Beberapa pertanyaan, baik langsung maupun lewat SMS, Kamis, 2 April kemarin banyak menghampiri saya. Inti semua itu mempertanyakan pemilihan judul saya di halaman Coverstory POSMETRO edisi hari yang sama. “Seperti Artis, Menggunjing Aris,” kalimat inilah yang saya pilih sebagai judul, dan kemudian menjadi penyebab SMS dan pertanyaan itu bermunculan.
Sebelum berita ini diturunkan pun redaktur pelaksana saya bertanya apakah judul itu tidak terlalu “melebar-memanas”. Tapi saya kadung kesengsem dengan judul itu. Butuh energi sebesar dua piring nasi plus secangkir kopi kental untuk menemukan judul yang pas – menurut saya – seperti itu. Ah, cuma bercanda, haha…
Sebetulnya artikel berjudul “Seperti Artis, Menggunjing Aris” adalah berita biasa. Bahkan sangat biasa menurut saya. Isinya tentang Aris (Aris Hardy Halim, Wakil Ketua DPRD Batam) yang ditengarai menggunakan mobil milik Pemerintah Kota Batam sebagai alat kampanye dia mencalonkan diri kembali. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini sudah sangat sering terjadi. Beberapa tulisan serupa juga sudah sering diturunkan POSMETRO menjelang Pemilihan Umum 2009 ini. Bahkan POSMETRO menjadi satu-satunya koran di Batam yang pernah menurunkan berita dugaan politik uang yang menyangkakan Raja Mustakim, caleg Partai Golkar untuk DPRD Kepri. Tak tahu kenapa koran lain di Batam ogah menulis berita semacam ini.
Apalagi berita lanjutan tentang Aris yang terbit pada Kamis, 2 April itu, berita lanjutan di halaman yang sama: Coverstory. Halaman yang sejak lahir 1 September 2008 silam hingga sekarang, saya yang menggawangi (kecuali untuk terbitan Minggu, karena Sabtu saya libur dan harus menjenguk anak-istri di Singhapur). Isi berita itu sangat bisa. Melanjutkan kasus dugaan pelanggaran Aris yang isinya cuma konfirmasi dari pihak sana-sini.
Semula ketika diusulkan sebagai artikel coverstory, saya menolak. Pikir saya, artikel ini ndak mutu dan sangat-sangat klise. Apalagi tiga wartawan yang menulis artikel itu hanya mengulang-ulang (baca: mempertegas) pernyataan di berita lama tanpa memberikan hal baru. Sebelum kemudian Nur Syahrullah, wartawan yang ngepos di DPRD dan Kantor Pemko, bercerita bagaimana hebohnya gedung DPRD dan Kantor Walikota atas berita pertama Aris. ”Kabeh podo ngomongin Aris, Cak,” kata Nur kepada saya dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih: ‘Semua pada membicarakan Aris, Bang’.
Sekejap di otak saya membayang, betapa populernya Aris saat ini. Seperti artis yang tengah naik daun, Aris digunjingkan di sana-sini oleh rekan sejawatnya di DPRD. Digunjingkan pejabat-pejabat birokrasi di Pemko Batam. Kemudian, saya dudukkan si Nur di depan komputer saya. Saya suruh dia mengetik sedikit diskripsi seperti apa gunjingan-gunjingan tentang Aris berlangsung di DPRD dan Pemko.
Tambahan cerita dari Nur beres. Berikutnya giliran saya mempercantik dan membuat artikel enak dibaca. Satu jam kemudian artikel pun selesai, dan judul “Seperti Artis, Menggunjing Aris” telah terlayout dengan rapih lewat tangan Dobby Fahrizal.
Tak lupa saya tempelkan foto Aris yang benar-benar berpose seperti artis untuk bisa memperkuat artikel. Untuk yang terakhir ini, saya sampai harus minta file foto dari fotografer Batam Pos, Iman Wahyudi. File-file foto Aris yang dimiliki POSMETRO, ndilalah… nyaris semuanya menampilkan Aris yang sebenar-benarnya politikus. Tidak ada Aris yang “artis”.
Sebetulnya, inilah bibit kekhawatiran dan pertanyaan rekan-rekan atas judul saya di atas. Kenapa Aris ditampilkan semirip artis? Saya seperti melecehkan anggota dewan yang terhormat. Wakil Ketua, lagi. Dari Partai Keadilan Sejahtera, pula. Partai yang mengklaim sebagai partai anti-tipu-tipu, anti-bohong, anti-korupsi.
Beberapa pertanyaan saya jawab sekenanya: “Suka-suka saya memilih judul itu, hehehe…”. Tapi jika menyimak proses lahirnya artikel di atas, sudah terjawab dengan jelas kenapa saya memilih judul “Seperti Artis, Menggunjing Aris.” Dalam tatanan jurnalistik dan etika berbahas, judul itu tak masalah. Tapi benarkah saya melecehkan anggota dewan yang katanya terhormat?
Jawabannya, terserah siapa yang menilai. Sebagai penanggungjawab halaman, saya berkewajiban memastikan artikel yang disetor ke saya sesuai kaidah jurnalistik dan enak dibaca. Titik. Apakah nanti artikel itu menjadi “melebar-memanas”, itulah efek sebuah berita. Ada aksi ada reaksi. Ada orang melanggar, tentu akan ada proses penegakan hukum. Makanan yang kita makan malam sebelumnya, sudah pasti besoknya akan keluar menjadi taik. Ini demokrasi, bung! Selama semua sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan, semuanya akan aman-aman saja. Dan jika ada yang tersinggung, saya malah mempertanyakan tingkat kedewasaan mereka.
