Ini pertanyaan yang tak bosan-bosannya saya dengar, dan mungkin juga cukup bosan untuk saya bicarakan di sini. Tapi, selalu saja pertanyaan tentang “merokok” di Singapura selalu mewarnai pembicaraan lawan obrolan ketika tahu saya selalu berakhir pekan di Singapura. “Ndak enak ya di Singapura, ndak bisa bebas merokok?” Itulah kira-kira kalimat yang sering saya dengar.
Enak tidak enak, kan tergantung si perokoknya!
Tapi yang jelas, apa yang dibayangkan kawan-kawan tentang merokok di Singapura – bahkan yang sudah beberapa kali ke sana – tidak seekstrim bayangan mereka. Merokok tetap mengasyikkan, bagi yang menggemarinya. Dan bisa dilakukan di mana-mana. Asal bukan tempat yang berupa sarana publik maupun di dalam gedung-gedung ber-AC, setiap tempat atau gedung, pujasera, biasanya selalu menyediakan tempat bagi perokok. Anda pun bebas merokok sambil lenggang-kangkung jalan-jalan cuci mata. Tempat-tempat seperti halte bus, stadion sepakbola, ataupun gedung sekolah, biasanya ada larangan merokok. Jika Anda berani merokok di dalam bus atau kereta api, siap-siaplah kena denda 1000 dolar Singapura!
Dulu saya perokok berat. Sehari bisa menghabiskan dua bungkus, bahkan lebih. Selain dompet, kantong celana selalu tidak lupa berisi rokok dan koreknya. Tapi, “tidak nyamannya” merokok di Singapura pelan-pelan memberi manfaat pada saya. Kini, saya berhasil mengurangi isapan rokok tiap hari. Bahkan rekor terhebat yang pernah saya torehkan sepanjang saya menjadi perokok aktif adalah tidak merokok sama sekali dalam 22 hari!
Tapi kini merokok lagi, meski tidak sedahsyat dulu.
Saya memanfaatkan waktu selama di Singapura untuk sekuat mungkin tidak menyentuh rokok. Banyaknya tempat-tempat yang tidak diperbolehkan merokok, mendatangkan manfaat tersendiri bagi saya. Ketika sehabis makan di pujasera, dan keinginan merokok datang, sering kali saya enggan beranjak dari tempat duduk hanya karena hendak merokok. Tidak elok betul – juga tidak nikmat – menurut saya, berdiri seorang diri di pinggir jalan raya hanya untuk menghabiskan rokok. Kenikmatan justru tak terasakan.
Saya juga mengharamkan diri merokok di dalam rumah jika ada Ken, anak semata wayang kami yang masih bawah lima tahun. Banyaknya kegiatan yang bisa saya lakukan saat pulang ke Singapura juga membantu saya untuk melupakan rokok. Fasilitas publik yang baik dan kebanyakan gratis, tempat olahraga yang memadai, serta sarana-sarana wisata yang menyenangkan – saya sering tracking menjelajah hutan – membuat saya untuk sejenak, lupa dengan rokok. Jogging yang menjadi kegemaran saya yang lain, juga bisa untuk sementara melupakan pikiran dari asap-asap rokok.
Saya kerap bertanya-tanya, kenapa saya bisa melupakan rokok ketika di Singapura, sementara begitu kembali ke Batam, di benak ini selalu ada satu keinginan: merokok! Bahkan sesaat ketika tubuh masih keringatan setelah bermain futsal tiap Rabu sore di Ikan Daun, Batamcenter, di sela-sela tenggakan air mineral asap rokok juga tetap harus ada. Apakah karena melihat kawan-kawan lain yang merokok, keinginan ngudut ini kian bertambah berlipat-lipat? Bukankah rokok adalah salah satu “bahasa gaul”, bahasa keakraban? Mungkin juga.
Di Singapura, praktis selain keluarga inti – dan tak jarang rekan penghobi fotografi – saya tak berkomunikasi dengan orang lain. Itu mungkin yang mengurangi dengan drastis rasa kenikmatan merokok. Merokok seorang diri, bagi saya sama sekali tidak enak jika dibandingkan merokok bersama kawan perokok. Apalagi jika disesali cecapan Carlsberg dingin, nikmatnya kian bertambah-tambah.
