ACARA piknik kami sepekan lalu di Pantai Changi “diganggu” oleh kemunculan pendekar bakau. Si pendekar itu, dengan keperkasaannya yang sulit dimiliki kebanyakan orang Singapura – bahkan yang rutin fitnes sekalipun – memanggul sejala besar tapis. Saya taksir mungkin beratnya mencapai 50-an kilo. Tapi, seolah tak ada sedikitpun rasa berat meraut di wajahnya.
Kulit pria paruh baya itu benar-benar legam karena seringnya terbakar matahari. Topi warna kuning yang menutup kepalanya tak mampu menyembunyikan sebagian kecil ujung-ujung merah rambut ikalnya yang juga terlalu sering dibakar matahari. Bahkan dua betisnya yang kurus namun liat, masih belepotan lumpur bakau ketika lewat di depan kami duduk nyante di pasir berwarna coklat yang kami alasi tikar pandan.
Berjalan dengan ringan seolah tak ada beban di pundaknya. Begitu sampai di paviliun peristirahatan yang berada sekitar sepuluh meter dari kami duduk, sejala besar tapis itu kemudian dilemparkan begitu saja. Seorang wanita Melayu – saya kira istrinya – kemudian mengeluarkan tapis yang sudah steril dari lumpur, kemudian membagi-bagikannya ke dalam beberapa kantong plastik, dan meletakkan begitu saja di lantai paviliun. Si pendekar bakau kemudian melepas baju, duduk nyante di kursi plastik, dan kemudian mengeluarkan rokok. Asap yang dibakarnya segera lenyap disambar angin laut yang siang itu berhembus cukup kencang.
Tapis adalah sejenis kerang bercangkang lunak yang gampang ditemukan di lelumpuran hutan bakau di pinggir pantai. Mirip seperti kerang namun dagingnya lebih lembut, teman yang paling nikmat melahap tapis rebus adalah dengan dicocolkan begitu saja pada sambaljeruk. Sekali cocol, segarnya bisa bikin kita ndak mau berhenti.
Dan si pendekar bakau yang saya maksudkan tadi adalah pencari tapis yang mumpuni. Terbukti sejala besar tapis berhasil dipanen di siang yang terik itu. Dari beberapa belas plastik berisi tapis yang telah dibagi-bagi tadi, si wanita yang membagi itu kemudian mengangkatnya satu per satu ke pinggir pedestrian. Menunggu siapa pun pengunjung Pantai Changi yang ingin membeli tapis segar tersebut.
Saya kemudian menghampiri. Oleh seorang pria yang ketika itu tengah ngobrol dengan si wanita penjaja, saya berusaha diyakinkan bahwa tapis yang dijual kawannya sungguhlah segar dan nikmat jika dimasak. ”Ayo…, ayo…, enam dolar saja! Lima dolar pun jadilah kalau kau beli dua,” ia menggoda saya.
Saya sempat tergoda, namun istri saya meyakinkan bahwa tapis itu akan sia-sia sesampainya di rumah karena tidak ada yang bisa masak. Tapi godaan saya yang lebih besar muncul ketika tiba-tiba saya menangkap ketakutan yang tergambar di raut wajah si penjual, juga si pendekar bakau, ketika seorang rekannya yang lain – ibu paruh baya bertubuh besar, datang dan menyodorkan koran Berita Harian edisi hari itu. Tapi, rasa ingin tahu saya ketika itu sirna ketika Ken, anak saya, datang dan menarik saya untuk diajak bermain.
Rasa penasaran saya akan perubahan raut muka para pedangang tapis terobati ketika pulang dari piknik, saya masuk ke toko serba ada. Saat menunggu si kecil pilih-pilih makanan saya sempat melirik headline Berita Harian. Dan ternyata hari itu, headline yang diangkat koran berbahasa Melayu itu adalah larangan pemerintah Singapura atas penangkapan tapis. Melindungi ekosistem adalah alasan utama pelarangan itu. Dendanya jika melanggar? Berkisar antara 5.00 hingga 2.000 dolar Singapura. Dan tiba-tiba saja saya merasa begitu benci dengan negeri istri dan anak saya ini.
Tiba-tiba saja saya membayangkan tapis yang menjadi wabah, sebagaimana halnya burung-burung jalak dan burung dara yang kehadirannya di Singapura bahkan lebih banyak membawa masalah ketimbang keindahan. Sebanyak apa pun tapis yang bisa diambil si pendekar bakau itu, tak akan sehebat kepunahan yang ditimbulkan oleh pembangunan. Oleh reklamasi besar-besaran. Sebagaimana kerusakan yang sudah terjadi di Batam.
Tapis kini, sudah tak bisa didapat gratis oleh si pendekar bakau.
sultanyohe@yahoo.com
Foto tapis, by my.