Setiap kali ngobrol bersama kawan-kawan, membicarakan demo buruh yang akhir-akhir ini kembali diakrabi masyarakat Batam, pertanyaan ini selalu nongol: apakah ada upah minimum di Singapura? Oh ya, tentu saja mereka tidak bertanya soal demonstrasi di Singapura. Mengingat negeri seupil di depan hidung kita itu, masyarakatnya tidak gemar berdemo.
Sebelum ngobrol soal UMK di Singapura, saya ingin tekankan sekali lagi, bahwa berdemo di Singapura itu boleh. Tidak seperti anggapan seumumnya warga Kepri, yang menganggap “apa-apa” di Singapura selalu dilarang. Namun ada aturan ketatnya. Pemerintah di sana menyediakan satu tempat khusus untuk demo. Singapore Speakers’ Corner, namanya. Sebuah taman seluas hampir satu hektar yang biasa disebut Taman Hong Lim Park. Pendemo juga dilarang memakai pengeras suara atau membuat kebisingan-kebisingan yang mengganggu orang lain. Apalagi sampai geber-geber gas sepeda motor. Sama seperti di Indonesia, pendemu juga harus lapor polisi dulu, serta tidak boleh membawa isu-isu sensitif semacam isu keagamaan atau suku.
Tapi ya itu tadi, mereka tidak gemar demo. Karena aspirasi mereka sudah tersalurkan dengan baik. Pemerintah mereka tanggap dengan tuntutan masyarakat. Wakil rakyat mereka bukan segolongan calo yang cari makan dengan berpura-pura menjadi wakil rakyat. Berpura-pura menjadi penyambung lidah rakyat.
Mohon maaf jika ada yang tersinggung. Tapi, begitulah yang saya rasakan selama hampir tujuh tahun tinggal di sini, beristrikan orang Singapura. Warga Singapura tak perlu berdemo untuk curhat segala masalah yang mereka punya. Cukup datang ke kantor Community Center (semacam fasum), menunggu jadwal wakil rakyat bertatap muka langsung dengan pemilihnya. Di papan pengumuman di setiap blok apartemen warga, selalu dicantumkan jadwal hari dan jam berapa warga bisa bertemu wakil rakyatnya.
Pertemuan bahkan dilakukan secara pribadi atau empat mata. Memang, tiap minggu wakil rakyat di Singapura diwajibkan langsung bertemu dengan konstituen mereka. Warga Singapura bisa curhat apa pun pada wakil rakyat mereka. Mulai dari masalah besaran gaji, lift macet, tetangga yang berisik, hingga tersebab dipecat dari tempat mereka kerja.
Kembali ke soal UMK, Singapura memang tak punya batasan upah minimumnya. Dalam situs Ministry of Manpower atau Kementrian Tenaga Kerja Singapura, tertulis gaji seorang pekerja ditentukan atas dasar kesepakatan bersama antara perusahaan atau tempat kerja dengan si pekerja atau serikat buruh yang mewakili. Pemerintah tidak ikut cawe-cawe urusan gaji. Pemerintah hanya mengurusi urusan gaji pegawai negeri sipil, yang memang sudah menjadi tanggungjawab mereka. Pemerintah Singapura hanya membuat aturan soal uang pensiun, uang pesangon, hak cuti, atau tata cara PHK.
***
Saya memanggilnya Rajeen, untuk lelaki keturunan India warga Malaysia yang sempat ngekos di rumah mertua kami di Hougang, Singapura. Orangnya ramah, suka tersenyum, tidak merokok, dan kalau menelepon ke ibunya, lama banget. Kami sekeluarga semua menyukai Rajeen. Selain ramah, dia juga kerap bermain dengan anak sulung kami, Ken. “Tiger,” begitulah Ken biasa dipanggil Rajeen, karena ketika merangkak, mirip macan: cepat.
Rajeen adalah buruh di salah satu pabrik pengepakan di Singapura. Gaji pastinya saya kurang begitu tahu; dan tentu saja tak elok bagi saya untuk bertanya urusan pribadi seperti itu. Tapi saya bisa kira-kira, berapa tiap bulan lelaki ramping dan tinggi ini membawa pulang dolar Singapura. Sebagai buruh, warga asing, dan baru tahun pertama ia bekerja, kisaran gaji Rajeen di angka 1.000 dolaran. Yang jelas, kata Rajeen, gajinya masih lebih baik jika dibandingkan ia bekerja di Malaysia.
Warga Malaysia, baik lelaki maupun perempuan memang diizinkan bekerja di Singapura. Aturannya tak seketat pekerja dari negara lain. Dari Indonesia, Singapura hanya memakai pekerja wanita untuk sektor rumahtangga (pembantu), atau pekerja lelaki yang profesional.
