: Spiratone YS 18mm F3.5
Naik bus, hendak ketemu orang untuk bertransaksi, Selasa (25/72017) sore itu. Eh, pas lewat daerah Sengkang, Singapura, lihat banyak gedung baru berdiri.Saya putuskan turun beberapa halte sebelum tujuan, untuk jalan kaki sembari coba-coba lensa dagangan, Spiratone YS 18mm F3.5. Kebetulan, di tas ada itu lensa yang saya pasang dengan Sony NEX-C3. Karena mount Nikon, ya, perlu adapter untuk bisa “dikawinkan” dengan Sony NEX.
Beberapa hari sebelumnya, saya dapat lensa ini dari penjual lokal. Pemilik pertamanya, justru memasangkannya di body Leica M 240, dan saya agak penasaran, kok bisa-bisanya lensa “antah berantah” ini dipasangkan dengan kamera “wah” itu. Pasti ada yang istimewa. Akhirnya, setelah mengontak penjualnya, saya membelinya dengan harga yang “masuk akal”, tidak terlalu murah memang, tapi saya cukup puas dengan kondisinya yang sangat baik. Terutama optiknya.
Desain body-nya yang full metal, membuat lensa ini terasa kokoh dan mengingatkan dengan lensa-lensa manual lama buatan Tokina. Tak banyak yang mengulas lensa Spiratone ini, banyak yang menyebut lensa ini sepabrik dengan Sigma. Tapi, bagi saya tak penting ini lensa buatan mana.
Seringkali, saya mencari dagangan bukan hanya mempertimbangkan faktor untung semata. Karena hobi fotografi, banyak dagangan justru saya pilih karena “saya ingin cobanya” saja. Itulah kenapa sering rugi, dan ndak kaya-kaya kayak teman-teman sesama pedagang yang sudah pada punya mobil dan rumah mewah. Hehehe (bercanda).
Saya setting di white-balance auto, nyaris semua apartemen-apartemen yang baru dibangun itu saya jepret di bukaan F/8 dan F/11. Dua bukaan yang saya pikir sudah cukup memberi ketajaman bagi performa lensa yang harga pasarannya tak lebih dari $200 dolar ini. Jika saya paksakan di bukaan lebih kecil, kecepatan/speed akan berkurang, dan ini sedikit membahayakan, mengingat ISO saya stabilkan di 200, serta semua pemotretan tanpa tripod. Ini lensa manual lagi, untuk mata pria perokok yang usia hampir menembus 40 tahun dan gila baca buku seperti saya, jelas sangat tidak nyaman. Untungnya, kamera mirrorless buatan Sony memberi banyak kemudahan pemakaian lensa-lensa manual.
Jeprat-jepret di Sengkang beres, tiga hari berikutnya baru saya punya kesempatan buka hasilnya. Hmmm, tidak terlalu tajam ini lensa, distorsinya juga cukup mengganggu. Namun yang memberi KEJUTAN, foto-foto yang dihasilkan Spiratone 18mm, agak terasa “oldish”, dengan kontras warna tak jarang sedikit mencolok satu dengan lainnya. Nuansa “pastel” yang mengurapinya, malah membuat foto-fotonya mirip hasil dari kamera film. Mengingatkan saya pada hasil-hasil dari foto digital keluaran Ricoh. Sebagai catatan, sebelumnya saya memakai Ricoh GRD III, IV, dan Ricoh GR yang bersensor APSC.
Selain KEJUTAN tadi, nilai lebih lensa ini, justru ada pada jarak fokus terdekat. Dengan kamera Sony dan adapternya, saya mengukur jarak fokus terdekat antara obyek dengan optik depan kurang lebih 6 sentimeter. Jarak sedekat ini, memungkinkan kita bisa memanfaatkan lensa ini sebagai “lensa macro”. Bokeh yang dihasilkan dengan jarak fokus sedekat ini, juga lumayan creamy, dengan background yang masih memungkinkan untuk “memberi tambahan cerita”. Tentu saja, jangan disamakan dengan bokeh creamy-nya lensa-lensa dengan bukaan besar semisal F1.8 ke atas.
Selamat menikmati foto-foto saya.
NOTE: semua foto sekedar diresize dan di-autokan levellingnya di Photoshop.