: Ken & Tukang Sol Sepatu
April 11 pagi, bapak kesiangan berangkat kerja. Jarum jam di dinding rumah kita menunjuk angka 12.30 waktu Batam. Dengan motor kreditan, bapak berangkat dengan doa yang masih tertahan di tenggorokan. Entah, apakah di keadaan yang seperti sekarang ini, bapak berhak berdoa kepada Tuhan bapak? Terlalu banyak pengkhianatan yang bapak lakukan pada Tuhan bapak. Terlalu banyak.
Sebelum bapak bicara soal pengkhianatan, bapak ingin menjelaskan, kenapa bapak tambahi dengan “waktu Batam” pada kalimat “Jarum jam di dinding rumah menunjuk angka 12.30 waktu Batam?” Karena hingga saat ini, ketika mata bapak tercatut di jarum-jarum jam, otak bapak selalu harus berbagi citraan. Jarak kita hanya 22 mil membatas laut, namun ketika bapak masih nyenyak tidur, ibumu harus sudah siap-siap dengan pekerjaannya. Mandi, ganti baju, berdandan, berlarian mencegat bus, naik turun lift di stasiun, naik mass rapid transport, turun dan ganti kereta, naik-turun lift lagi, hingga akhirnya sampai di sekolah tempatnya mengajar. Begitu tiap hari. Sama seperti bapak yang tiap hari harus menghadapi berita-berita omong kosong yang tiada habisnya. Di Singapura, jarum jam berlari satu jam lebih cepat dari seharusnya. Di Singosari, jarum jam tiada arti selain alat penunjuk, waktu sholat telah tiba. Di tanah kelahiran ibumu, waktu adalah uang, di tanah kelahiran bapak, waktu sebisa mungkin dibunuh!
Ibumu, juga aku, di hari-hari yang membosankan, selalu beromong kosong soal impian kami: mengelilingi dunia. Menumpang kereta api dari Pasir Panjang, Singapura, kami bermimpi bisa mengarungi Malaysia. Menyebrang Thailand, Vietnam, China, hingga Asia Tengah, kemudian mendarat di Eropa Timur. Melewati perjalanan darat, tujuan impian selanjutnya adalah Eropa Barat.
Tapi tak tahu, kapan impian itu bisa kami laksanakan. Di setiap kami berdua, kami selalu tidak bosan membuka peta. Menunjuk tempat-tempat indah yang ingin kami kunjungi. Nepal, Katmandhu, Mekkah, Jerusalem, adalah sedikit tempat yang ingin kami kunjungi. Tentu saja bersama kamu, Kenny! Kita bertiga. Alangkah indahnya.
Ibumu adalah pejalan kaki tangguh. Wanita tertangguh yang bapak kenal. Di usianya yang sangat belia, ibumu seorang diri sudah mendaki Himalaya. Tidak sampai setengahnya memang. Dia juga sudah menjejakkan kaki di gurun Australia. Menikmati pantai Timor-Timur di antara desingan senjata. Mereguk kebrengsekan Amerika Serikat, serta bertungkus lumus dengan bocah-bocah Indonesia yang dari hidung mereka meleler ingus-ingus hijau.
Dia menikmati setiap perjalannya. Bersama bapak, daerah-daerah paling berbahaya di Jawa, Kalimantan, Bali, dan sebagian Sumatera, telah kami lalui. Tapi bapak selalu merasa bukan siapa-siapa ketika bersama dia. Ibumu terlalu tangguh. Sangat tangguh.
Hingga akhirnya, perjalanan harus kami sudahi – atau tepatnya kami kurangi – oleh sebuah pernikahan yang sangat sederhana. Pernikahan berbiaya 48 dolar Singapura. Tapi sehari setelah kami menikah, kami sudah tercatut dalam ingar-bingarnya jalanan Kota Kinabalu, Malaysia. Bulan madu atau entah apa namanya, kami habiskan di jalanan Kota Kinabalu. Sebuah perjalan terakhir sebelum kau mengada.
