Namanya lumayan keren: Rita. Namun, dara hitam manis ini hanya menggelengkan kepala sambil cengangas-cengenges, ketika saya todongkan tanya, siapa nama lengkapnya. Tapi tak apalah. Tak menjadi soal bagi saya. Terpenting, kami bisa cas-cis-cus berbahasa Jawa di antara silat lidah bahasa Tionghoa yang sama sekali tak kami pahami. Di satu malam, dalam perayaan Imlek, 18 Februari lalu bersama sekeluarga besar keluarga Singapura. Di sebuah apartemen di Hougang, Singapura.
Rita, pembantu rumah tangga ipar saya itu semula memencil diri. Melepas diri dari desingan omong kosong khas keluarga besar yang teramat jarang bertatap muka. Dia menyibukkan diri dengan memelototi salah satu perkutut piaraan pakde istri saya yang intelejen.
Sejenak pikiran saya ngelayap jauh: intel kok hobinya miara perkutut? Enam perkututnya, dua derkuku. Tapi benar lho, tak ada satupun benda maupun cinderamata di rumahnya, yang mencitrakan dia seorang intel. Yang meski umur sudah kepala empat, tapi masih sanggup berlari dua puluh putaran lapangan bola. Yang ke mana-mana terselip FN bergagang silver di balik boatnya.
Mengingat pakde istri saya yang intel ini, tiba-tiba saya jadi teringat Pak RW yang ‘memimpin’ lingkungan saya di Batam. Namanya Mayor. Nama lengkapnya nggak pernah mau tahu saya. Yang jelas dia bukan polisi, bukan pula tentara, apalagi pejabat bukan pembokat. Hanya anggota Pemuda Pancasila. Tapi gaya militernya itu lho, naudzubillah! Ke mana-mana berjaket hijau tua khas tentara; rambut cepak lapak; di mobilnya, aneka macam stiker tempel menyoal kesatuan tentara. Dan yang paling mencengangkan: ada foto besar-besar di ruang tamu rumahnya, ketika dia salaman dengan seorang tentara yang aku tahu, itu tentara bukan siapa-siapa. Obrolannya pun tak pernah lepas dari dunia tentara.
Kembali pada perkutut, sejenak lamunan saya tiba-tiba menancap pada suasana rumah di Malang, Jawa Timur. Yang riuh oleh aneka kicauan burung. Memang, bapak saya seorang maniak burung. Tapi jenis kicauan. Cicakijo kesayangan bapak saya, beberapa kali menjadi jawara lomba kicauan. Perkutut-perkutut milik pakde istri saya juga tampak hebat dan sehat. Dan, ketika mata saya kembali memerhati Rita, tiba-tiba saya jadi sedih luar biasa.
“Sampeyan sudah lama ikut Jasmine?” tanya saya pada Rita. Jasmine adalah ipar saya yang perwira menengah Angkatan Laut Singapura. Kakak perempuan istri saya.
”Belum sampai setahun. Jawine pundi, Mas? ( Jawa-nya mana, Mas?)” jawabnya plus tanya. Saya jawab apa adanya. Dara 19 tahun itu mengaku berasal dari Solo. Tiba-tiba, glebar-gleber sayap perkutut yang giras ketakutan karena sebuah bola karet mainan ponakan menggaprak tak sengaja sangkarnya yang ditaruh di lantai, membuat Rita gelagapan juga. Kaget. Kontan Rita berdiri, kemudian setengah lari menuju dapur, saat secara hampir bersamaan mulut Jasmine meneriakkan permintaan pada Rita, untuk diambilkan segelas air dingin.
Tentu saja teriakannya pakai bahasa Inggris. Karena Rita cuma bisa berbahasa Jawa, Indonesia, dan bahasa Inggrisnya, jauh lebih lumayan ketimbang saya. Semoga ketika pulang nanti, Rita bisa memanfaatkan cas-cis-cus Inggrisnya. Siapa tahu bisa buka kurus bahasa Inggris.
Sekeluarga Singapura, satu babunya bisa dipastikan berasal dari Indonesia. Babu asal Philipina menjadi kemungkinan berikutnya. Tapi, jika satu kali Anda sedang shoping di Orchard Road, dan mendapati satu keluarga kecil Singapura sedang jalan-jalan dengan seorang perempuan udik berpotongan rambut laki-laki yang mengekor di belakang keluarga tersebut, bisa dipastikan itu babu asal Indonesia. Penampilan babu Philipina jauh lebih keren. Rambut indah panjang terurai. Bercelana jins dengan sepati hak sedang. Tak jarang lebih cantik dari sang majikan perempuan.
Saya tak tahu, kenapa setiap babu dari Indonesia ‘pasrah’ dipermak sedemikian udik: rambut potong pendek, celana tiga perempat, sendal jepit, plus kaus oblong ala kadarnya. Juga segepok tas dan macam-macam barang belanjaan di pundak mereka. Kalaupun berseragam abu-abu berpelesir biru tua, itu jelas seragam babu-babu. Jadi semakin nampak ke-babu-annya.
