Sultan Yohana
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
Sultan Yohana
No Result
View All Result
Home Catatan Lepas Humaniora

Senyum Shinta dalam Sekantung Kentang Goreng

Sultan Yohana by Sultan Yohana
October 9, 2005
in Humaniora
0
0
SHARES
2
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Sebuah pilihan pelik. Apakah saya harus berpihak pada Sri Rama, ataukah kekasih pujaannya, Dewi Shinta? Saya dihadapkan pada dua pilihan, yang sungguh, keduanya tidak ingin saya pilih.

Saya sangat menghargai Sri Rama sebagai sebuah sahabat, teman diskusi dan begadang yang paling asyik sambil menghabiskan bergelas-gelas kopi robusta, sebagai sedulur, sekaligus sebagai yang tak terbantahkan: sesama laki-laki.

Sementara Dewi Shinta: seonggok lakon yang penuh dengan romantisir tangis mengharu biru, ketidakberdayaan, keangkuhan, pengkhianatan, kecerdasan, sekaligus pemerkosaan terhadap kemerdekaan kesejatian.

Kalau boleh saya memilih, mungkin sejauh mungkin saya akan mundur dari kancah pertikaian tersebut. Memilih duduk di warung kopi, sendiri, sambil menikmati lembar-demi lembar majalan Rolling Stones terbitan terbaru. Tentu saja dengan ditemani secangkir kopi. Double ekspresso, saya pikir, mungkin yang paling cocok untuk menemani.

Sebuah pertikaian cinta. Tema yang sepenuhnya tak pernah saya suka.

”Aku tidak mencintainya, meskipun aku tahu, takdirku mengharuskan dia menjadi suamiku! Tapi aku benar-benar tidak mencintainya,” begitu Dewi Shinta mengemukakan argumennya. Kekasih pujaannya tetap seorang Ronaldo, kusir keraton yang naudzubillah hitam kulitnya. Bak batu kali, namun keras menyudahi.

”Perasaan cinta tak bisa dipaksakan, Adinda pasti tahu itu!” Dewi Shinta menambahkan. Saya sudah bisa tebak, kalimat inilah yang berikutnya bakal keluar dari bibir merah membasahnya. Dan benar. Susahnya menjadi wanita, begitu mudah mereka ditebak, jika emosi sedang membuncah.

Saya hanya manggut-manggut, menghisap rokok, menyulutnya lagi ketika habis, nyruput kopi, dan manggut-manggut lagi. Sambil ngemil fried potato yang gurihnya naudzubillah.

Ada sekuntum air menggantung pada dua kornea mata Dewi Shinta. Kuat juga perjuangannya untuk tidak menjatuh, membasahi pipi merona. Ketika saya tusuk dengan selarik pandangan jauh ke dalamnya, saya dapati seonggok luka menganga. Dengan nanah dan darah menghiasinya. Saya berpikir, kenapa seorang harus dikalahkan dengan takdirnya? Kenapa seorang harus pasrah dengan keadaan di luar kehendaknya? Kenapa manusia harus menderita? Saya sungguh tidak menyukai hal seperti itu. Karena saya sangat menikmati sajak-sajaknya Chairil Anwar.

”Adinda jangan berkata, saya telah mengingkari kesejatian saya sebagai manusia
merdeka!” Walah…. kok dia sepertinya membaca pikiran saya? ”Adinda jangan membuncah dengan slogan omong kosongnya Nietzhe, eksistensialisme-nya Chairil Anwar, atau pemberontakannya Sartre. Karena saya adalah Dewi Shinta, yang hidupnya memang diplot untuk menjadi milik Sri Rama.”

”Saya belum berkata apa-apa lho, Jeng,” saya coba mencairkan ketegangan. Dewi Shinta pun tersenyum. Tipis, seperti selembar tissu warung makan pinggir jalan. Yang kemudian, tissu itu ingin saya ambil, saya pakai untuk mengusap sudut bibir saya yang ternoda oleh minyak dari kentang goreng.

Saat itu, saya tidak bisa pastikan, saya berada di pihak Dewi Shinta. Karena saya benar-benar seorang penikmat sajaknya Chairil Anwar. Terlebih, karena saya yakin, Dewi Shinta tak perduli saya berada di pihak mana. Saya yakin itu.

