: Cuma cerita tentang kucing
Ini tidak becanda! Ya, benar, nama keduanya adalah Kafir (lihat foto yang saya sertakan) dan Mickey. Bahkan, untuk nama pertama, saya harus mengkonfirmasi berulang-kali pada perempuan yang saban hari memberi keduanya makan. Dua kali sehari, lho! Dengan makanan khusus kucing. “Benar Kafir namanya, Auntie?”, tanya saya satu kali.
“Ya, betul. Kafir”
“Kafir?” sekali lagi saya bertanya, sembari lebih menggetarkan huruf “R” saat saya ucap. Lidah orang Tionghoa Singapura kan susah diajak ngomong “R”.
“Yes…” tegas si Auntie seperti kebingungan dengan pertanyaan saya.
Nama yang aneh, pikir saya. Apalagi untuk seekor kucing (liar) gemuk nan lucu yang saban hari nongkrong di kompleks apartemen tempat tinggal kami di Ang Mo Kio, Singapura. Untuk seekor kucing yang tak punya tuan, Kafir terlihat sangat terawat. Selain gemuk dan terlihat sehat, bulunya juga cukup cemerlang. Tidak ada kudis atau penyakit lain yang menghinggapinya. Meskipun, dari perawakan dan gerakannya, si Kafir sudah cukup berumur.
Kafir agak pemalas. Saban hari, kerjanya tidur melulu di salah satu sudut void deck (ruang terbuka di bagian bawah apartemen) tempat tinggal kami. Kadang sambil berjemur, kadang pula asyik tiduran di rumput. Anak terkecil saya, Zak, kerap menggoda si Kafir. Kadang kalau lewat dan melihat si Kafir sedang klesetan, segeralah Zak menghampiri. Mengelus-elus sebisa mungkin, sebelum Kafir yang sepertinya tak pernah suka dielus, pergi meninggalkan Zak.
Saya tak tahu siapa yang memberi nama “kafir” pada kucing coklat nan menggemaskan itu. Si Auntie yang tiap hari dua kali memberi makan, dia seorang Tionghoa, tidak bisa berbahasa Melayu, dan dia sudah menjelaskan pada saya, bahwa Kafir dan rekannya, Mickey, bukanlah kucingnya. Dia mendapat “warisan” dari mendiang orang Tionghoa lainnya, yang sekitar empat bulan lalu meninggal dunia. Kedua kucing itu pun bukan milik si mendiang. Keduanya liar, dan si mendiang yang kebetulan tak berkeluarga saban hari memberi makan kucing-kucing di sekitar tempat kami (sebetulnya ada lima, tiga entah ke mana). Ketika ia meninggal, si Auntie lah yang kemudian “turun tangan” berbaik hari memberi makan keduanya. Si mendiang memberi nama “kafir”? Sepertinya tidak.
Atau, jangan-jangan Habib Resek yang memberi nama “kafir”? Karena kegemarannya mengkafirkan orang-orang yang tak sealiran dengan dia….
Ah…, saya hampir lupa. Apalah arti sebuah nama. Apalagi nama seekor kucing. Mau dinamai “kafir” kek, dipanggil “Jokowi”, atau bahkan “Goenawan Mohamad” sekalipun, kucing tetaplah kucing. Tak bisa jadi presiden apalagi naik panggung baca puisi. Saya sebetulnya tertarik dengan kemurahan hati Auntie yang saban hari meluangkan waktu untuk memberi makan Kafir dan Mickey. Seperti Sabtu (9/4/2016) kemarin, saat saya hendak berasyik-masyuk ngetes lensa jadul yang sehari sebelumnya baru saya beli, saya bertemu Auntie yang sedang memberi makan si Kafir. Saya hampiri, saya jepret ala kadarnya, sambil ngobrol berbasa-basi dengan Auntie. Sebelumnya saya bertemu si Mickey, tapi saat saya dekati hendak saya foto, dia malah lari menjauh.
Bukankah cara terbaik ngetes lensa adalah dengan memotret kucing?!
Saban pagi atau petang, si Auntie biasa suka berteriak-teriak memanggil kucing-kucingnya. “Kafir…., Mickey… come here...”, begitu berulangkali. Sampai keduanya datang. Kerap saya memperhatikan, sembari menyaksikan kedua kucing makan, si Auntie mengajak keduanya bicara. Mirip mengajak bicara anak-anaknya sendiri saat makan bersama. Seperti tadi pagi. Saya bertanya, apakah keduanya mengerti apa yang dia omongkan? “Ya, mereka mengerti apa yang saya katakan,” kata Auntie dengan percaya diri.
Kafir dan Mickey! Beruntunglah kalian berdua Bro, jadi kucing Singapura!
NOTE: Foto si Kafir saya ambil dengan lensa CZ Pancolar 50mm 1.8 yellow lanthanum delapan blade.