Sebuah pilihan pelik. Apakah saya harus berpihak pada Sri Rama, ataukah kekasih pujaannya, Dewi Shinta? Saya dihadapkan pada dua pilihan, yang sungguh, keduanya tidak ingin saya pilih.
Saya sangat menghargai Sri Rama sebagai sebuah sahabat, teman diskusi dan begadang yang paling asyik sambil menghabiskan bergelas-gelas kopi robusta, sebagai sedulur, sekaligus sebagai yang tak terbantahkan: sesama laki-laki.
Sementara Dewi Shinta: seonggok lakon yang penuh dengan romantisir tangis mengharu biru, ketidakberdayaan, keangkuhan, pengkhianatan, kecerdasan, sekaligus pemerkosaan terhadap kemerdekaan kesejatian.
Kalau boleh saya memilih, mungkin sejauh mungkin saya akan mundur dari kancah pertikaian tersebut. Memilih duduk di warung kopi, sendiri, sambil menikmati lembar-demi lembar majalan Rolling Stones terbitan terbaru. Tentu saja dengan ditemani secangkir kopi. Double ekspresso, saya pikir, mungkin yang paling cocok untuk menemani.
Sebuah pertikaian cinta. Tema yang sepenuhnya tak pernah saya suka.
”Aku tidak mencintainya, meskipun aku tahu, takdirku mengharuskan dia menjadi suamiku! Tapi aku benar-benar tidak mencintainya,” begitu Dewi Shinta mengemukakan argumennya. Kekasih pujaannya tetap seorang Ronaldo, kusir keraton yang naudzubillah hitam kulitnya. Bak batu kali, namun keras menyudahi.
”Perasaan cinta tak bisa dipaksakan, Adinda pasti tahu itu!” Dewi Shinta menambahkan. Saya sudah bisa tebak, kalimat inilah yang berikutnya bakal keluar dari bibir merah membasahnya. Dan benar. Susahnya menjadi wanita, begitu mudah mereka ditebak, jika emosi sedang membuncah.
Saya hanya manggut-manggut, menghisap rokok, menyulutnya lagi ketika habis, nyruput kopi, dan manggut-manggut lagi. Sambil ngemil fried potato yang gurihnya naudzubillah.
Ada sekuntum air menggantung pada dua kornea mata Dewi Shinta. Kuat juga perjuangannya untuk tidak menjatuh, membasahi pipi merona. Ketika saya tusuk dengan selarik pandangan jauh ke dalamnya, saya dapati seonggok luka menganga. Dengan nanah dan darah menghiasinya. Saya berpikir, kenapa seorang harus dikalahkan dengan takdirnya? Kenapa seorang harus pasrah dengan keadaan di luar kehendaknya? Kenapa manusia harus menderita? Saya sungguh tidak menyukai hal seperti itu. Karena saya sangat menikmati sajak-sajaknya Chairil Anwar.
”Adinda jangan berkata, saya telah mengingkari kesejatian saya sebagai manusia
merdeka!” Walah…. kok dia sepertinya membaca pikiran saya? ”Adinda jangan membuncah dengan slogan omong kosongnya Nietzhe, eksistensialisme-nya Chairil Anwar, atau pemberontakannya Sartre. Karena saya adalah Dewi Shinta, yang hidupnya memang diplot untuk menjadi milik Sri Rama.”
”Saya belum berkata apa-apa lho, Jeng,” saya coba mencairkan ketegangan. Dewi Shinta pun tersenyum. Tipis, seperti selembar tissu warung makan pinggir jalan. Yang kemudian, tissu itu ingin saya ambil, saya pakai untuk mengusap sudut bibir saya yang ternoda oleh minyak dari kentang goreng.
Saat itu, saya tidak bisa pastikan, saya berada di pihak Dewi Shinta. Karena saya benar-benar seorang penikmat sajaknya Chairil Anwar. Terlebih, karena saya yakin, Dewi Shinta tak perduli saya berada di pihak mana. Saya yakin itu.
Dalam elektronik mail terakhirnya, Sri Rama berkata, apakah dia harus menjadi seorang lelaki sempurna, untuk bisa menaklukkan hati Dewi Shinta? Sempurna yang tak boleh melakukan sedikit kesalahan? Sempurna yang selalu mengirimkan serangkai-rangkai bunga? Mengucapkan serangkaian kata-kata cinta? Atau sekedar membebaskan Dewi Shinta dengan gaya apa adanya? Semau-maunya? Pengkhianatan terhadap eksistensi? ”Bukankah, secara takdir, dia bakal menjadi milik saya,” Rama menegaskan pertanyaannya.
Balasan saya: maaf, saya hanya bisa menikmati sajak-sajak Chairil Anwar.
***
Sekantung fried potato garing di hadapan saya ini benar-benar gurih dan melenakan. Apalagi ketika ujungnya dicelupkan pada saus cabe untuk kemudian terkalahkan oleh gemelatuk kerasnya gigi-gigi. Kemudian, sebelum benar-benar rasa gurihnya menguap dari rongga mulut, sruputan kopi menangkupi. Berikutnya, sudutan asap-asap rokok, pemandangan luar ruangan yang berwarna-warni, kelebatan wangi parfum-parfum aneka ragam milik lalu-lalang orang, kemerlap lampu-lampu antero kota, dan tentu saja senyum setipis tissu milik Dewi Shinta.
Seandainya Sri Rama adalah potongan-potongan kentang, Dewi Shinta selayak saus cabe, bisa jadi merupakan suatu hidangan yang menyenangkan. Tapi saya tahu, Sri Rama terlalu naif, sementara Dewi Shinta, dari kedua bola matanya, tidak bisa tersembunyikan, bahwa ia menganggap saya sebagai seonggok sampah yang sama sekali tak perlu dihargai. Hanya karena saya cuma bisa menikmati sajak-sajaknya Si Binatang Jalang.
Batam, Minggu pertama Oktober