Sebuah pertanyaan dari seorang rekan menyodok kegolputan saya. Tidak memilih memang sebuah pilihan, tapi apakah kita akan membiarkan proses demokrasi dikuasai caleg-caleg culas yang menjadi penyebab golput itu sendiri? Jawaban sementara saya kira-kira begini, “Pemilu 2009, saya masih tetap golput sembari menunggu caleg yang membumi. Entah sampai kapan.”
Dalam begadang Minggu malam di pekan kedua Februari yang disertai secangkir kental kopi cap Tangker, kami membicarakan demokrasi. Sangat Melayu! Namun itu sudah cukup membasuh dahaga dari rutinitas kerja yang itu-itu saja. Sejauh ini, kerja saya menyenangkan. Tapi, rutinitas tak jarang membuat semua berangsur runyam. Harus ada secangkir kopi kental (atau sekaleng bir) di antara obrolan panjang agar hidup kembali bergairah. Minggu malam itu, secangkir kental kopi cap Tangker, mie rebus, rokok, serta gorengan, sudah sangat membantu mengembalikan kegairahan. Dan obrolan tentang demokrasi, tidak ada salahnya untuk kita kemukakan di musim partai tebar pesona seperti sekarang ini.
Kegolputan saya sejak 1998 dipicu oleh ketidakpercayaan saya pada para politikus, bukan demokrasi itu sendiri. Ini memang klise, dan (seharusnya) tidak perlu saya banggakan. Tapi ketika seorang rekan bertanya tentang pilihan menjadi golput, jawaban klise itu kembali mengemuka. Meng-golput bukan saya takut dosa karena khawatir memilih politikus culas. Meng-golput adalah pilihan itu sendiri. Demokrasi. Dan dosa bagi saya, adalah melakukan apa pun tanpa kita menyadari apa yang tengah kita lakukan itu. Dalam hal apa pun. Sholat bagi saya berdosa ketika kita tidak punya cukup kedigjayaan untuk mengetahui untuk apa kita melakukan sholat.
Minggu pagi sebelum malam begadang itu, bersama rekan-rekan wartawan Batam kami beradu otot di lapangan futsal melawan pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Skor imbang 5-5, dan Tifatul Sembiring memborong dua gol PKS. Jika bukan karena tubuh tinggi besar Ria Saptarika yang berada di bawah mistar PKS, mungkin gawang mereka sudah kami berondong belasan gol.
Saya tidak mencetak sebiji pun gol. Posisi saya di pertahanan. Tapi sudah cukup puas menjengkangkan dua kali kaki Tifatul, presiden PKS itu. Membuat dia melontarkan peringatan keras pada saya. “Hey… jangan (tendang) kaki lah,” begitu katanya sembari mengacungkan dua jarinya. Entah sebagai penanda peace atau peringatan dia bahwa saya telah melanggarnya dua kali.
Untuk selanjutnya membiarkan tubuh ringkih saya dihujani emosi Tifatul yang meledak lewat bebatan kakinya pada saya, gaprakan bola, serta aneka jenis kekasaran lain.
Hal itu biasa di permainan futsal. Saya salut dengan reaksi berani Tifatul. Dalam bahasa daerah saya di Malang, ”Arema banget!” Dia saya kasari, dan dia membalas dengan tanpa belas kasih. Saya gembira dengan hal ini. Saya beranggapan dia cukup punya nyali untuk mempertahankan kepentingannya. Ideologinya.
Mungkin bagi Tifatul dan praktisi partai lainnya, futsal hanyalah sebuah permainan. Melawan para wartawan di musim kampanye seperti ini adalah trik untuk mengakrabi kami, untuk selanjutnya merengkuh untung lewat pemberitaan. Bagi saya, futsal – juga sepakbola – adalah bagian dari permainan emosi. Sepakbola adalah cara yang tepat untuk mempelajari karakter lawan. Menelisik sejauh mana tingkat intelektual lawan. Untuk selanjutnya berdialektika, mengira-ngira lingkungan hidup seperti apa membesarkan mereka; apa saja yang sudah mereka pelajari; buku apa saja yang sudah mereka baca; bagaimana kehidupan religi mereka; bahkan kita bisa bisa sedikit mengintip apakah kehidupan seksual lawan main sehat adanya.
