(Bagian II, dan semoga menjadi tulisan terakhir tentang sampah)
SEPEKAN setelah tulisan pertama di rubrik ini berjudul Sumpah, Gila! Sampah-sampah Itu terbit, tumpukan sampah yang menggunung di depan rumah tak juga kunjung terangkut. Sampah yang nyaris tiga minggu tak diangkut itu, telah menimbulkan teror yang tak mengenakkan bagi kami: bau busuk menyengat hingga rumah, ribuan belatung yang bersumber dari sampah juga bermigrasi, mencari tempat persembunyian hingga masuk-masuk ke dalam rumah.
Di depan rumah saya memang tak ada tong sampah, mengingat saya yang tinggal seorang diri hanya memproduksi sedikit sampah. Saya tidak masak, sampah-sampah yang dihasilkan pun seringkali sampah kering. Itupun baru mulai banyak setelah seminggu menumpuk. Seringkali justru pemulung yang lewat di depan rumah yang saya panggil untuk mengambil sampah saya yang memang kebanyakan masih bisa dimanfaatkan. Meski pembayaran retribusi sampah sama dengan tetangga kiri-kanan yang memproduksi berkali-kali lipat sampah dari saya.
Bau busuk dan belatung yang telah meneror saya, bersumber dari gunungan sampah tetangga yang memang belum terangkut. Pak E, tetangga saya, akhirnya harus turun tangan sendiri mengangkuti sampahnya untuk dibuang di pinggir jalan. Dia beli tas plastik besar (belinya tentu pakai uang, Pak Walikota) untuk mengangkut sampahnya, dia menyisihkan waktunya, dia juga bermain dengan resiko kena sejumlah penyakit yang bisa ditimbulkan sampah yang sudah tiga minggu tidak diangkut!
Pengorbanan yang luarbiasa.
Ironisnya, beberapa hari yang lalu pada sejumlah media, Walikota Ahmad Dahlan meminta maaf sembari enteng menyebut: masalah sampah yang tak terangkut adalah soal kecil. Ia beranalogi: seperti gunung berapi yang akan meletus, masalah sampah di Batam baru sekedar asapnya saja. Masih tidak berbahaya, tidak perlu dikhawatirkan. Statemen khas politikus Indonesia yang kerap meremehkan masalah yang berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Ia berkata demikian, mungkin karena tak pernah mencium bau sampah.
Bau bacin, serangan belatung, plus kebingungan tiap ibu rumahtangga hendak membuang ke mana sampah mereka karena tong sampah di depan rumah bukan masalah kecil, Pak Walikota! Terlebih Batam yang mayoritas warganya adalah pasangan usia muda, yang memiliki anak balita, yang tak lagi punya tempat bagus bermain selain bermain di jalan depan rumah mereka. Bermain bersama sampah-sampah yang telah membusuk membelatung. Anda mungkin tak pernah membayangkan, bagaimana mengerikannya pempers yang isinya tinja bayi yang sudah tiga minggu teronggok di dalam tong sampah.
Sangat MENGERIKAN!
Persoalan mendasar tentang sampah memang tak sepenuhnya tanggungjawab pemerintah. Rakyat sebetulnya punya andil penting untuk membuat sampah-sampah di lingkungan mereka tidak terlalu menggunung. Dan pemulung adalah aktor penting lainnya yang seharusnya diberi keleluasaan. Saya selalu tidak gembira ketika membaca “PEMULUNG DILARANG MASUK” di satu komplek perumahan. Saya belajar dari warga Singapura, bagaimana mereka “menghormati” sampah mereka agar tidak mengganggu mereka sendiri. Menghormati pemulung dengan mempermudah kerja mereka.
Di rumah yang kami tinggali, baik di Singapura maupun di Batam, selalu ada dua tempat sampah dalam rumah. Istri saya selalu mengingatkan, ada hak para pemulung di sampah-sampah yang kita buang. Sampah-sampah plastik, kertas, pakaian, atau yang masih bisa didaur ulang, adalah rejeki bagi para pemulung. Sedikit ribet memang, dan juga tak jarang membuat tak nyaman ada dua sampah. Tapi, jika kita mencintai Bumi, kita harus melakukannya. Agar Bumi tidak memurkai kita.
Di Singapura, selain cara efektif pembuangan sampah yang saya jelaskan pekan lalu dalam tulisan di rubrik ini, mereka juga selalu menyediakan tempat sampah yang khusus untuk membuang barang-barang yang masih bisa dipakai. Televisi, komputer, sofa, dan aneka macam barang-barang yang sekira bisa dipakai yang dibuang warga, biasa ditempatkan di bawah apartemen agar bisa diambil pemulung dengan baik. Tidak dicampur dengan sampah basah.
Anda mungkin tak percaya, televisi, sofa, atau alat-alat rumahtangga yang masih baik yang banyak dijual di loakan-loakan Batam adalah “sampah” yang betul-betul dibuang oleh rumahtangga Singapura. Terkadang, ketika lihat seonggok televisi yang masih baik di bawah flat tempat tinggal kami di Singapura, saya berkhayal untuk bisa membawanya ke Batam. Tapi apa daya, tangan ini tak cukup kuat untuk menenteng barang-barang tersebut.
Memulung, di Singapura sudah menjadi bisnis bagus. Tidak jalan kaki apalagi membawa gerobak motor, mereka terkadang membawa lori untuk membawa barang-barang yang dibuang warga. Saya tak tahu kemudian dibawa ke mana barang-barang itu. Saya pikir barang-barang yang masih bisa terpakai itu mereka packing dan untuk selanjutnya dikirim ke Batam atau daerah-daerah lain yang menginginkan. India dan Bangladesh menjadi negara lain yang menerima ekspor barang bekas asal Singapura.
Kembali ke soal sampah. Yang jelas ada tanggungjawab sosial yang tertanam pada warga Singapura, bahwa sebagian sampah-sampah mereka bisa bermanfaat bagi orang lain.
Di Batam sebetulnya juga sudah dikampanyekan pemerintah untuk memisahkan sampah yang bisa didaur ulang dengan sampah basah yang bisa langsung ditelan Bumi tanpa menimbulkan masalah. Tapi sekali lagi, kampanye itu tak ada artinya jika tak ada fasilitas untuk melaksanakannya. Akan sangat berguna jika misalnya di setiap komplek dibuat tempat sampah yang dikhususkan bagi sampah basah maupun sampah kering. Pemulung pun akan dengan mudah membawa sampah kering itu untuk penghidupan mereka.
Tapi kadang, kita suka tak rela, melihat orang lain (baca pemulung) bekerja dengan lebih ringan untuk mendapatkan uang. Saya selalu tak bahagia ketika membaca “PEMULUNG DILARANG MASUK” di satu komplek perumahan. Sama tidak bahagianya dengan membaca pernyataan Pak Walikota yang menihilkan masalah sampah, juga mencium pempers berisi kotoran bayi yang sudah tiga minggu tak diangkut!
Gila, Sampah Kian Gila!
Diterbitkan di DIA, Minggu, 18 September 2011.