: Rindu Singapura pada Pengemis.
Di depan mall bernama JEM di daerah Jurong, saya melihat seorang pria menjual tisu. Tubuhnya tambun, satu kakinya diamputasi. Tisu dagangannya diletakkan di satu nampan di atas kursi roda elektrik, yang di sampingnya ada sekantong kain untuk meletakkan uang. Gerakannya kurang cekatan, karena itu, pembeli bisa mengambil kembalian sendiri, jika ingin membeli.
Saya, sore itu di Januari 2017, tidak ingin membeli tisu, karena di tas masih ada beberapa bungkus. Karena iba, saya sodorkan selembar uang kepadanya, dan memberi isyarat “tidak mau” ketika pria itu menyodorkan tisunya. Ndilalah dia marah. Masih dengan isyarat tangan dan mimik wajahnya, memaksa saya untuk menerima tisu yang disodorkannya. Bahasa tubuhnya seolah-olah mengatakan pada saya, “bahwa saya bukan pengemis! Tidak butuh dikasihani”.
Pada akhirnya, saya terpaksa menerima tisu. Hati ini yang semula diliputi rasa iba, tiba-tiba diselimuti perasaan dongkol dan jengkel. Hati yang sebelumnya “empuk”, tiba-tiba “mengeras”. Suatu perubahan yang sebetulnya tidak saya harapkan, karena itu akan mengganggu niatan awal saya. Bukankah hati adalah letak dari segala sari kehidupan?
***
Di Republik (Indonesia maksudnya) ini, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, cara pandang masyarakat terhadap pengemis betul-betul telah berubah. Dari yang semula banyak yang memakai cara pandang “hati”, kini telah berubah menjadi “otak”. Bahkan tak jarang memakai cara pandang “dengkul”.
Bahkan ada gerakan “dilarang memberi pengemis” di banyak kota di Indonesia. Yang, BAGI SAYA, gerakan ini, justru akan mengesampingkan keunikan kita sebagai “binatang yang berpikir”. Menjerumuskan kita menjadi semakin “binatang doang.”
Tidak ada seorangpun di dunia, dilahirkan ingin jadi pengemis. Setidaknya, tidak ada orang yang ingin dianggap “bermental pengemis”. Ini premis yang harus dipegang untuk memahami tulisan saya ini.
Tapi, ketika di jalanan di Indonesia pengemis semakin banyak, itu membuktikan ada yang salah dengan cara hidup bermasyarakat kita? Ada yang salah dengan cara pengelolaan negeri yang kaya raya ini.
Dan perlu diingat, pengemis, seharusnya tidak hanya mereka-mereka yang “mengengadahkan tangan” di lampu-lampu merah. Lebih KURANG AJAR adalah mereka yang berpenampilan parlente, wangi, rambut klimis, jam tangan mahal, tapi masih hidup dengan nodong (baca: ngemis) sana-sini. Bisa nodong dengan organisasinya, nodong dengan profesinya, nodong dengan partai politiknya, nodong dengan massa-nya. Dan pengemis parlente inilah yang lebih merusak.
Ketika ada gerakan “jangan memberi pengemis (di jalanan)”, di waktu bersamaan kenapa tidak ada gerakan dilarang memberi pengemis parlente? Republik ini, benar-benar luar biasa uniknya.
Oke, saya akan mempersempit ruang dengan membahas pengemis jalanan, dan kenapa kita SEHARUSNYA mencintai mereka. Mencintai pengemis yang selalu buruk rupa, yang selalu dihina-dina, diancam dengan aneka pasal pelanggaran, masih juga diburuk-sangkai sebagai pemalas dls. Pengemis, seperti halnya pelacur, perampok, koruptor, kyai matre, “seniman PNS”, wartawan bodong, adalah PENYAKIT MASYARAKAT yang ditimbulkan dari masyarakat yang sakit. Masyarakat yang sehat, tentu tidak akan menghasilkan penyakit masyakarat. Semakin banyak penyakit itu, semakin sakit pula masyarakatnya. Ini indikasi logis dari kehidupan sosial. Cara terbaik memberantas pengemis, adalah dengan memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Bukan mengeluarkan aneka perda! Apalagi menggelar razia Satpol PP!