Kenapa bisa demikian? Karena bola itu permainan cerdas. Kapten AS Roma, Fransesco Totti, mungkin hanya seorang pemain bola tamatan sekolah dasar. Bahkan membaca surat perjanjian kontrak bernilai jutaan dolar pun pun harus dibantu istrinya. Tapi untuk urusan mempelajari lawan untuk kemudian menarik untung lewat sebuah permainan bola, Totti adalah salah satu ahlinya. Wayne Rooney bisa jadi dianggap mantan pelatihnya di timnas Inggris, Sven-Goran Ericsson, sebagai pemain hebat tak berotak. Karena sejarah kehidupan masa kecilnya yang melarat dengan keluarga kacau. Tapi, striker Manchester United itu tak akan membiarkan dikasari lawan, dan akan membalas dengan lebih jika ada lawan yang mencoba memprovokasinya. Rooney tidak pintar, tapi jelas ia tidak mau dilecehkan seenak lawan bisa. Tapi sayangnya, Tifatul bukan pemain bola. Dia presiden PKS dan bisa jadi nanti menjadi presiden Indonesia. Dan politik, tentu saja jauh lebih jahat ketimbang permainan bola.
Lalu apa hubungan demokrasi, kegolputan saya, dan futsal di Minggu pagi itu? Begini: Di antara sederet partai yang saya pelajari, PKS sempat mencuri perhatian saya. Ketika pertama kali membaca dan melihat sepakterjang Hidayat Nur Wachid dkk di media-media, saya jatuh hati dengan partai ini. PKS bagi saya sebuah partai modern, santun, dan menawarkan tradisi religius yang berintelektual. Karena golput, saya memang belum sempat mencoblos PKS. Tapi dalam perkenalan awal itu, hati saya berbungah, ternyata masih ada partai yang mungkin masih bisa saya andalkan. Saya yang masih menggemari bir, ternyata bisa jatuh hati dengan PKS.
Saking berharapnya dengan partai yang satu ini, menjelang pemilu 2004 silam saya harus menelepon ibu di Malang. Berdiskusi kecil tentang partai apa yang akan kami (ibu) coblos. Saya menyarankan ibu untuk memilih PKS, meskipun secara tradisional kami adalah pendukung Gus Dur. Kepada beberapa karib, saya juga merekomendasikan PKS sebagai partai pilihan, partai yang bisa diharapkan. Meskipun ketika itu, saya teguh tidak mencoblos. Demokrasi, memberikan ruang pada saya untuk tidak memilih.
Ironisnya kemudian, PKS di mata saya tumbuh menggurita dengan idealis awal yang tidak terpertahankan. Dari partai itu, lolos politikus-politikus abu-abu yang merusak kepercayaan saya pada PKS. Di Batam, siapa yang tidak jengah dengan wakil-wakil PKS yang “begitu-begitu” saja. Ria Saptarika, wakil walikota Batam itu, tidak cukup hebat membela kepentingan rakyat. Setali tiga uang Aris Hardi Halim, ketua DPRD dari PKS. Sepakterjangnya di Gedung DPRD sama lambannya ketika ia menendang bola atau dengan mudah dilewati oleh pemain bola kami. “Nafasnya” tak cukup panjang untuk membela kepentingan rakyat, menolak kenaikan tarif listrik, ATB, atau mengusahakan kenaikan upah minumum kota yang layak. Aris tak punya “nafas” untuk bisa bermain futsal selama 2×20 menit.
Dan Tifatul, si presiden PKS itu, tak cukup menyadari saat kakinya terbebat oleh kaki saya sebanyak dua kali, karena kelambanannya bergerak menghindar. Dia emosi karena menganggap saya bermain kasar. Dia tak menyadari bahwa dirinya tak cukup cepat menarik dan menyelamatkan kakinya, saat saya menerjang bola yang ia pegang. Kemudian dia bermain membabi-buta, mencoba membalas saya. Dan alasan ini, sudah cukup untuk semakin mengentalkan kegolputan saya. Setidaknya untuk pemilu 2009 nanti.