Dalam elektronik mail terakhirnya, Sri Rama berkata, apakah dia harus menjadi seorang lelaki sempurna, untuk bisa menaklukkan hati Dewi Shinta? Sempurna yang tak boleh melakukan sedikit kesalahan? Sempurna yang selalu mengirimkan serangkai-rangkai bunga? Mengucapkan serangkaian kata-kata cinta? Atau sekedar membebaskan Dewi Shinta dengan gaya apa adanya? Semau-maunya? Pengkhianatan terhadap eksistensi? ”Bukankah, secara takdir, dia bakal menjadi milik saya,” Rama menegaskan pertanyaannya.

Balasan saya: maaf, saya hanya bisa menikmati sajak-sajak Chairil Anwar.

***

Sekantung fried potato garing di hadapan saya ini benar-benar gurih dan melenakan. Apalagi ketika ujungnya dicelupkan pada saus cabe untuk kemudian terkalahkan oleh gemelatuk kerasnya gigi-gigi. Kemudian, sebelum benar-benar rasa gurihnya menguap dari rongga mulut, sruputan kopi menangkupi. Berikutnya, sudutan asap-asap rokok, pemandangan luar ruangan yang berwarna-warni, kelebatan wangi parfum-parfum aneka ragam milik lalu-lalang orang, kemerlap lampu-lampu antero kota, dan tentu saja senyum setipis tissu milik Dewi Shinta.

Seandainya Sri Rama adalah potongan-potongan kentang, Dewi Shinta selayak saus cabe, bisa jadi merupakan suatu hidangan yang menyenangkan. Tapi saya tahu, Sri Rama terlalu naif, sementara Dewi Shinta, dari kedua bola matanya, tidak bisa tersembunyikan, bahwa ia menganggap saya sebagai seonggok sampah yang sama sekali tak perlu dihargai. Hanya karena saya cuma bisa menikmati sajak-sajaknya Si Binatang Jalang.

Batam, Minggu pertama Oktober

Sultan Yohana

Sultan Yohana

Related Posts

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!
Humaniora

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

April 20, 2025
Gadis China yang Tidak pernah Pakai Alas Kaki
Humaniora

Gadis China yang Tidak pernah Pakai Alas Kaki

March 16, 2025
Bos dan Juragan Berkelas: yang selalu membayar layak karyawannya
Humaniora

Bos dan Juragan Berkelas: yang selalu membayar layak karyawannya

December 12, 2024
Next Post

Si Penjual Bintang

Dia Mengatai Saya Anjing Jalanan

Perempuan yang Kaku Beku

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Me

Rekomendasi

Si Kurang Waras di Depan Masjid Abrar

Si Kurang Waras di Depan Masjid Abrar

11 years ago
Girang, Sukacita & Riang. Dan Awas Politikus “Lubang Jambang”!

Girang, Sukacita & Riang. Dan Awas Politikus “Lubang Jambang”!

2 years ago

Bocah, Bola, Senja

19 years ago
Saya Mendukung LGBT

Saya Mendukung LGBT

9 years ago

Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.

Kategori

  • Batam
  • Bolaisme
  • Catatan Bola
  • Catatan Lepas
  • Catatan Publik
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
  • Humaniora
  • Indonesiaku
  • Jurnalisme
  • Kultur
  • Ngalor Ngidul
  • Politisasi
  • Review
  • Sastra
  • Singapura
  • Tentang Aku
  • Video

Topics

Abdul Gofur Air minum Alas kaki Batam Bule Catatan Cerita Dollar Efisiensi Ekor panjang Fasilitas Foto Gadis China Gaji Honor Humaniora Indonesia Jam tangan Jatim Johor Kedai Kucing Kurs Malang Malaysia Masjid Monyet Mudik Pajak Pengemis Perpustakaan Photo Premanisme rasa singapura Rezeki Rupiah Sejarah Sepakbola Sepeda Singapore Singapura Taipei Taiwan Tanjungpinang Warung
No Result
View All Result

Highlights

Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

Kucing-kucing Mudik

Pintarnya Johor Mendulang Untung dari Singapura

Gadis China yang Tidak pernah Pakai Alas Kaki

Trending

Perpustakaan dan Pajak Kita
Catatan Publik

Perpustakaan dan Pajak Kita

by Sultan Yohana
June 3, 2025
0

BELUM lagi pantatnya duduk betul di kursi besi di kedai India langganan, tempat kami janjian makan malam...

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme

May 26, 2025
Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

May 19, 2025
Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

May 13, 2025
Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

May 3, 2025
Sultan Yohana

© 2023 Sultan Yohana

Kunjungi Juga

  • Tentang Saya
  • Privacy Policy
  • Kontak

Ikuti Saya

No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek

© 2023 Sultan Yohana