: Semula Kata Ejekan Habibie
Singapura dekade 70 hingga 80-an:
Hingga saat ini, dalam tidurnya, istri saya Joanne, kerap didatangi “mimpi buruk”. Mimpi tentang di masa-masa ketika ia masih membocah, ketika harus tinggal di kampong dengan peneranganan listrik byar-pyet; beol di jumbleng yang begitu selesai cuma ditutup kayu saja; atau harus menimba air di sumur sejauh 500 meter dari tempat tinggal orangtuanya. Jalan raya gelap, dan si kecil Joanne – begitu ia kerap berkisah – harus lari secepat ia bisa ketika ia pulang terlambat dan langit mulai gelap. Dari jalan raya menuju rumahnya yang berada cukup dalam di daerah pinggiran pantai Punggol, Singapura. Terkadang, suatu kali dia bercerita, ia mendengar teriakan-teriakan minta tolong seorang tetangganya yang kurang waras yang ditinggal begitu saja oleh keluarganya di rumah panggung berdinding kayu.
Cerita istri saya, yang kerap dia ungkapkan di saat-saat kami sekeluarga kumpul menjelang malam, memberikan gambaran betapa “menyedihkannya” kondisi Singapura di era setelah merdeka hingga awal tahun 80-an. Rumah-rumah kumuh muncul di mana-mana. Sampah menggunung. Pengangguran. Listrik byar-pet. Serta infrastruktur minim.
Kriminalitas jalanan, di era itu – bahkan hingga tahun 90an – begitu tinggi. Seperti Batam saat ini, berita tentang jambret, rampok, pembunuhan; nyaris tiap hari muncul di koran-koran di Singapura. Saya sempat membaca sebuah buku yang diterbitkan pihak kepolisian Singapura, yang isinya sejarah kejahatan jalanan, plus berbagai macam iklan-iklan himbauan waspada jambret dari tahun ke tahun yang dulu biasa dipasang di tempat-tempat umum seperti terminal bus atau halte. Warga, di era itu, diharap hati-hati saat berjalan sendiri di tengah malam, atau bahkan ketika naik lift sendirian. Karena jambret begitu merajalela. Mirip sekali dengan Batam kini, yang bahkan kejahatan jalanan sudah berani “menggarap” masuk perumahan-perumahan.
Dan kini, di tahun 2015, Singapura sedang menggelar euforia ulangtahun emas mereka; Kemerdekaan ke-50. Di mana-mana di seantero Singapura, lambang berupa titik merah dengan tulisan “SG-50” bertebaran. Di bus-bus, di kereta umum, di lantai-lantai mall atau stasiun. Di pasar-pasar, di baju-baju yang dikenakan warga Singapura. Bus-bus umum, atapnya dihiasi “bola” merah kecil yang merupakan perlambang nick-name atau nama panggilan beken Singapura saat ini: Little Red Dot. Si Titik Merah Kecil. Nama yang notabene, diambil dari “ejekan” Prof. Dr. h.c. Ing. Dr. Sc. Mult. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, presiden ketiga Republik Indonesia.
Habibie, dalam wawancaranya di Asian Wall Street Journal terbitan 4 Agustus 1998 menyebut, Singapura cuma “little red dot” yang bukan apa-apanya dibandingkan dengan Indonesia yang kala itu berpenduduk 211 juta jiwa. Sebuah pulau yang tak lebih besar dari Pulau Bintan, yang ketika “ejekan” itu diungkapkan, cuma berpenduduk tiga juta jiwa saja. Habibie sendiri, menyebut “little red dot” untuk memberi penekanan bahwa Singapura bukan kawan yang bisa membantu megnatasi krisis ekonomi Indonesia yang begitu parah ketika itu. Habibie, meremehkan kekuatan ekonomi Singapura. Negara kota yang cuma punya luas daratan 718 kilometer persegi saja.
Tapi lihatlah kini! Negeri “setitik merah” itu! Dari sebuah kota yang saat dicerai Malaysia tahun 1965, Lee Kuan Yew terisak-isak menangis karena tak tahu harus minta bantuan keuangan pada siapa; kini menjadi raksasa ekonomi Asia Tenggara, bahkan Dunia. Kini, kita bisa dengan mudah menemukan jejak perusahaan-perusahaan “asli” Singapura, di seantero dunia. Mulai dari Australia hingga Abu Dhabi, dari China daratan hingga Indonesia. Dari sebuah negara yang empatpuluh tahun lalu penuh jambret dan pemadat, kini dinobatkan menjadi negara teraman di dunia. Dari negara yang saat dilepas Malaysia bingung ingin meneruskan hidup mereka, kini menjadi negara dengan pendapatan per kapita terbesar ketiga di dunia ($82,762 per tahun). Hanya kalah dari pendapatan per kapita-nya Qatar ($143,427) dan Luksemburg ($92,049); sementara Indonesia berada di peringkat 102 dengan pendapatan per kapita $10,641. Jika Qatar kaya karena minyak melimpah dan Luksemburg makmur karena rakyatnya yang “cuma” setengah juta jiwa, lalu Singapura kaya dari mana?
Singapura bisa kaya karena mereka bekerja keras, disiplin, anti-korupsi, dan selalu waspada!
***
Ketika BJ Habibie “mengejek” Singapura sebagai “little red dot”, memang rakyat dan media-media massa di Singapura memang geram. Perdana Menteri Singapura ketika itu, Goh Chok Tong, dalam pidato perayaan Kemerdekaan Singapura 2008, bahkan sempat menyindir Habibie dengan mengatakan, “Kami cuma setitik merah di peta (dunia). Di mana kapasitas kami untuk membantu 211 juta masyarakat (Indonesia)?” Indonesia ketika itu memang tengah dalam krisis luar biasa. Krisis Moneter 1998.
Tapi, Lee Hsien Loong, kini menjabat Perdana Menteri Singapura, justru melihat sebaliknya “ejekan” Habibie. Ia malah mengaku berterimakasi atas “ejekan” tersebut. “Ejekan” itu justru dianggap sebagai “warning” yang harus diingat seluruh rakyat Singapura untuk terus bekerja keras, bersatu, untuk menjadikan “setitik kecil merah” sebagai raksasa ekonomi di dunia. Untuk terus sadar bahwa Singapura adalah sebuah negara yang tidak punya sumber daya alam, tidak punya minyak, tidak punya hutan maupun tambang-tambang, tidak punya laut luas; namun punya semangat untuk maju. “Ini (ejekan Habibie) adalah pengingat yang jelas dan berharga bahwa kita memang sangat kecil dan sangat rentan. Sedikit titik merah telah memasuki jiwa setiap warga Singapura, dan menjadi bagian permanen dari kosakata kami, dan kami sangat berterima kasih atas itu”, begitu Lee Hsien Loong berpidato di 3 Mei 2003.
Kini, setelah 17 tahun, frasa “Little Red Dot”, tak lagi membuat warga Singapura minder. Bukan lagi sebuah ejekan. Sebaliknya, frasa tersebut justru diadopsi menjadi nama sebutan yang akan selalu mengingatkan pada setiap warga Singapura, untuk tidak berkeluh kesah karena tidak dianeugerahi kekayaan apa-apa sebagaimana negara lain. Little Red Dot, di 50 tahun kemerdekaannya, tak lagi setitik merah di peta dunia. Tapi bertitik-titik merah yang menyebar seantero dunia; dengan kapitalisasi yang mereka punya. Dan semua itu bisa terwujud, bukan dari berkeluh-kesah.
Little Red Dot itu, kini justru memberi kebanggaan rakyatnya.