya tidak menjadi persoalan.
Ketakutan kita pada “cegatan” polisi. Atau pujian selangit yang kita alamatkan pada Ridwan Kamil, Risma, atau Ahok yang suka ngomong jorok itu; membuktikan bahwa ada KETIDAKWAJARAN di masyarakat Indonesia. Sesuatu yang seharusnya wajar dibesar-besarkan. Ada ketakutan sekaligus rasa putus-asa. Ada kegilaan sekaligus PERASAAN RINDU yang teramat besar pada pemimpin-pemimpin yang seharusnya melakukan tugas mereka dengan baik (sebetulnya tak perlu BAIK, melakukan tugas dengan WAJAR saja, sudah sangat susah mencarinya).
Tidak hanya di kalangan pejabat atau petugas pemerintah, sebagian masyarakat Indonesia masakini juga senang membesar-besarkan hal-hal biasa di lingkungan mereka sendiri. Banyak yang melongo terkagum-kagum ketika melihat seorang polisi nyambi memulung sampah. Banyak yang langsung mengucap “subhanallah…” ketika melihat tukang parkir jujur mengembalikan barang jatuh pemakai motor. Banyak yang teriak “wow…” saat melihat gadis-gadis cantik mau-maunya jualan nasi di warung pinggir jalan. Bukankah semua itu seharusnya sebuah bentuk KEWAJARAN?!
Di Singapura, tempat saya cari makan saat ini misalnya, sebaliknya dengan di Indonesia. Kita mudah menemukan pelajar-pelajar cantik yang nyambi bekerja sebagai pelayan McDonald. Atau pejabat penting naik angkutan umum. Juga mahasiswa yang nyambi jadi tukang cuci piring. Jangankan mencari pejabat korupsi, menemukan mereka yang sekadar main-main dengan jabatan saja langkanya naudzubillah. Hingga ketika ada pejabat/pemimpin di sini yang membangun dengan baik, tak perlu mendapat pujian berlebihan. Ya, karena memang sudah menjadi tugas mereka yang demikian.
Di tengah lautan pemimpin busuk di seantero Indonesia, pujian berlebihan dan kerinduan kita pada orang-orang yang melakukan HAL WAJAR seperti Ridwan Kamil, membuktikan, bahwa salah satu masalah utama Indonesia adalah persoalan mental. Dan lingkungan keluarga & sekolah adalah penyumbang utama masalah ini.