AGAMA Budha yang 31 persen dianut oleh masyarakat Singapura, adalah mayoritas. Dengan kemayoritasannya, mungkin mereka bisa dan berhak menghadirkan simbol-simbol kebesaran keyakinan mereka. Sebagaimana masyarakat di negara-negara tetangga mereka. Jika mau – dan boleh – umat Budha Singapura, bisa dengan mudah membangun Patung Dewi Kwan Im raksasa yang seperti pernah bertengger gagah di Sekupang, Batam itu. Atau membangun patung The Sleeping Budhha, mirip patung di Thailand ataupun Bintan.
Tapi Singapura tidak melakukan itu.
Bahkan biara katolik yang paling ikonik itu, CHIJMES, kini justru beken sebagai restauran kelas mahal. Padahal orang Kristen/Katolik di Singapura cukup besar, kira-kira 19 persen. Agama terbesar kedua yang dianut warga sini. Gereja lain yang tak kalah kerennya, St Andrews Cathedral yang ada di daerah wisata City Hall itu, justru kerap didengung-dengungkan sebagai bangunan “persaudaraan” antara umat Islam dan Kristen di Singapura. Itu karena tanah dari bangunan yang berusia lebih dari satu setengah abad itu, disumbang oleh keluarga pengusaha Muslim Singapura, yang juga keturunan Rasullullah SAW; Syed Omar Aljunied. Itupun kini, gereja tersebut lebih banyak “nongkrong” sebagai bangunan bersejarah yang kerap menarik mata turis mancanegara.
Islam yang punya 15 persen penganut, tentu saja punya Masjid Sultan yang keren itu. Namun, alih-alih membongkar itu masjid untuk mengubahnya menjadi gaya Timur Tengah – seperti kebanyakan masjid di Indonesia – masjid yang baru saja direnovasi itu tetap mempertahankan arsitek dan ke-heritage-annya. Mempertahankan gaya arsitektur Indo-gothic yang menjadi ciri khas bangunan-bangunan buatan Inggris di negara kolonial mereka, Masjid Sultan jauh dari kesan kesombongan beragama ala orang-orang jaman sekarang.
Ya, umat beragama Singapura, dengan uang mereka yang bejibun; jika mau dan boleh, bisa membuat simbol-simbol ikonik agama mereka. Yang raksasa-raksasa, dan sombong membahana. Mereka bisa membuat patung Maria atau Budha semedhi raksasa. Atau menara masjid tinggi-tinggi dan mentereng. Tapi, mereka lebih suka membangun Garden by The Bay dan taman-taman yang kebanyakan gratis dan bisa dinikmati siapa saja. Atau terus menambah jalur MRT hingga ke pojok-pojok terjauh Singapura, agar masyarakat kian enggan naik mobil. Atau membuat tempat pembuangan sampah yang paling bersih sedunia: Pulau Semakau.
Apakah orang Singapura kehilangan religiusitas? Hingga enggan membangun simbol-simbol agama yang masif-masif seperti halnya tetangga-tetangganya yang kian lama kian dimabuk agama? Jika seminggu saja Anda tinggal di Singapura, Anda akan menyadari betapa religiusnya mereka. Masjid-masjid selalu semarak oleh jamaah dan full aktifitas. Setiap masjid biasanya menggelar pengajian rutin beberapa kali dalam seminggu, tahlilan, taman pendidikan usi
a dini, hingga pengajaran bagi orangtua-orangtua yang ingin mengaji ali-ba-ta. Jumatan selalu penuh. Bulan Ramadan ini, sebulan penuh bahkan digelar bazar besar di daerah Geylang Serai.
Begitu juga gereja. Dua blok dari apartemen tempat tinggal saya, ada gereja komunitas. Yang tidak hanya ramai setiap hari Minggu saja. Setiap hari selalu ada kegiatan, mulai dari kegiatan olahraga jamaah mereka, sampai kepanduan para remajanya. Pendek kata meriah. Penganut Budha maupun Hindu juga tak ingin kalah. Kegiatan keagamaan mereka bahkan kerap menjadi agenda nasional dan daya tarik masyakata. Thaipusam Februari lalu misalnya.
Negara juga mendukung penuh kegiatan-kegiatan keberagamaan di Singapura. Oleh mereka, identitas-identitas keberagamaan adalah keniscayaan yang mutlak, yang justru memberikan keragaman dan ciri khas Singapura sebagai sebuah negara multi-etnis. Dan itu mustahil untuk dihilangkan atau “disamaratakan”. Di saat bersamaan, Singapura enggan tergoda untuk membentuk identitas atau simbol-simbol keagamaan bernada kesombongan yang justru bisa merusak atau membuat iri kehidupan antar-agama. Kenapa harus mendirikan patung bunda Maria raksasa nan mewah di tengah masyarakat muslim yang kebanyakan miskin papa yang makan sehari tiga kali saja tidak bisa? Kenapa harus membangun masjid “magrong-magrong”, jika membuang sampah yang benar saja belum bisa? Kenapa harus selalu menggelar kegiatan keagamaan raksasa dan mewah-mewah, sementara buruh-buruh pabrik kita tiap hari dihantui ancaman PHK karena peraturan yang selalu menguntungkan pengusaha!!!
Gusti Allah membenci orang sombong. Lebih-lebih sombong dengan mengatasnamakan diri-Nya.
Catatan foto: foto kegiatan keagamaan masyarakat Hindu, Thaipusam, Februari 2023 silam.