: Tiga Pria yang tak pernah Menua
Tentu saja ketiganya tidak bisa dikatakan muda. Tapi, ketika kawan-kawan sebanyanya mulai sakit-sakitan, kena stroke, berkursi roda, atau keluar-masuk rumahsakit, Uncle Han, Li, dan John; ketiga orang ini saban hari masih begitu menikmati sepakbola. Pria paling tua, Uncle Han, mengaku sudah berusia 65 tahun. Uncle John tiga tahun lebih muda. Sementara Uncle Li, meski tidak mau menyebutkan usianya, saya memperkirakan usianya “rata-rata air” dengan kedua rekannya. Di sebidang tanah kosong berumput bagus di atas bukit yang dijadikan taman bernama Ang Mo Kio Green West Park, nyaris saban hari ketiganya bermain bola.
“Saya lupa, kapan kami memulai (sepakbola). Kira-kira sepuluh, atau limabelas tahun lalu mungkin,” Uncle Hun, yang tubuhnya masih bersimbah peluh, memulai obrolan dengan saya. Kami, Kamis (27/7/2017) petang itu, sedang duduk di bangku taman, usai “dul-dulan”, bermain bola selama sekitar 1,5 jam. Sesekali, jejemari kedua tangannya mengurut betis kaki kanannya yang, meskipun terlihat kurus, panjang dan pucat; namun padat berisi. Dia memang selalu menendang dengan kaki kanan. “Kaki kiri say payah, tidak bisa dipakai nendang.”
“Semula kami hanya jogging di sini. Seperti yang kamu lihat, sama seperti orangtua lainnya, exercise. Saya dan Li biasa jogging sama-sama. Satu ketika ketika saya kencing di semak-semak itu, saya nemu bola,” Uncle Han meneruskan obrolannya sembari menunjuk semak belukar di belakang kami. “Saya ambil (itu bola), kami kemudian memainkannya. Kok keterusan asyiknya. John kemudian gabung. Awalnya, ada sekitar sembilan orang sebelumnya, dari berbagai nationality. Ada yang dari Myanmar, Filipino, India, Bangla (orang Singapore menyebut Bangladesh sebagai “Bangla”). Tapi sekarang cuma sisa kami bertiga. sampai sekarang.”
Setiap hari main bola! Ya, setiap hari, jika cuaca memingkinkan. Saya berani mengkonfirmasinya, memastikannya. Setidaknya, sejak 2013, ketika saya sekeluarga, pindah rumah ke daerah Ang Mo Kio, Singapura. Memang tidak selamanya tiga orang itu hadir bersamaan. Kadang Uncle Han absen, dan hanya Uncle Li serta John yang main. Tak jarang pula Uncle Li yang tidak main. Tapi, seringkali juga satu dua orang baru bergabung. Saya salah satunya.
Ang Mo Kio Green West Park sendiri sebetulnya adalah taman dengan hutan yang sebagiannya dibiarkan masih perawan, dan dipadukan dengan taman bermain, tempat fitnes terbuka, serta trek beraspal untuk sekedar jalan kaki, jogging, atau bersepeda. Luasnya 21 hektar, taman yang berbukit itu puncaknya terdapat sebidang tanah seluas lapangan bola terbagi dua sisi. Rumputnya bagus, dan selalu terpotong rapih. Bersih, dan menjadi salah satu taman yang “bebas dari asap rokok”.
Sejak 2010, hampir semua taman di Singapura memang diberlakukan larangan merokok.
Di situlah Unclu Han cs bermain bola tiap hari. Letaknya yang hanya lima menit jalan kaki dari tempat tinggal saya, menjadikan taman itu seperti “halaman belakang” rumah saya saja. Selain aktifitas olahraga, saya juga biasa pergi ke taman untuk membawa Ken dan Zak, kedua anak saya untuk bermain, memanjat pohon, atau sekedar mengenalkan hewan dan buah yang bisa dimakan. Memang, ada banyak buah yang bisa dimakan di sini. Selain juwet dan salam, juga banyak pohon dewandaru yang buahnya menjadi favorit saya ketika kecil.
*
Sejak pindah dan menetap di Singapura pada tahun 2013, saya bertekad untuk membiasakan diri berolahraga. Sebetulnya sejak kecil saya sudah menjadi penggemar berat bola. Saya juga suka jalan kaki, blusukan ke kebun, sawah, atau hutan-hutan sekeliing kampung di tempat asal saya, Singosari, Malang, Jawa Timur.. Namun, hampir 13 tahun hidup di Batam, plus “hidup rusak” ketika masa-masa kuliah; telah membentuk tubuh saya menjadi benar-benar payah. Tidak bertenaga, kurus kering, serta nafas yang kerap tersengal-sengal ketika melakukan aktifitas berat. Bahkan, saya sempat sangat khawatir, ketika selalu kepayahan saat menggendong Ken (kini 10 tahun), ketika masih bayi. Biasanya, setelah pulang jalan-jalan bersama istri dan bayi Ken, punggung saya selalu sakit gara-gara menggendong. Ketika itu saya berpikir; ‘payah sekali saya ini, tak kuat gendong bayi sendiri.”