Apakah bapak berkhianat dengan impian bapak sendiri, Nak? Mungkin iya. Dan bapak telalu banyak berkhianat. Pagi tadi, ketika bapak berangkat kerja, sesosok Lelaki Paruh Baya mengingatkan bapak untuk tidak meneruskan pengkhianatan ini. Lelaki itu, Tukang Sol Sepatu asal Purwakarta, adalah sebenar-benarnya pejalan kaki tangguh. Berpeci daun pandan yang melindungi wajahnya dari sengatan teriknya matahari Batam, Lelaki itu duduk di kotak sol sepatunya, di bawah beringin di halaman gereja orang-orang Batak, di Kompleks Legenda, Batamcentre. Tidak ada yang ia kerjakan selain berteduh dan melamun seorang diri. Tanpa sedikitpun mempedulikan orang-orang maupun kendaraan yang lewat di jalan depan gereja berdinding papan itu. Dia membuka topi dan mengelap peluh dengan jari-jemarinya yang kokoh, ketika bapak lewat tanpa sapaan.
Bapak kenal Lelaki itu. Beberapa hari sebelumnya, bapak panggil dia ketika lewat di rumah kontrakan bapak. Sol sepatu bapak sedikit terkelupas, dan bapak memerlukan keahlian Dia untuk membenahi sepatu bapak. Dengan sogokan secangkir kopi dan sebatang rokok, bapak tahan dia untuk menceritakan secuil kisah hidupnya. Secuil perjalanannya.
Dalam secuil kisahnya itu, dia sempat menceritakan soal tiga anak dan seorang istrinya yang tengah menunggu dia di sebuah kamar kos-kosan bertarif Rp400 ribu sebulan di bilangan Baloi. Satu kamar untuk lima orang? Bayangkan Kenny! ”Enam anak saya sebenarnya. Tapi yang tiga saya tinggal di Jawa. Yang tiga lagi, terlalu kecil untuk jauh dari kedua orangtuanya,” kata Tukang Sol itu, yang sayangnya bapak lupa menanyakan siapa nama dia.
Dengan memanggul dua kotak kayu tempat menyimpan peralatan sol, dalam satu hari Bapak Paruh Baya itu bisa berkeliling separuh Batam dengan jalan kaki. Sambil berteriak-teriak di sepanjang perjalannya, menawarkan jasa perbaikan sepatu, Lelaki itu sungguhlah seorang pejalan kaki yang tangguh. Kulitnya hitam terbakar. Kedua kaki dan lengannya kokoh oleh urat-urat yang bertonjolan. Matanya yang selalu sayu memandang apa pun, tak bisa membohongi, bagaimana dia menanggung beratnya menjalaini sebuah perjalanan.
Sialnya, dia sama sekali tidak mengeluh, Nak! Tidak! Bahkan dia tegas mengembalikan uang kembalian, ketika bapak kasih lebih ongkos perbaikan sepatu bapak. Bapak kehilangan akal membayangkan kehidupannya. Sama hilang akalnya ketika mengingat banyak kenalan bapak, rekan kerja bapak, yang justru bangga dan teriak-teriak kegirangan ketika mengemis belas kasih dari orang-orang yang mereka anggap pembesar. Menaiki mobil hasil mengemis. Belanja jins hasil mengemis. Atau nongkrong ngopi di Godiva dengan uang ngemis.
Pengemis tetap pengemis, sekalipun yang memberi sedekah adalah seorang presiden Republik Indonesia yang banci itu! Dan pejalan kaki tangguh seperti Lelaki Paruh Baya itu, telah menyadarkan bapak untuk tidak lagi berkhianat terhadap mimpi-mimpi yang ibu dan bapakmu inginkan.
Kenyamanan sanggup melahirkan wanita pejalan kaki tangguh seperti ibumu. Kemelaratan juga terbukti mampu melahirkan sosok-sosok lelaki paruh baya Tukang Sol Sepatu itu. Jadi, tak ada alasan kau untuk tumbuh dan membesar menjadi lelaki lemah! Kau lelaki yang kuat, Ken! Bahkan ketika kau masih di dalam kandungan, kami, kedua orangtuamu tahu, kau bakal menjadi lelaki yang sangat kuat.