Pernahkah Anda menangis melihat sebuah adegan film (atau sinetron) yang memang menyentuh hati? Jika iya, berarti Anda masih manusia! Begitu pula ketika Anda melihat pengemis di jalanan di Republik ini. Tentu saja tidak ada orang yang memaksa kepada Anda untuk memberi uang, tapi SETIDAKNYA – seperti menonton film sedih – Anda bisa memetik pelajaran dari apa yang Anda lihat. Anda bisa mengetahui betapa “mental tidak mengemis” adalah sesuatu yang sangat berharga. Betapa Gusti Allah begitu pemurahnya pada Anda, hingga Anda tak perlu menjadi pengemis seperti mereka. Betapa Anda harusnya berbagi sebagai bentuk rasa bersyukur. Dan, betapa…, betapa… yang lainnya, yang justru akan menjadikan Anda semakin manusiawi.
Semakin Anda sering melihat pengemis, walau tidak memberi, setidaknya Anda bisa semakin bersyukur. Hati Anda bisa semakin “empuk”. Jiwa Anda akan semakin “kaya” dengan iba. Untuk hal inilah, saya benar-benar merindukan Indonesia, karena semakin lama tinggal di Singapura, hati saya semakin “mengeras”. Mengingat susahnya menemukan pengemis.
Ada sih, kadang-kadang, insidental. Atau bahkan kadang, misalnya seusai shalat Hari Raya, banyak pengemis dadakan. Dan biasanya datang dari Batam.
Di Singapura, mengemis memang dilarang. Di sini, menjadi miskin adalah pilihan, atau akibat dari kemalasan/gaya hidup yang mereka pilih. Pemerintah di sini, memberi kesempatan semua orang, semua golongan, semua suku bangsa dan agama, serta tak peduli bapak Anda siapa, untuk bisa hidup baik, hidup layak, hidup kaya. Asal Anda mau sekolah, rajin, mau bekerja, Anda bisa menjadi apa saja. Kondisi inilah yang kemudian membuat pengemis dianggap tabu. Di sini, kalau Anda gagal dalam hidup, atau cacat fisik, atau hidup menderita; Anda bisa datang ke pemerintah minta bantuan. “Mau dibantu setengah, atau seluruhnya? Terserah, tapi jangan mengemis ya!”, kira-kira itulah yang dikatakan Pemerintah Singapura pada masyarakat kurang mampu mereka.
Sebagai pengganti mengemis, orang yang kurang mampu biasanya diizinkan menjual tisu, atau mengamen. Khusus untuk mengamen, agar tidak terjadi booming pengamen dan persaingan tidak sehat, setiap pengamen wajib mengantongi izin mengamen di satu tempat. Jika dilanggar, pengamen lainnya bisa melapor. Dan pengamen ini, justru kadang menjadi atraksi asyik warga atau turis. Mengingat skil dan kemampuan mereka bermain musik/atraksi, sangat baik dan mengagumkan.
Situasi Indonesia dan Singapura jelas berbeda. Di sini, ketika pemerintah mengeluarkan larangan, mereka juga sekaligus mencarikan solusi. Mencarikan cara terbaik sebagai penggantinya. Di Indonesia belum pada titik demikian. Larangan kerap terlanggar, karena memang tidak ada solusi langsung yang ditawarkan, tidak ada pemecahan. Buntu. Dan akhirnya, jalan satu-satunya untuk bisa bertahan, ya melanggar! Kerena itulah, di Indonesia, mari mencintai pengemis. Semakin kita mencintai, saya yakin, semakin mereka tidak ada.
Bukankah, semakin banyak menyebar cinta, jauh lebih baik dari sebaliknya??!!! Tak peduli pada siapa pun saja.
Mari bercinta!
*) Keterangan foto: jika Anda pernah ke Chinatown Singapura, Anda mungkin akan ketemu bapak pengamen ini. Sudah bertahun-tahun beliau mengamen. Mengantongi izin mengamen di sana. Dia seorang ramah, kerap diajak berfoto dengan para turis.