Di blok 177 Ang Mo Kio Avenue 4, ia berhenti. Tampaknya ia butuh istirahat, sepulang dari pasar, berjalan kaki. Punggung ringkihnya disandarkan begitu saja di pilar apartemen. Tongkat yang sekaligus payung di tangan kanannya, membantu menopang tubuhnya agar tidak kolap. Nafasnya terengah-engah. Bibi Marie, perempuan 83 tahun itu, seperti putus asa untuk menyelesaikan setengah jalan menuju rumahnya di blok 178.
Saya melewati Bibi Marie, Sabtu (6/1/2024) pagi itu. Kami saling kenal, karena sama-sama tinggal di blok 178. Seorang diri ia menempati sebuah rumah tiga kamar di lantai 4, sementara saya bersama keluarga di lantai 7. Dua tahun silam, ia masih tinggal bersama suaminya yang juga sama-sama sepuh dan pikun. Namun setelah si suami diboyong ke nursing home, Bibi Marie tinggal seorang diri. Saya sapa dia sembari menawarkan bantuan “adakah yang bisa saya bantu?”
Ia sumringah dengan sapaan saya. “Kalau tidak keberatan, tolong bawakan ini!” pintanya.
Sekantong kresek belanjaan disodorkan pada saya. Semula saya pikir, itu kantong berat, hingga butuh bantuan. Tapi setelah berpindah tangan, kresek itu tak lebih berat dari seperempat kilo. Seharusnya dia bisa mengangkatnya. Tapi, kenapa dia malah minta bantuan mengangkatkan? Tiba-tiba saya segera memahami, sebetulnya dia ingin minta bantuan lainnya. Ia butuh dituntun pulang. Saya pun menawarkan bantuan menuntunnya jalan. Lagi-lagi tawarannya diterima dengan sumringah.
Butuh waktu sekitar 15 menit, hanya untuk berjalan sekitar 60 meter. Bayangkan betapa lambatnya Bibi Marie berjalan. Di sepanjang itu ia banyak bercerita pada saya. Bercerita tentang suaminya yang kini sudah pikun. Tentang tiga anaknya yang semuanya telah berkeluarga dan tinggal terpisah. Tentang ringkih tubuhnya yang kian tak bisa ditoleransi. Tentang apa saja yang bisa diceritakannya. Saya bertanya, mengingat usianya yang sepuh dan tubuhnya yang begitu lemah, kenapa tidak tinggal di rumah salah satu anaknya? Atau “Anda bisa minta salah seorang cucu Anda tinggal dan menemani Anda di sini!” saran saya.
Dia menggeleng. Tak ada komentar apa pun dari saran saya.
Tapi ia selalu menggumamkan sebuah kalimat yang terus menerus diulang, di antara cerita-cerita yang dituturkannya. “Mati-matilah, kenapa harus mengalami penderitaan seperti ini?” begitu ia menggumam. Dengan nada putus asa. Saya tentu tak tahu apa penderitaan yang dia rasakan, juga tidak sopan untuk menanyakannya. Tapi saya mengira, tubuh tua dan lemah serta hidupnya yang kini seorang diri, itulah sebenar-benarnya penderitaan yang bisa dirasakan seorang lansia.
Kesunyian itu menenangkan. Tapi, KESENDIRIAN itu bisa membunuhmu!
Bibi Marie adalah satu dari sekian kasus – kalau ini bisa disebut kasus – umum di Singapura. Menua sediri, lalu mati dalam kesendirian. Di blok saya bahkan, rumah-rumah didominasi oleh orangtua-orangtua yang tinggal berdua sama pasangannya, atau sendiri – jika pasangannya telah meninggal. Saya yang tak muda-muda amat ini, kerapkali, terasa menjadi yang paling muda di antara para tetangga yang rata-rata lansia.
Lalu, ke mana orang-orang mudanya?
Komplek apartemen yang kami tempat adalah apartemen lama yang berusia sekitar 30 tahun. Dengan hak pakai yang menyisakan 60 tahun lagi, praktis orang-orang yang tinggal di tempat kami didominasi pioner-pioner berusia di atas 65 tahun. Meskipun pada prosesnya, lewat jual-beli apartemen, banyak pula rumahtangga muda yang membeli rumah di tempat kami, termasuk keluarga kami. Ini karena lokasi tempat tinggal kami yang cukup nyaman, kiri-kanan banyak taman dan hutan lindung, dekat dengan pusat kota, serta dikelilingi sekolah-sekolah favorit di mana ini menjadi incaran banyak orang untuk memiliki properti di sini. Harga jualnya pun masih ngeri-ngeri sedap. Tapi, tetap saja penghuni mayoritas adalah mereka yang 30 tahun lalu membeli dan kemudian menempatinya hingga saat ini.
Dengan rata-rata penghuni berusia 65 ke atas, anak-anak mereka tentu banyak yang sudah besar, dan berkeluarga. Biasanya, mereka kemudian membeli rumah baru, yang baru dibangun, untuk memaksimalkan hak pakai bangunan yang maksimal 90 tahun itu. Di Singapura, hak pakai rumah memang dibatasi cuma 90 tahun. Setelah itu, dikembalikan ke pemerintah. Biasanya, hal PERTAMA yang dilakukan orang Singapura sebelum merencanakan menikah, adalah mencari rumah. Sepasang (calon) suami-istri diizinkan mengajukan aplikasi memiliki rumah pemerintah. Atau kalau single, minimal berusia 35 tahun, baru boleh mengajukan kepemilikan rumah. Begitu menikah, mereka segera menempati rumah baru mereka. Meninggalkan orangtua mereka.
Di Singapura, tinggal di rumah orangtua setelah menikah dianggap tabu.
Budaya meninggalkan rumah orangtua setelah menikah, memang bukan budaya yang hanya ada di Singapura. Di seluruh Dunia ada. Namun dalam hal ini, Singapura punya SISI SPESIAL yang saya kira tidak dimiliki banyak budaya di negara lain. Yakni KEMANDIRIAN dan penghormatan (baca: kerelaan) orangtua atas pilihan anak yang memisahkan diri dari mereka. Untuk negara selevel Asia dan budaya ke-Timuran yang masih sangat kuat, semangat kemandirian dan penghormatan pada pilihan anak di Singapura, sangat mengagumkan.
Para orangtua, terlepas dari bagaimana cara mereka menyiapkan dan membesarkan anak-anak mereka dengan ketat dan kiasu*, namun pada akhirnya, apa pun keputusan si anak, orangtua akan menghormati keputusan itu. Orangtua Singapura, tidak suka ikut campur urusan anak-anak mereka. Anak-anak punya hidup sendiri, punya pilihan sendiri; dan semua itu harus dihormati. Lagipula, rata-rata orangtua Singapura, secara finansial mandiri – karena punya uang pensiun – dan tidak mengandalkan pemberian anak-anak mereka.
Itu yang kemudian melahirkan fenomena orang-orang seperti Bibi Marie. Yang tinggal sendiri, menua sendiri, dan kemungkinan akan mati seorang diri. Orang-oarng seperti Bibi Marie, semenderita apa pun dia, jika masih bisa mengatasinya sendiri, pantang minta bantuan anak-anak mereka. Padahal, jika mereka mau sekedar minta bantuan, anak-anak mereka dengan gembira akan turun membantu mereka.
Ironi memang. Tapi, begitulah gambaran dilematisnya sebuah negara maju. Terkadang, terasa kejam dan tidak manusiawi.
(*)