SUARA presenter berita Channel News Asia, Sabtu akhir pekan kemarin, yang menyiarkan soal demonstrasi di Libya, begitu semangatnya. Gambar yang kabur karena berasal dari You-tube, sesekali disensor karena mengandung insiden kekerasan. Di lantai depan televisi, Ken Danish tanpa peduli suara bising televisi, asyik menyusun puluhan mobil-mobilannya di seantero lantai. Saya sibuk mengutak-atik kamera yang baru saya dapatkan, sementara istri yang duduk di samping saya, mulutnya senyam-senyum sembari menggerak-gerakkan koran di tangannya.
“Ada apa?” tanya saya, sedikit tidak peduli.
Dia bangkit dari sofa yang didudukinya. Tertawa. Menyodorkan suratkabar The Strait Times edisi hari itu sembari tertawa lagi. “Kami dapat bonus…” katanya. Mata saya kemudian tercekat pada halaman pertama Strait Times yang full grafis. Di tengah-tengah halaman, hal yang paling mencuri perhatian, segambar kado terbuka dengan tulisan “$6.6 Billion Bonanza”, tulisan yang menyatakan besarnya bonus yang dimaksud istri saya tadi. Busyet!
Seandainya Lee Kuan Yew dulu diizinkan menyewa Batam selama 90 tahun. Saya kini pasti akan tertawa seperti istri saya.
Ketika membaca “$6.6 Billion Bonanza” ini, saya sedikit berdebat dengan rekan editor saya, Nur Syahrullah, berapa kalau dirupiahkan uang sebesar itu? Rp46,2 miliar atau Rp46,2 triliun? “Billion itu miliar, million baru juta,” Syahrullah menjelaskan. Saya manggut-manggut, masih sedikit kebingungan. Untuk urusan hitung-hitungan uang – apalagi uang orang lain- saya memang sangat payah.
Tapi okelah. Saya percaya penjelasan Syahrullah. Jadi mari kita bersama-sama hitung bonus dari pemerintah Singapura yang bakal dinikmati 4.987.600 penduduknya (data dari sensus 2009). Jika hitung-hitungan saya tak meleset, pada akhir bulan Mei mendatang, rekening setiap orang yang punya status WN Singapura, bakal bertambah 927 dolar. Atau jika dirupiahkan sebesar Rp6.489.000 (kurs Rp7.000). Wah, berarti Mei mendatang, saya bisa pinjam anak semata wayang saya, Ken Danish, bonusnya untuk beli lensa Nikon saya. Boleh Ken? Hehe…
Seandainya Lee Kuan Yew dulu diizinkan menyewa Batam selama 90 tahun. Saya mungkin tak perlu punya niat untuk pinjam bonus Ken hanya untuk membeli lensa. Tapi, ya sudahlah. Syukur-syukur saya masih bisa beli sebungkus rokok tiap hari, serta sesekali memanjakan diri dengan menikmati kepiting lada hitam kegemaran saya di kelong. Syukur pula anak dan istri saya yang warga negara Singapura kebagian bonus, meski saya hanya dapat cerita gembiranya saja. Syukur-syukur pula Batam tak bubrah sebagaimana Libya yang kini tengah dilanda kerusuhan.
Tiap tahun, Singapura memang “memanjakan” warganya dengan memberi bonus uang tunai. Tahun ini, tiap WN Singapura, berhak mendapatkan bonus antara 100 hingga 800 dolar Singapura, tergantung usia dan tingkat kesejahteraan mereka. Kian kaya, kian sedikit bonus yang diterima (di Batam terbalik ya? Yang kaya kian kaya, yang miskin makin miskin). Mereka yang berusia di atas 45 tahun, mendapat top-up biaya asuransi kesehatan antara 200 hingga 700 dolar.
Tahun ini, Pemerintah Singapura juga memberikan fee gratis untuk pemasangan televisi dan radio berbayar. Mengembalikan 20 persen dari tiap pajak yang dibayarkan tiap orang, serta kian memberi keringanan subsidi rumah. Tiap anak Singapura berusia enam ke bawah – termasuk anak saya si Ken yang masih tiga tahun – dapat bantuan biaya jika dimasukkan playgroup atau taman kanak-kanak. Tiap anak yang sekolah di SD dan SMP, juga mendapat bagian 130 dolar dalam bentuk tabungan pendidikan. Tiap keluarga yang punya anak lebih dari lima, tiap anak bakal dapat tambahan 400 dolar.
Busyet!!!
Seandainya Lee Kuan Yew dulu diizinkan menyewa Batam selama 90 tahun. Ya, dulu ketika Mr Lee tengah akrab-akrabnya dengan Mr Soeharto, Lee sempat melontarkan keinginannya untuk menyewa Batam yang rencananya akan dikembangkan seperti Singapura. Lee tahu potensi yang dipunya Batam sama besarnya dengan potensi yang sudah digali di Singapura. Mr Lee ketika menawar Batam itu mungkin sudah berhitung, Singapura yang luasnya cuma seupil, punya batas maksimal untuk tumbuh. Ibarat manusia, tak mungkin toh usia 40 tahun tinggi tubuhnya bertambah. Dan Batam, adalah saudara kembar Singapura yang bisa menguntungkan.
Soeharto ketika itu menolak dan menyerahkan sepenuhnya pembangunan Batam ke orang-orang kepercayaannya sendiri. Menumbuh hingga sekarang, Batam bahkan masih berkutat urusan jalan berlubang, alih-alih memberi bonus uang tunai rakyatnya. Boro-boro memberi bonus, kita bahkan kerap mendengar para pejabat kita yang kebingungan menghabiskan anggaran untuk hal-hal yang tak ada urusannya dengan kesejahteraan rakyat. Yang dalih studi banding lah, yang ini lah, yang itulah… Saudara kembar yang salah asuhan.
Seperti perusahaan, Singapura memang dikelola dengan profesional. Keuntungannya, setelah kelar dipakai untuk pembangunan, sisanya dibagi-bagikan langsung ke rakyatnya. Para pemimpin Singapura tahu, rakyat adalah aset paling berharga yang harus dijaga dan disejahterakan. Aset yang harus dipintarkan dan disehatkan agar terus bisa mengembangkan Singapura. Tapi di sini? Ah…, jika saja Mr. Lee jadi menyewa Batam!