Apa yang ada di benak Kadir Ismail ketika itu? Ekspresinya begitu menyiratkan kekaguman: dengan senyum tipis terkulum dan mata bebinar yang tak pernah lepas dari obyek tatapannya, Dahlan Iskan. Apa yang ada di benak Bos Kadir ketika itu? Setulus kekagumankah? Atau ketundukan anakbuah atas bos besarnya? Entahlah. Yang jelas Rida K Liamsi (nama beken Bos Kadir) dan Bos Dahlan, kedua-duanya “bos awang-awang” saya.
Maksud saya dengan “bos awang-awang”, bos yang mustahil mengenal saya. Rida adalah pejabat eksekutif tertinggi (baca: CEO) Riau Pos Group. Sementara Dahlan adalah CEO Jawa Pos Group. Saya? Tukang edit di koran kecilnya Rida dan Dahlan: Posmetro Kepri.
Sebulan terakhir ini, kedua-duanya meluncurkan buku. Bos Rida dengan novel Bulang Cahaya-nya, dan Bos Dahlan dengan Ganti Hati-nya. Dan saya, selalu kagum dengan siapa pun yang menulis buku. Tidak hanya bisa berkata-kata. Tidak hanya bisa memerintah! Juga, tidak hanya bisa main pecat selaiaknya seorang bos.
Ketika bedah buku Bos Rida di auditorium Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), 21 November silam, saya berkesempatan ada di sana. Menemani HAH yang juga bos kecil saya untuk menemani Rida membedah novelnya. Begitu juga ketika Bos Dahlan mengodol-odol isi bukunya di aula Goodway Hotel, Batam, 18 Desember kemarin.
Ketika di UI, pantat saya enggan untuk menempel kursi. Sibuk jepret sana-sini mengabadikan Bos Rida beraksi. Sampai-sampai tak setitikpun kata-kata yang membekas di benak saya. Di Goodway sebaliknya. Saya seolah disihir siul “si ciblek” Dahlan. Kata-katanya sesederhana kicauan ciblek. Gerakannya selugas ciblek. Penampilannya juga tak lebih nyantai dari ciblek, burung favorit saya. Dua setengah jam pembicaraannya, saya hanya sesekali beranjak dari kursi untuk memfoto ala kadarnya. Karena saya tak ingin ketinggalan menikmati kicauannya.
Di Goodway dengan disaksikan ratusan pasang mata, Dahlan tampil memukau. Masih dengan pakaian ala kadarnya seperti ketika kerap nyelonong ke lantai III Gedung Grahapena Surabaya, tempat dulu saya sempat kerja. Celana dan jaket hitam kedodoran, plus sepatu kets murahan tetap melekat di tubuhnya. Dahlan tak pernah terlihat kehabisan kata dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan audien. Selincah dia mengumbar kosokata dalam tulisan-tulisannya. Sederhana namun mengena. Lugas dan pintar berkelit. Sama sekali tak menunjukkan keangkuhannya sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan hampir US$ 172 Juta.
Okelah! Jika tulisan ini saya teruskan, saya khawatir hanya akan menjadi ajang puji-pujian pada dua bos saya itu. Khawatir nanti rekan-rekan kerja saya menganggap saya menjilat-jilat pantat mereka (uek…, emang enak jilatin pantat lelaki). Yang saya maksudkan, saya tidak kagum pada Rida maupun Dahlan karena jabatannya sebagai bos saya. Saya juga ogah bertekuk lutut pada mereka karena membayangkan kekayaan mereka. Saya hanya sangat terkesima pada keduanya (juga pada HAH dengan Orgasmaya-nya), hanya karena mereka menulis buku. Mencipta buku.
Pah Rida, juga Bos Dahlan, tunggu pembalasan saya! Tunggu pula buku-buku saya! Biar saya tak usah kagum lagi pada Anda-anda sekalian.