Sebagai kota megapolitan yang gemerlap dan nyaris tak pernah mati sepajangn 24 jam, Singapura seperti monster raksasa penyedot energi yang gila. Nyaman dan Aman! Itulah dua kata yang harus ada di setiap sudut di Singapura, yang coba diberikan pemerintah mereka. Lift-lift dan eskalator yang nyaris tak pernah mati. Lampu jalan gemerlap, ruang-ruang publik berpendingin udara atau berkipas angin, bahkan sebuah di Taman Fort Canning sempat dibuatkan di eskalator untuk para penikmatnya. Yang terakhir ini, sempat menuai kecaman dan jadi bahan lelucon para pemerhati green living atau pecinta alam. Mengingat energi listrik yang terpakai dianggap mubadzir dan memalukan.
Bahkan Lonely Planet, buku panduan wajib yang nyaris selalu ada di tas para turis atau petualang dunia mengolok-olok eskalator di Fort Canning sebagai sebuah “fenomena Singapura”: Singapura sebagai kota para lanjut usia (lansia). Bukankah hanya seorang lansia, yang butuh kenyamanan yang sedemikian mengada-ada?!
Jalan-jalan di Singapura – bahkan yang terpencil sekalipun – selalu diterangi listrik. Pejalan kaki dimanjakan dengan kemudahan menyeberang jalan yang kadang membikin jengkel pengguna kendaraan umum seperti saya. Bayangkan Pembaca, betapa tidak nyamannya ketika bus umum yang kita tumpangi berhenti dua kali dalam radius cuma puluhan meter hanya gara-gara lampu hijau pejalan kaki menyala. Betapa tidak efisiennya, betapa banyak energi yang dikeluarkan oleh bus dan kendaraan lain yang harus berhenti hanya untuk menunggu seorang pejalan kaki jalan lenggang kangkung sembari asyik memainkan HP-nya.
Yang seperti ini: puluhan traffick light yang jaraknya berdekatan, banyak sekali dijumpai di jalan-jalan Singapura. Bagi pejalan kaki memang nyaman, tapi bagi pengguna kendaraan bermotor ini merupakan pemborosan energi. Berapa besar bensin atau solar yang terbuang ketika kendaraan harus berhenti setiap beberapa meter sekali. Saya kadang berpikir, pemerintah Singapura terlalu ekstrem memanjakan warganya. Hingga membuat kota ini sebagai salah satu kota yang membosankan untuk ditinggali. Saya tidak pernah mampu bertahan tinggal di Singapura lebih dari dua minggu.
Siapa bilang Singapura kota yang menyenangkan? Mengasyikkan?
Menurut laporan Enegry Information Administration, Singapura menjadi negara pengkonsumsi tertinggi energi listrik per kapita, bahkan mengalahkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Rekor ini tentu sangat masuk akal, jika melihat kenyamanan yang mereka dapatkan. Kalau boleh saya berhiperbola, pemerintah Singapura sepertinya tidak ingin rakyatnya kepercik setetes air hujan sekalipun!
Tapi ada harga mahal yang ditawarkan untuk semua kenyamanan itu. Yakni konsumsi listrik yang gila-gilaan. Fenomena pemanasan global yang kian mengkhawatirkan sekarang ini, jelas menjadi paradok bagi negeri yang ingin warganya nyaman seperti Singapura. Ironisnya, sebagian besar konsumsi energi Singapura, dibeli dari Indonesia. Kita sendiri, sebagai pemilik sumber energinya, justru harus menikmati byar-pyet listrik yang sering datang pada waktu menjengkelkan.
Sialnya, sudah byar-pyet, aneka layanan publik yang membutuhkan listrik terkadang mubadzir sekali. Cobalah tengok jalan raya antara Batamcenter dengan Simpang Kabil ketika malam. Meski lampu hidup, tetapi tetap gelap dan membahayakan jika ada lubang jalan. Itu karena hal konyol memasang lampu jalan di rerimbunan pohon. Bahkan saat setelah pohon di jalan terlalu rimbun dan menutupi cahaya lampu, pemerintah selalu terlambat memangkasnya. Belum lagi lampu-lampu itu kian boros energi karena baru dimatikan terlampau siang.
Tapi tulisan saya kali ini tak membicarakan soal membosankannya Singapura. Melainkan ingin berbagi cara hidup “lebih hijau” agar Bumi ini bisa lebih lama dinikmati anak-cucu kita. Batam dengan sumber daya alam yang sangat terbatas, dibutuhkan cara hidup “hijau” agar bisa eksis sebagai daerah yang enak ditempati. Jangan boros seperti Singapura.
Cara hidup hijau bisa dilakukan secara sederhana. Bagaimana misalnya, membiasakan diri untuk mengendalikan diri mempergunakan selembar tisu setelah makan, atau memakai kaus hingga empat hari tanpa bau. Tentu saja tak semua orang bisa melakukan penghematan yang terlihat konyol namun efektif ini. Kegilaan penggunaan energi – terutama energi elektrik – di Singapura, menyadarkan saya untuk tidak berlaku seperti kebanyakan warga negeri tetangga kita itu.
Satu kali saya membaca satu artikel: betapa banyaknya energi yang dipakai untuk membuat selembar tisu. Juga betapa banyaknya pohon yang harus ditebang untuk membuat tusuk gigi agar setelah makan slilit makanan di sela-sela gigi kita hilang. Anda mungkin sebelumnya tak pernah berpikir hingga detil seperti ini. Tapi sekarang marilah kita mencoba melakukannya. Kadang, kita bisa mengambil tisu secukupnya saat di rumah sendiri, namun seringkali kita tidak melakukan hal yang sama ketika makan di warung-warung makan.
Karena cuma-cuma, nafsu gratis kita seringkali membuat tangan kita mengambil tisu lebih dari yang seharusnya kita perlukan. Saya biasa memungut satu tisu untuk membersihkan piring atau sendiri, untuk kemudian menggunakan tisu itu kembali – di lipatan bagian dalamnya – untuk mengelap mulut atau tangan.
Sejak remaja, saya juga punya kebiasaan memakai kaus/baju hingga empat atau lima hari. Celana jins bahkan bisa bertahan hingga sebulan tidak tercuci.
Kebiasaan yang kerap menimbulkan protes istri saya yang memang mengagungkan kebersihan. Beruntung kegemaran saya memakan sayur serta minum banyak air putih membuat tubuh ini sedikit menghasilkan keringat bau. Jadi, empat hari memakai kaus yang sama, tidak atau sedikit menghasilkan bau menyengat. Saya pun anti menyetrika pakain, kecuali pakaian-pakaian tertentu yang butuh disetrika.
Tapi pada akhirnya, istri justru harus berterimakasih ketika melihat tagihan listrik yang tak banyak. Tetangga sebelah rumah, dengan anggota keluarga empat orang nyaris tiap bulan mengeluarkan tagihan listrik mencapai Rp600 ribu. Kami yang bertiga, tak pernah lebih dari 200 ribu tagihan listriknya. Belum lagi tagihan air dan belanja sabun serta lainnya yang dibutuhkan. Belum lagi waktu yang terbuang hanya untuk mencuci baju dan jemur pakaian.
Cara hidup saya yang dianggap sebagian orang “brutal”, terbukti lebih hemat energi dan menyenangkan. Mau coba?
Diterbitkan di DIA, Minggu, 9 Oktober 2011.