PRIA TUA itu sibuk mengayun-ayunkan sepotong bambu sepanjang kira-kira setengah meter yang mengeluarkan bunyi prok.. prok..prokkk… Keprokan, begitu biasa petani Singosari, Kabupaten Malang, menyebut bambu sebesar lengan tangan orang dewasa yang tengahnya dibelah dan belahan satu-sama lainnya saling beradu ketika diayun. Seketika, ketika keprokan diayunkan, ratusan burung emprit yang berusaha mencuri padi, berterbangan meninggalkan areal sawah. ”Kalau ndak dijaga begini, bisa ndak panen saya,” kata pria itu dengan logat kental Jawa Timur-an, ketika saya menghampirinya.
Mbah Satiman, pria tua itu memperkenalkan diri ketika saya menyapanya, awal September lalu. Kulitnya legam, rambut putihnya tertutup topi. Kemeja batik bermotif Korpri dan celana pendek selutut, di sana-sini robek dan belepotan lumpur. Sebagai pria yang usianya di atas 80 tahun, keriput di sekujur tubuhnya justru terlihat liat jauh dari kesan ringkih. Keriput yang menjadi penanda betapa keras hidupnya.
Mbah Satiman, pria tua itu memperkenalkan diri ketika saya menyapanya, awal September lalu. Kulitnya legam, rambut putihnya tertutup topi. Kemeja batik bermotif Korpri dan celana pendek selutut, di sana-sini robek dan belepotan lumpur. Sebagai pria yang usianya di atas 80 tahun, keriput di sekujur tubuhnya justru terlihat liat jauh dari kesan ringkih. Keriput yang menjadi penanda betapa keras hidupnya.
”Dari subuh selepas sahur tadi saya di sini,” ia melanjutkan kata-katanya. “Di sini” yang dimaksud Mbah Satiman adalah hamparan sawah yang ditanami padi seluas seperempat hektar. Di sekujur padi yang mulai menguning tersebut, terbentang tali-tali yang di sana-sini diikatkan plastik yang menjulur di antara tonggak-tonggak kayu. Jalinan tali tersebut bermuara ke satu titik di gubuk tempat kami mengobrol. Jika ada burung menyerang tanaman padi sawah Mbah Satiman, ia tinggal menggoyang-ngoyangkan tali, mengusir si burung emprit. Jika masih membandel juga, keprokan menjadi alat pengusir berikutnya. Selain burung, tikus dan wereng adalah musuh utama petani kecil seperti Mbah Satiman.
Seperempat hektar sawah adalah luas yang sangat minim untuk sebuah keluarga dengan enam anak seperti Mbah Satiman. Warga Dusun Ngatik, Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Malang tersebut, dalam sekali panen hanya mampu meraup lima hingga tujuh kuintal gabah dari seperempat hektar sawah yang ia miliki. Bahkan tak jarang; burung, tikus, dan wereng, lebih dulu “memanen” padi Mbah Satiman ketimbang ia sendiri. Jika sudah demikian, bersiap-siaplah Mbah Satiman mencari utangan selama empat bulan ke depan.
Mbah Satiman adalah satu dari jutaan petani Indonesia yang punya lahan di bawah satu hektar. Kian minim luas tanah yang dimiliki seorang petani, makin minim pula pendapatan mereka sebagai petani. Catatan dari Badan Pusat Statistik, jumlah panen gabah kering giling selama 2010 ini sebesar 64,9 juta ton. Ini produksi bersama 28,5 juta keluarga petani, termasuk orang seperti Mbah Satiman. Jika satu keluarga terdiri atas empat orang, tiap kepala kebagian 579 kg per tahun. Jika dikalikan harga gabah Rp3.300 per kilo, pendapatan petani per tahun hanya Rp 1,9 juta atau Rp5.307 per per hari. Angka yang bahkan untuk membeli sebungkus rokok Djie Sam Soe saja masih tekor.
Pendapatan itu masih belum dipotong biaya pupuk dan ongkos membajak. ”Kalau lahan sebesar ini, minimal pupuk yang dibutuhkan sekintar. Belum obat-obatannya (pestisida). Ongkos mbrujul (membajak) pakai kebo Rp150 ribu,” beber Mbah Satiman. Pria yang mengaku mencari tambahan biaya hidup dengan menarik becak itu mengaku lebih memilih menyewa pemilik kerbau ketimbang menyewa traktor. ”Biar bagi-bagi rejeki. Sakno seng duwe kebo,” ia menegaskan.
Beruntung orang seperti Mbah Satiman hidup di desa seperti Desa Klampok yang warnya masih punya hubungan sosial erat. Terkecuali membajak yang membutuhkan biaya, kebutuhan lainnya seperti saat panen, bertanam; dilakukan secara gotong-royong. Panen misalnya, tak butuh buruh bayaran, warga desa dengan senang hati berbondong-bondong membantu memanen dengan upah jerami sampah panenan yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan sapi. ”Namanya sayan, kita juga harus siap bantu jika ada petani lain yang butuh tenaga kita,” ungkap Mbah Satiman.
Mbah Satiman mengaku, seluruh sawah hasil panenannya tak pernah ia jual. Begitu panen, gabah-gabah dibawa ke tempat penggilingan padi. Setelah berupa beras, Mbah Satiman kemudian menyimpannya untuk kebutuhan makan sehari-hari. ”Beberapa juga diberikan tetangga kiri-kanan, dan anak-anak juga,” tegasnya.
Karena faktor usia, sekarang di usia 80-an tahun, Mbah Satiman memang sudah pensiun membecak. Selain sawah yang tidak bisa diharapkan bisa menghasilkan, Mbah Satiman hanya mengandalkan uang pemberian anak-anaknya, serta penghasilan tambahan dari bekerja sebagai buruh petani lain.
Istrinya, yang juga buruh tani, ikut menyumbang penghasilan pasangan keluarga tua tersebut. Mbah Satiman memang tidak mengeluh soal kerasnya ia punya kehidupan. Ia juga tidak pernah bisa protes jika pupuk melambung atau harga gabah menukik turun. Alam, menurutnya, telah memberi banyak hal padanya. ”Kalau butuh sayur dan lauk, tinggal ambil di sawah banyak. Manceng iwak ndik kali, metik kangkung ndik galengan yo wes iso mangan,” katanya sembari terkekeh.
Mbah Satiman, potret kearifan khas Indonesia
Foto-foto by Sultan Yohana