Di hadapan Presiden SBY, big-big-big bos (maksudnya saking tingginya jabatan) saya Dahlan Iskan beberapa waktu lalu menyindir, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah dewasa; dunia usaha cukup dewasa; pers sudah belajar cepat dan kini tumbuh menjadi lebih dewasa; sialnya, politikus dan birokrat kok masih saja seperti anak-anak remaja. Suka ngambek dan semaunya. Masih suka ngemplang uang rakyat dan mempersulit urusan. Duh, padahal di bagian yang belum dewasa inilah dipertaruhkan nasib negeri ini.
Di negeri demokrasi seperti Indonesia, hal pertama yang harus diketahui seseorang yang mencalonkan diri menjadi politikus (atau birokrat aka PNS), bahwa mereka digaji oleh rakyat! Melayani rakyat! Bersedia dikritik, dihujat, bahkan diturunkan rakyat! Bukan sebaliknya, menipu-nipu rakyat atau minta dilayani rakyat. Di Amerika Serikat, Rush Libaugh, pengasuh sekaligus penyiar radio pada acara The Rush Limbaugh Show yang disiarkan sekitar 650 radio di Amerika, berani mengeluarkan makian binal bahkan doa kematian untuk presiden mereka, (Mu) Barrack Hussein Obama. Tapi, Obama nyante-nyante saja atas olok-olok Rush yang didengar 30 juta warga Amerika itu.
Di Batam, pers memang belum mempunyai posisi yang diidam-idamkan seperti di negeri Amerika atau Eropa. Ada beberapa orang (politikus, pengusaha nakal, tokoh masyarakat) yang bahkan tidak bisa disentuh. Ada pejabat yang gemar mengeluarkan uang puluhan juta agar kegiatannya yang baik-baik diliput, dan membungkam berita-berita miring. Saya menyadari ketidakmampuan ini. Media bukan takut dengan politikus atau pejabat yang tak tersentuh itu. Tapi media takut pada cara politikus itu yang gemar menipu simpatisannya untuk main hakim meluruk kantor media. Ada banyak politikus dan media yang belum dewasa. Dan inilah yang sangat menakutkan. Berbekal isu SARA, kantor media bisa diratakan dengan tanah (tentu saja ini analogi yg berlebihan).
Ketika Aris saya ibaratkan sebagai artis, seharusnya dia tidak marah (Sttt, dia tak kenal saya! Hehehe). Karena dari keringat sekian ratus ribu orang seperti sayalah Aris dan semua rekan-rekan wakil rakyat serta birokrat bisa lenggangkangkung memakai mobil dinas dengan bensin yang selalu penuh. Iseng-iseng saya pernah menghitung berapa besar pengeluaran saya untuk – salah satunya tentu – membayar gaji pejabat tersebut.
Jika satu hari saya menghabiskan sebungkus rokok Lucky Strike seharga Rp8.500, saya harus menyetor uang pajak ke negara sebesar Rp3.590. Karena istri jauh, setiap makan saya harus beli. Jika sekali makan saya mengeluarkan Rp10.000; dan sehari dua kali makan, setoran saya untuk negara sebesar Rp2.000 per hari (setiap makan dipajaki 10 persen). Untuk rokok dan makan saja, sehari saya harus setor 3.590 + 2.000 = 5.590. Sebulan? Saya harus menyisihkan Rp167.700 untuk negara.
Belum lagi pajak penghasilan, pajak kendaraan bermotor, pajak rumah, port tax tiap kali nyebrang ke Singhapur, dan lain-lain pajak beraneka nama. Jika Rp167.700 dikalikan sekian ratus ribu warga Batam, berapa miliar yang bisa dikumpulkan? Dan uang yang terkumpul itu, sebagian untuk menggaji para “terhormat-terhormat” itu!
Tentu saja pengeluaran-pengeluaran itu akan terasa lebih ikhlas jika Aris dan rekan-rekan di DPRD, serta birokrat bekerja dengan baik. Setidaknya tidak melanggar aturan. Tapi jika ada pelanggaran, para “artis-artis” itu juga harus legowo dicaci-maki rakyat yang telah susah payah berkeringat untuk mengongkosi mobil mewah dan gaya hidup wah mereka. Jika tidak, entahlah…
Menyitir lirik lagu Panggung Sandiwara- nya God Bless ciptaan Taufik Ismali, …dunia ini memang panggung sandiwara…. Dan sang artis, boleh dong kita pecundangi dengan kritik dan makian, jika tampil sangat mengecewakan. Lebih-lebih kalau sudah menipu kita.
Oh ya! Jangan lupa tanggal sembilan pemilihan umum digelar! Ayo, datang ke TPS-TPS dan pelototi mana caleg yang berkemungkinan tidak menipu kita! Saya punya sedikit tips untuk memilih caleg yang berkemungkinan tidak menipu kita.
Dari sekian ratus gambar yang tersenyum manis ke kita, tentu sangat sulit menentukan mana yang benar dan mana yang ora penet (nenek saya memakai frasa Jawa ini sebagai orang yang berkelakuan amburadul). Tips saya itu sederhana: masuk TPS, lihat gambar dengan seksama; dan ndak usah dicoblos semua! Sederhana, bukan.