Lelaki 25-an tahun, begitu usai mengantarkan pesanan saya: seporsi ayam penyet, langsung duduk di bangku plastik di meja lain depan saya. Melanjutkan hisapan rokok lintingan yang ketika melayani pesanan saya tadi diletakkan di antara selempitan kaki-kaki besi meja lipat, kepala lelaki itu menggeleng-geleng ringan. Ritmis dengan hentakan kaki kanannya ke lantai. Selendang Sutra, lagu itu, memang melenakan.
Ini malam hampir di penghujung Jumat (30/3). Sebetulnya, kalau saya berpegang pada waktu setempat, waktu Singapura, beberapa menit lalu, hari Jumat sudah terlewat. Berganti dengan Sabtu (31/3). Tapi entahlah, setiap berada di negeri kota ini, saya tidak pernah mempedulikan waktu setempat. Saya lebih mengikuti waktu Indonesia Barat. Mungkin karena di kepala ini, jadwal kerja tak pernah benar-benar terlupa. Sialnya, saya harus selalu menghitung-hitung jadwal itu dengan WIB.
Lelaki itu masih terlihat melena. Selendang Sutra? Almarhum Ismail Marzuki mungkin bangga, lagu yang diciptakannya tahun 1946 itu, malam ini dinikmati dengan sempurna oleh seorang lelaki muda, bukan WN Indonesia, terlebih di sudut negeri tetangga. Disiarkan oleh radio Singapura lagi. Duh, sialnya Indonesia.
Lima tahun terakhir hidup di Batam, Indonesia, baru malam ini saya berkeroncong Indonesia dengan nikmat. Yang demikian, bukan karena saya penggemar keroncong. Bukan pula saya merindukan keroncong. Tapi semata-mata karena radio-radio di Batam, mulai dari mata memincing hingga memincing kembali, lebih doyan menyiarkan lagu-lagu baru beraroma baru. Yang lebih laku. Tidak salah memang!
Tapi mendengar Selendang Sutra di negeri orang, tiba-tiba memunculkan sentimentil nasionalisme. Apalagi jika mengingat, hidangan yang saya santap ini, sebenar-benarnya makanan Indonesia yang dikomersilkan untuk kemudian pelan-pelan ‘disingapurakan’ – seperti masakan-masakan tradisional dari berbagai daerah dan negara lain yang ironisnya, justru menjadi terkenal di sini – tanpa perlu ijin waralaba.
Ketika hampir seluruh perhatian negeri ini kepada Singapura hanyalah tersoal penyetopan penjualan pasir darat dan granit, sebuah Selendang Sutra dari Indonesia terkhawatirkan lepas tangan. Atau setidaknya terkomersilkan tanpa rakyat Indonesia mendapat apa-apa. Sebagaimana halnya hadiah ultah ke 26 saya dari istri tercinta: sebuah CD berisi foto-foto Singapura (saya saat itu lagi gandrung-gandrungnya dengan fotografi) dan lagu-lagu khas Singapura seharga 18 dolar Singapura. Yang ironisnya, salah satu lagu itu, adalah Bengawan Solo. Tidak ada nama Gesang di keterangan CD itu. Hanyalah kreator CD itu, sialnya lagi, berwarganegara Eropa.
Lelaki 25-an tahun itu buru-buru menyelesaikan hisapan terakhir rokok lintingnya, ketika seorang lelaki Tionghoa minta tambahan sambal. Lagu Selendang Sutra beberapa saat lalu telah tersudahi. Namun channel stasiun radio itu, masih tetap berkeroncong ria.
(yoh)