Sementara, babu Philipina nasibnya jauh lebih baik. Cantik-cantik mereka, modis, bermake-up enak dipandang, dan bisa libur setiap minggunya.
Saya tak paham, status sama-sama babu, tapi nasib babu Indonesia dan babu Philiphina kok begitu jauh berbeda. Mungkin, pemerintah mereka, Philipina, jauh lebih bermartabat untuk memohon kepada pemerintah Singapura, agar para babu dari negerinya Ferdinand Marcos diperlakukan selaiak manusia merdeka. Pemerintah Indonesia? Jangankan ngurus nasib para pahlawan pendulang devisa ini. Lha wong hobi mereka justru membuat sengsara mereka dengan segenap pungutan ini-itu.
Sttt…, saya sering dapati para pegawai kedutaan kita di negeri Singa, kongkow-kongkow di pub. Sembari di hadapannya tersuguh botol-botol red wine. Keren sekali penampilan mereka. Serba mahal. Serba mewah. Dan hahahaha…, ketika red wine disruput, mereka seolah lupa, hari demi hari babu-babu kita bertumbangan dihajar majikan, hamil di luar nikah, stres untuk kemudian memilih loncat dari gedung tinggi mengakhiri diri, atau tak jarang dijual dibeli selaiak red wine yang tengah mereka sruput.
Ini bukan fiksi! Kalau tak percaya, datang saja ke Singapura!
Eh…, bicara soal udik dan keren, saya punya pengalaman menjumpa seorang pengacara terkenal di Republik Indonesia ini. Tentu saja secara tak sengaja. Nama pengacara itu, tak usah lah disebutkan! Takut dianggap fitnah! Yang jelas salah satu kliennya, mantan penguasan negeri ini.
Ngeri…
Satu siang yang terik tahun lalu, saya dan istri saya (ketika itu masih berstatus pacar) tengah melongok-longok komputer di mal pusat elektronik Sim Lim Square. Ketika kami hendak menaik ke tingkat berikutnya dari mal itu dengan eskalator, beberapa undak di depan saya tampak seorang lelaki paruh baya, rambut kelabu, jalannya agak bungkuk, dengan gadis muda nan cantik yang saya taksir usianya tak lebih dari 25 tahun. Kedua tangan mereka bersatu dengan mesra. Pokoknya, asoy geboy gitu…
Udiknya, tas hitam besar yang tertenteng di pundak lelaki itu, si pengacara terkenal itu, menyembul aneka macam stik golf. Tampaknya bukan baru. Mungkin baru main golf dua tiga pukulan. Keringatnya saja terlihat masih belepotan.
Sepengetahuan saya, udik pemandangan seperti ini di Singapura. Sliwar-sliwir di mal surganya elektronik, malah ada yang nyombong pakek menenteng-nenteng stik golf. Terbuka lagi. Kalaupun ada, biasanya stik aman tersembunyi dalam tas khusus yang segede gedebok pisang. Atau minimal ditaruh di bagasi mobil sana! Biar nggak ngeganggu acara asoy geboynya!
Lha bapak satu ini? Sudah jalannya bungkuk, nenteng aneka macam stik golf pula! Apa tak berat Pak tua? Apa tak capek Pak Tua? Apalagi si gadis berbodi aduhai di samping sampeyan itu, duh… gemes aku lihat manjanya. Lihat lenggak-lenggok cara jalannya, lihat pantat merekahnya , juga kerling lirikan matanya. Yang sekali lagi: asoy geboy men…
Pikir saya, mungkin Pak Tua satu ini kurang gaul, dan masih menganggap golf sebagai olahraga kaum jetset, yang hanya orang-orang sepearti dia yang bisa melakukannya. Atau sebaliknya, mungkin Pak Tua ini terlalu gaul, sampai-sampai di pikirannya ada keinginan nyombong pada orang-orang Singapura,
”Ini lho, wong hebat dari Indonesia! Datang ke Singapura hanya untuk satu-dua pukulan golf!”
Padahal Pak Tua, jika sampeyan berakhir pekan di Batam, dengan mudah sampeyan akan mendapati pemuda-pemudi Singapura yang kerjanya di negeri mereka cuma sebagai pengantar pizza, namun bisa main pukul-pukul bola golf bersama pembesar-pembesar Batam. Kadang juga bersama pembesar-pembesar dari Jakarta yang katanya, lagi turba, turun ke bawah!
Diancok memang!
Apa komentar istri (ketika itu masih berstatus pacar) saya yang guru anak-anak autism saat saya ceritakan bahwa orang di depan kami adalah pengacara terkenal dari Republik Indonesia? “Seperti anak autis, ya bapak itu,” begitu kata istri saya.
Mendengar itu, kontan sakit perut saya. Ngakak tiada berkesudahan.