Singapura tidak menerima pekerja kasar atau buruh lelaki dari Indonesia. Mereka biasanya mendatangkan dari Filipina, Thailand, Bangladesh, India, China, maupun dari Malaysia.
Dengan kisaran gaji 1.000 dolaran, Rajeen memang harus berhemat. Untung makan malam dia biasanya free, mengingat biasanya makan bersama-sama kami. Pengeluaran yang paling tinggi mungkin hanya sewa kamar yang “cuma” 200 dolar per bulan. Ya, karena statusnya kawan, adik ipar memang memberi harga yang murah untuk sewa kamar Rajeen. Jika di tempat lain, Rajeen mungkin bisa kena antara 800 hingga 1.000 dolar. Warga asing yang bekerja di sektor bawah di Singapura, terkadang harus ramai-ramai menyewa satu kamar atau rumah. Agar biaya terjangkau. Tapi jangan tanya untuk bidang pekerjaan profesional. Penghasilan mereka lebih dari cukup.
Di Singapura, biaya perumahan atau sewa rumah memang sangat mahal. Bahkan lebih mahal ketimbang Amerika Serikat atau negara-negara Eropa. Sebelum menyewa di rumah mertua kami, Rajeen memilih pulang-pergi Singapura-Johor. Dia punya seorang kakak di Johor, Malaysia.
Dengan biaya sewa rumah sebesar itu, Pembaca bisa bayangkan betapa “merananya” buruh dengan penghasilan seperti Rajeen di Singapura. Jangankan untuk menabung atau merencanakan hidup di masa depan, untuk sewa satu kamar saja, gajinya bisa tandas. Tapi, dia tak lama bekerja sebagai buruh pengepakan. Berikutnya, dengan mudah, dia mencari perusahaan yang bisa menggajinya lebih tinggi. Dapat. Terakhir, sebelum dia memutuskan untuk menikah dan menyewa satu rumah di daerah Woodland, Singapura bagian utara; Rajeen bekerja di satu perusahaan ekspedisi berskala internasional. Gajinya tentu sudah lebih dari cukup, mengingat dia sudah bisa menyewa satu rumah.
Pemerintah Singapura, lewat Kementerian Tenaga Kerja, memang tidak menetapkan gaji minimum seorang karyawan di Singapura. Apalagi sampai repot-repot tiap menjelang akhir tahun, ikut rapat bersama tripartit menentukan kenaikan UMK. Namun Pemerintah Singapura punya tugas yang jauh lebih besar, yakni menciptakan lapangan pekerjaan yang berlimpah. Di Singapura, untuk sektor-sektor tertentu, terutama di pekerjaan kasar, mereka benar-benar butuh banyak karyawan. Saking sulitnya cari karyawan, sampai-sampai mereka mempekerjakan masyarakat lansia.
Besaran gaji kemudian diserahkan lewat mekanisme pasar. Ada tawar-menawar antara perusahaan dan pekerja. Ada kesepakatan bersama. Ketika sebuah perusahaan menawarkan gaji minim, dengan mudahnya karyawan pindah, untuk mencari perusahaan yang menawarkan gaji lebih tinggi. Begitu mekanismenya, hingga kemudian, perusahaan yang ingin mendapat karyawan, mau tak mau harus ikut menawarkan gaji yang baik. Jika tidak, mereka akan ditinggal karyawannya.
Satu lagi urusan Pemerintah Singapura yang tidak bisa ditawar-tawar pihak lain. Menyangkut kestabilan harga kebutuhan bahan-bahan pokok seperti sembako. Di Batam sebaliknya, mafia-mafia sembako lah yang “mengontrol” pemerintah. Yang kemudian bersorak gembira ketika mendengar gonjang-ganjing UMK akan naik tinggi. Karena mereka akan bisa menaikkan harga dengan seenaknya. Sementara harga umum di pasaran internasional saat mereka beli, ya masih sama.
Demo, UMK naik tinggi, siapa yang untung? Jika kemudian harga bahan-bahan pokok ikut melambung.
Ingat pula, tidak semua orang di Batam berstatus buruh. Tukang ojek, nelayan, petani, kuli angkut bangunan, golongan-golongan mereka yang tidak bergaji tetap inilah yang akan menderita dampak yang paling berat ketika semua harga naik.
Demo, sebaiknya tak hanya menuntut UMK. Tapi juga tuntut pemerintah bertanggungjawab membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya; serta menjaga kesetabilan harga bahan pokok.