Udara sumuk, penuh nyamuk. Pada malam yang cerah, langit berwarna dengan hiasan kemintang. Benderang! Terintip dari celah kaca jendela kamar saya, yang terbuka seperempatnya. Saya merindukan hujan.
Dua orang gaduh, dari kamar sebelah. Tampaknya sedang membenah kamar mereka. Maklum, baru pindah. Ketika saya longokkah kepala tadi, barang-barang mereka berserakan di depan kamar mereka. Saya belum sempat menyapa mereka.
Semoga kecoak-kecoak yang ngendon di kamar mereka, tak eksodus ke kamar saya. Karena kamar saya, tampaknya sudah sesak menampung kecoak. Saya tidak ingin semakin tersiksa dengan udara sumuk, nyamuk, dan ditambah kecoak dari kamar tetangga.
Saya buka jendela lebar-lebar. Angin malam menerpa dan membuat rambut saya berantakan. Sejenak saya menikmati hembusannya dan berusaha mencapai klimaks dengan tarikan-tarikan nafas paling panjang yang saya bisa. Sejenak saya bisa mendapatkannya, sebelum akhirnya tersenggal dengan pemandangan yang begitu mencengangkan. Kemintang yang ada di gelap langit malam, kok, seperti barang-barang dagangan di toko-toko kelontong? Menggantung, berjejar, beraneka rupa warna, beraneka macam bentuk, dan tentu saja beraneka macam harga.
”Sampeyan berani menawar berapa untuk bintang kejora ini?” Lebih mencengangkan lagi, ketika sebuah suara tanpa rupa membuyarkan lamunan saya. Mengagetkan saya. Lebih terperanjat lagi, di depan saya sudah tersodor seonggok bintang dengan kejoranya yang luar biasa terang. Bak intan 340 karat yang diterpa cahaya rembulan. Sungguh indah. Saya longok ke kanan-kiri, namun, tak menemukan, milik siapa suara tadi. ”Untuk benda seindah ini, mungkin seperempat hidup sampeyan cukup berharga sebagai gantinya!” suara itu kembali mengemuka.
Sejenak, saya begitu tertarik untuk memiliki si bintang kejora. Taruhannya seperempat hidup saya? Saya pikir cukup masuk akal untuk memberternya dengan barang sedemikian indah. Jutaan manusia negeri ini, bahkan, mempertaruhkan sepanjang hidupnya, dapatnya cuma selembar kartu kompensasi BBM. Itupun mencairkannya harus dengan susah payah. Padahal itu sudah menjadi hak mereka.
Seonggok bintang kejora? Siapa pula yang meragukan keindahannya? Kehebatannya? ”Kalau saya benar menginginkan ini, lalu bagaimana cara pembayarannya?” Saya tak ingin kehilangan kesempatan pertama. ”Bagaimana kalau saya menawar, sepuluh tahun dari hidup saya?!”
Sejenak saya sadar, saya seperti orang gila, tawar menawar dengan bukan siapa-siapa. Tapi, sungguh, indahnya bintang kejora di hadapan saya, membuat saya bisa melakukan itu.
”Itu harga pas, Mas! Mau ambil atau tidak? Kalau tidak, dalam hitungan sepuluh, bintang itu akan lenyap dari hadapan sampeyan. Pasti sampeyan akan menyesal!” Tambah suara yang tadi. Dan, tanpa banyak kata, saya mengiyakan tawarannya. Saya tandatangani kuitansi jual-beli, dan berikutnya, bintang kejora sudah sah menjadi milik saya.
Saya elus-elus benda berharga itu. Saya bungkus kertas koran, dan saya simpan rapat-rapat. Takut kecoak mengganggunya. Saya pun kemudian menutup rapat-rapat daun jendela kamar saya.
”Tok…tok…tok…” jendela kamar saya terketuk. Saya buka, dan di hadapan saya sudah tersodor seonggok benda yang jauh lebih indah dari bintang kejora yang berhasil saya miliki tadi. ”Seperempat hidup sampeyan, untuk bintang senja yang begitu menakjubkan ini?” bunyi suara yang tadi. Saya menyebutnya suara ghaib penjual bintang. Dan lagi-lagi tanpa banyak tanya, saya mengiyakan, saya tandatangani kwitansi jula-beli, kemudian, bintang senja pun sudah berhak menjadi milik saya. Saya elus-elus benda berharga itu, kemudian saya bungkus kertas koran dan saya simpan rapat-rapat. Takut kecoak mengganggunya. Saya pun kemudian menutup rapat-rapat daun jendela kamar saya.
Wuih…dua buah benda, bintang kejora dan bintang senja sudah menjadi milik saya. Dua benda yang, tentu saja, sangat berharga. Selain indah, menakjubkan, mahal harganya, tentu saja tidak semua orang bisa mendapatkannya. Orang yang kerja banting tulang tiap hari, kepala jadi kaki kaki jadi kepala, belum tentu bisa mendapatkan dua benda yang begitu indah ini. Setengah hidup saya, cukup layaklah, coi…
Sebelum saya picingkan mata, daun jendela saya kembali diketuk. Saya buka, dan kini di hadapan saya, sudah menampak rangkaian belasan bintang. Lebih indah, lebih menakjubkan, lebih melenakan, dari dua benda yang saya sudah saya miliki sebelumnya. ”Kami berikan diskon deh, untuk rasi bintang utara ini, hanya sepuluh tahun dari hidup sampeyan! Ambil atau tidak?” Sudah jelas, saya ambil tawaran itu.
Berturut-turut, kemudian, daun jendela saya terketuk. Berturut turut pula, saya tandatangani kwitansi jual beli, hingga pada pembelian terakhir, sebuah rasi bintang selatan, limit hidup saya sudah tak mencukupi. Berbagai hal paling berharga milik saya, semua sudah saya barterkan. Saya begitu mengingini untuk memiliki benda itu. Untuk terakhir kali, pikir saya. Ketika tawaran saya satu-satunya, harga diri, saya sodorkan, terjadilah kesepakatan.
Kini, saya tidak memiliki apa-apa.
Batam minggu kedua Oktober.