Dia sepertinya tak nyaman ketika dipanggil “Bang”, oleh dua perempuan yang menawar gelang manik-manik sekend dagangannya. “Masak mahal begini Bang?” kata seorang calon pembeli, ketika mendengar si pedagang menyebut harga Rp25 ribu. Wajah si pedangang tidak senyum. Bibirnya yang penuh oleh suntik silikon, tampak merekah merah sedikit manyun. Begitu juga dengan pipi dan hidungnya yang juga disuntik silikon.
“Ini bahan mutiara Mbak! Mahal…” kata si pedagang ketus. Suaranya berat, dan tentu saja suara lelaki.
“Sayang ya Mas, lensanya ada jamurnya…,” kata calon pembeli yang lain. Seorang pria yang sedari tadi mengutak-atik kamera SLR merek Yashica. Lagi-lagi saya perhatikan tidak ada senyum atau kegembiraan di wajah penuh suntikan silikon si pedagang. Dengan keketusan yang masih terpelihara, si pedagang kemudian menjawab, “…kan bisa dibersihkan jamurnya!”
Ketus banget pedagang ini? Jangan-jangan, pikir saya, keketusan Dia karena enggan dipanggil “Bang” atau “Mas”? Saya yang ketika itu tengah mengutak-atik satu biji kamera lama dagangannya yang lain, jadi sedikit bingung untuk mengeluarkan kata, sekedar menawar.
Dia – pedagang itu – memang seorang pria. Tapi, dengan ikhtiar yang sebisa Ia lakukan, Ia ingin mengubah takdir menjadi sedekat mungkin dengan wanita. Hidungnya dibuat bangir dengan silikon, kedua pipi dan janggutnya juga dipermak silikon. Yang paling kentara tentu saja kedua bibirnya yang merah merekah itu.
Tapi, harga sebuah kecantikan mungkin terlalu mahal untuk ukuran pedagang sekend kecil di Pasar Jodoh, Batam. Di usianya yang saya tebak sekitar 40an tahun, Dia gagal tampil cantik meski sudah berikhtiar sedemikian rupa. Rambutnya yang lumayan panjang dan disemir pirang, sedikit awut-awutan dan tampak kusut.
Begitu juga t-shirt dan celana seperempat warna gelap yang Ia kenakan. Tampaknya mengusut oleh kotornya aneka dagangan sekend yang ia jual. Cutek cokelat gelap di kuku tangan dan kakinya, malah mengesankan ia kian tak terawat. Tinggi tubuhnya yang sekitar 160 sentimeter, kian terlihat pendek karena timbunan lemak di perut dan sekujur tubuhnya. Di titik kegagalan ini, ketika penampilannya setengah pria setengah wanita, siapa pun pasti bingung apakah akan menyebut “Bang” atau “Mbak” pada Dia.
Masyarakat umum kerap menjuluki orang-orang seperti Dia sebagai “waria” atau “bencong”. Tapi waria atau bencong dengan kepercayaan diri berusaha tampil sangat wanita. Baik itu siang ataupun malam. Dia – pedagang sekend itu – tidak! Dulu, dia mungkin ingin tampil sangat wanita. Tapi gagal dan akhirnya menyerah dengan keadaan. Membiarkan seluruh ikhtiarnya berantakan. Sekali lagi, saya kembali bingung ketika hendak menawar salah satu kamera sekend dagangannya. Apakah akan memanggilnya “Mbak” atau “Mas”?
Ah, bodoh sekali saya. Kenapa tidak memilih diksi “Kakak” untuk sebuah penyebutan yang aman. Akhirnya, saya kata memakai ganti orang orang kedua “Kakak” dalam tawaran yang saya kemukakan. Tampaknya berhasil. Dia terlihat gembira dan memperlakukan saya dengan baik. Kami ngobrol sedikit panjang, tentu saja membicarakan kamera yang dijualnya, yang tengah saya taksir. “Mas… mas, bersihkan lensanya kira-kira berapa ya? Kalau di Batam di mana ada orang bisa bersihkan?”
Saya kemudian menyebut di mana, siapa, dan berapa ongkos membersihkan lensa kamera yang jamuran. Kami juga berdiskusi soal dagangan-dagangan Dia yang lainnya. Tak lupa pula, saya berpesan, jika ada kamera bagus, simpankan untuk saya. Dia mengangguk. Gembira. Dan akhirnya, meskipun kamera tak jadi saya beli, dia tak cemberut karena – mungkin – tak disapa sebagai “Bang” atau “Mas”.
Foto kaki-kaki oleh saya, di Singapore River.