Saya jadi menduga-duga, jika mungkin saya di Singapura selama tiga bulan penuh, mungkin saya akan berhenti merokok untuk selamanya. Ketika di Singapura, di benak ini tak ada lagi tempat untuk memikirkan merokok karena sejumlah aktifitas mengasyikkan yang bisa saya jalani di sana. Lalu saya berpikir, mungkin pemerintah di Batam bisa membuat banyak sarana publik yang bisa dipakai warganya untuk beraktifitas fisik secara gratis dan nyaman agar masyarakatnya tidak lagi berpikir soal rokok. Tidak perlu menaikkan harga rokok, karena pecandu rokok pun tetap akan berusaha membelinya. Berapa pun mahalnya harga rokok.
Sejak awal tahun 2010, pemerintah Singapura memperketat pemakaian rokok di Singapura. Selain ada larangan membawa rokok masuk ke sana, penikmat rokok di Singapura juga dibuat ketar-ketir dengan adanya razia rokok ilegal. Setiap batang rokok harus ada cap SDPC. Jika tidak, Anda yang terpergok merokok rokok ilegal bakal didenda 200 dolar per batang. Denda yang bisa bikin bangkrut Anda jika di kantong ada sebungkus penuh rokok ilegal.
Sebelumnya, peredaran rokok ilegal di Singapura, terutama rokok asal Indonesia, memang begitu marak. Anda bisa mendapatkan rokok Sampoerna Mild, Gudang Garam, Djarum Super, atau Malboro, di pusat-pusat keramaian seperti Geylang Serai, Little India, dan Bugis. Cara menjualnya biasa sembunyi-sembunyi. Pedagang biasanya menghampiri Anda dan membisiki apakah Anda butuh rokok? Jika iya, mereka kemudian mengeluarkan dagangannya. Harganya pun separuh harga rokok legal.
Jika sebungkus Sampoerna Mild isi 16 batang kita bisa menebusnya dengan harga 11 dolar di toko-toko resmi, di pedagang ilegal kita bisa mendapat harga cuma 5 dolar Singapura. Sekitar Rp35 ribu. Jauh lebih mahal ketimbang di Indonesia, tapi sangat murah ketika dibeli di Singapura. Tapi sejak 2010, pedagang ilegal semacam ini kian sulit ditemukan.
Tapi, jangan khawatir bagi Anda yang menggemari rokok kretek Indonesia. Larangan membawa rokok ke sana tidak mutlak aturannya. Anda tetap bisa membawa rokok apa pun kegemaran Anda, asalkan membayar cukai yang sudah ditentukan. Di pelabuhan atau bandara tempat-tempat pemeriksaan barang bawaan, selalu ada konter bertulis “Custom” yang akan dengan senang hati melayani Anda menerima bayaran cukai rokok yang Anda bawa. Cukainya memang cukup mahal, tapi jangan pernah coba-coba untuk mengelabuhi para petugas itu untuk bisa meloloskan sejumlah rokok yang Anda bawa, atau sekedar menyogok sejumlah uang ketika Anda ketahuan membawa rokok di luar jumlah ketentuan.
Saya teringat, ketika suatu kali memberanikan diri membawa satu slop rokok kretek oleh-oleh untuk adik lelaki saya. Harga satu slop rokok kretek yang saya beli di Batamcenter ketika itu sekitar Rp150 ribu. Ketika tertangkap tangan petugas Custom Singapura dan diminta membayar cukai, saya diwajibkan membayar cukai sebesar 68 dolar! Saya hitung-hitung, kok lebih mahal cukainya daripada harga rokoknya. Lalu, meluncurlah kata pada petugas Custom, “Sudah deh Pak, untuk Anda saja semua rokoknya. Nanti saya bisa beli lagi!”
Jawaban yang Petugas Custom – kebetulan Melayu – keluarkan cukup mencengangkan. Dengan tegas ia mengatakan, “Mau bayar cukai 68 dolar atau denda 500 dolar (untuk pelanggaran saya membawa rokok)!” Saya pun akhirnya memilih alternatif pertama!
Tinggal di Spore, mungkin menjadi resep jitu untuk berhenti merokok! Setidaknya bagi saya.
Diterbitkan di DIA, Minggu, 2 Oktober 2011.
Foto “nikmatnya merokok” oleh saya. Model Mbah Satiman.