Sejak “kekhawatiran tak kuat menggendong anak sendiri” itulah saya menggiatkan olahraga. Apalagi ketika itu, Zak, sudah berumur setahun. Lagi senang-senangnya digendong. Agar masalah serupa – sakit pinggang ketika menggendong Ken – tidak lagi saya alami, satu-satunya pilihan, ya… berolahraga.
Nyaris setiap dua hari sekali saya jogging. Setiap sesi, saya biasa melintas dua kali trek lari naik turun bukit sepanjang 1.200 meter, yang mengelilingi taman. Saat itu pula, saya selalu melihat Uncle Han, Li, dan John; main sepakbola. Sesekali saya bergabung dengan mereka. Tak jarang, jika malas, saya hanya duduk-duduk di sana, memperhatikan ketiganya main.
Uncle Hun, yang tertua, seorang pensiunan yang, jika dilihat sekilas, seperti umumnya pria-pria sebayanya; kurus, dan kelihatan tak bertenaga. Kulitnya yang putih memucat, justru menambah kesan “lemah” pada pria itu. Jika tidak menjumpainya di lapangan, saya kerap mendapatinya nongkrong di foodcourt, ngopi atau minum bir, sembari mengisap rokok putih kegemarannya.
Rambutnya, meskipun tidak botak, namun terlihat agak rontok. Tapi, jangan salah menilai secara sekilas mata. Ketika Anda ajak bermain bola, meskipun sekedar main “umpan-umpanan”, dia bisa melakukannya hingga dua jam. Hebatnya lagi, tendangan kaki kanannya, jauh lebih baik dan keras ketimbang kebanyakan kawan-kawan main futsal saya di Batam, yang usia mereka rata-rata 30-an.
Uncle Li. Saya menduganya dia dulu pemain bola. Kedua kakinya sama kuat saat menendang, juga sangat akurat. Kontrol bolanya juga baik. Namun tidak lincah. Kepalanya dicukur botak, tubuhnya yang tinggi tegap, sedikit “tercemari” dengan perutnya yang agak buncit. Namun bagaimanapun, secara keseluruhan masih bisa tertutupi oleh postur tubuhnya secara utuh.
Uncle John, saya bisa menyebutnya sebagai “dedemit” Taman Green West. Dia yang termuda, terlangsing, terlincah; serta paling banyak omong. Meski paling tidak berbakat dalam bermain bola. Jika ada ada perlu dan ingin mencari dia, mudah sekali; datang saja ke Taman Green West. Hampir sepanjang hari dia ada di situ. Kegilaaanya pada olahraga, benar-benar bikin geleng kepala saya. Setiap pagi, sekitar pukul sembilan waktu setempat (pukul 8 WIB), dia datang ke taman. Melakukan peregangan dan gerakan-gerakan yoga, kurang lebih dua jam, setelah itu dia kembali balik ke rumah. Sore harinya, dengan sepatu bola, dia sudah siap bermain dengan rekan-rekannya. Habis main bola pun, dia biasa selalu menjadi orang terakhir yang pulang, karena memilih untuk kembali melakukan peregangan. Saban hari, jadwal dan kegiatan yang sama selalu dia ulang. Tanpa rasa bosan. Tanpa mengeluh.
Kadang kala, di hari Sabtu dan Minggu sore, Uncle John dan juga saya, bergabung dengan puluhan warga India setempat, yang untuk sesaat itu, “menguasai” lapangan dengan game bola gawang kecil. Sementara Uncle Li dan Han yang memang tidak cukup kuat untuk berlari, memilih pindah ke lapangan sebelah, untuk bermain umpan-umpanan saja.
Tahun 2013, untuk kali pertama saya melihat mereka. Kami kemudian beraktifitas bersama, bermain bola bersama, ngobrol bersama. Satu-satunya yang saya sadari, setelah empat tahun bersama mereka; ketiganya seolah-olah tidak pernah menua. Ketiganya tidak pernah lelah. Ketiganya, bahkan tidak pernah berkurang stamina. Setidaknya, dibanding dengan saat pertama, ketika saya mengenal mereka. Se-fit tubuh merekalah, saya ingin menghadapi masa tua kelak. Sembari terus memelihara kegemaran membaca buku, menulis, dan jalan ke mana saja untuk memotret aneka fenomena dan kegilaan manusia.
Sementara, begitu banyak orang-orang di sekeliling saya yang begitu cepat menua, sakit-sakitan, menggemuk; tiga pria yang saban hari bermain bola itu, seolah tidak pernah berubah; terus, dan terus menikmati kegiatan kegemarannya: bermain bola.
NOTE: foto Uncle John, seusianya, bahkan masih mau-maunya belajar menggiring bola.