: Ken Danish Yohana Chua
Hari di mana bapak bertemu ibumu adalah hari yang biasa. Ketika itu September, 2001. Setelah pertemuan yang tak berkesan itu berkesudahan, terhapus juga wajah ibumu di otak bapak. Di kepala bapak ketika menyerahkan sesobekan kertas berisi nomor telepon rumah bapak, mana pula lelaki kurus, kumal, miskin, seperti bapak sanggup menarik perhatian seorang wanita Tionghoa macam ibumu. Jadi, selanjutnya, bapak lupakan sejumput harapan, kelak ibumu akan menghubungi bapak.
Berbilang hari setelah pertemuan pertama di Auditorium IKIP Malang, bapak kembali menjadi mahasiswa kampungan: Menggimbal rambut untuk menarik simpati siapa pun orang. Bersarung dan berkaus oblong penuh sobekan di kelas untuk membuat jengkel para dosen. Demo sana-sini. Mencorat-coret kaus yang lengannya bapak potong dengan cat kayu. Menenteng-nenteng segepok buku-buku sastra-filsafat tebal yang sebetulnya enggan bapak cerna isinya. Dan segenap kekampungan ala mahasiswa yang menerbitkan tawa ketika bapak mengenangnya, saat ini.
Berbilang hari itu, benar dugaan bapak, tak ada telepon dari ibumu. Ah, mari kita lupakan sesuatu yang menggembirakan itu! Kembalilah ke dunia di mana kau mengada!
Karena bapak mengada dengan kekampungan bapak. Menyenangkan menjadi lelaki kampung, Kenny! Sangat menyenangkan. Udara Malang yang begitu menggigit dan basah, mendukung bapak untuk melanjutkan kekampungan itu. Satu kegemaran bapak yang belum bapak ceritakan: berjalan di rerintik hujan. Romantis, mungkin? Atau justru sangat kampungan. Hahaha.
Hujan di Malang, datang seperti berondongan peluru pasukan Amerika yang membumihanguskan rakyat Irak di dua perang akbar itu. 1.883 milimeter per tahun, volumenya. Ketika hujan itu turun, otak bapak seolah tak mampu melawan kegairahan sel-sel syaraf bapak yang minta diguyuri hujan. Di dalam kelas sekalipun ketika hujan turun, bapak akan keluar, memasang jaket parasit kedap hujan, merapatkan boat tua warisan kakak ipar. lalu, berjalan kaki lah bapak di antara rimbunan rintik hujan itu. Berondongan hujan yang menjatuh di kepala bapak, bagaikan belaian lembut tangan seorang ayah yang sebelumnya tak pernah bapak nikmati.
Di situasi yang seperti itu, kedua kaki bapak akan sanggup berjalan mengelilingi kota Malang. Dari kampus bapak di Jalan Surabaya, bapak akan memotong jalan menuju Jalan Ijen yang elok oleh tetumbuhan palem dan rumah-rumah tua peninggalan Belanda. Belok ke kiri melewati Jalan Semeru, pandangan kita pasti tercatut kepada Stadion Gajayana yang mashur itu. Di situlah klub kesayangan bapak, Arema, bertungkus lumus mengharumkan sepakbola Malang di kancah Nasional. Di ujung Jalan Semeru, tepatnya di perempatan Jalan Basuki Rachmat, bapak biasa belok kanan, menuju alun-alun Malang. Menyusur Jalan Kayu Tangan yang kanan-kirinya kini berisi gedung-gedung angkuh tak bernyawa, sepuluh menit kemudian sampailah bapak di alun-alun dengan empat beringin raksasa di setiap pojoknya. Bapak akan memilih satu tempat duduk yang agak teduh untuk berhenti sejenak dan menyulut sebatang rokok kretek. Seorang diri bapak kemudian menikmati hujan dan gigitan udara Malang. Seorang diri bapak menyesapi kekampungan bapak. Seorang diri, bapak berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan bayangan ibumu, wanita singa itu, Joanne Chua itu.
Terkumpulkah bayangan ibumu? Belum! Hujan ternyata tak sudi membantu bapak mengumpulkannya. Tapi setidaknya, rentetan hujan kerap membuka kebodohan bapak. Di hari-hari yang penuh dengan warna kampungan itu, bapak kerap mengumpulkan kisah-kisah melenakan. Ketika bapak kesulitan menyusun satu bagian dari kisah itu, bapak kemudian memaksakan diri membuka buku-buku yang sering menemani bapak berjalan. Atau sekedar bertanya pada penjual parfum kakilima yang banyak berserakan di alun-alun tentang bagian itu. Menelisik rak-rak buku di Gramedia, mencari bagian itu. Secara tak sadar, bapak dipaksa belajar. Dengan apa pun, dengan siapa pun. Seorang diri. Hingga datanglah petang yang tak terduga itu.
Petang itu tidak hujan, sayang! Langit biru, udara sesak, dan bapak bersama dua rekan bapak mencoba mengusir kebosanan dengan jalan kaki dari kampus ke alun-alun kota Malang. Ketika kami tengah duduk di trotoar sembari menikmati kegelisahan, melengganglah sepotong langkah kaki kecil milik seorang wanita, ibumu. Sosok yang sudah terhapus dari ingatan bapak.
Bapak kejar langkah itu. Dari belakang, bapak tarik tas tenteng hijau-hitam yang ia tenteng di pundak kanannya. Ibumu menoleh, untuk sesaat gelagapan. Bapak dikira copet. Dikira lelaki kurang ajar. Dan, nyaris saja bapak diteriaki penjahat.
Dia tak mengenal bapak. Untuk beberapa saat, muncul ketakutan di wajah ibumu ketika melihat bapak. Entah penampilan bapak yang sangar atau dia yang sudah betul-betul lupa dengan wajah bapak. Baru setelah bapak nukilkan sejumput malam di auditorium IKIP Malang, beberapa waktu silam, dia ingat. Dia tertawa, bapak juga, dan selanjutnya kami berempat mendaki malam, menyusuri jalan-jalan kota Malang bersama. Menikmati jagung bakar. Kopi tubruk. Tertawa bersama oleh ulah bencong-bencong di Stasiun Kota Baru.
Tapi, setelah petang yang cerah itu, telepon dari ibumu tak juga kunjung datang. Bapak tak juga menghubungi nomor HP di kartu nama yang dia berikan. Mungkin karena bapak ketika itu masih terlalu kampungan. Masih terlalu memikirkan diri, bahwa berjalan-jalan di bawah rerintikan hujan, seorang diri, adalah hal ternikmat yang bisa bapak kecapi.
Hingga, beberapa waktu berikutnya, seorang kawan bapak datang dengan sebuah permohonan. Kawan itu, Wukir, seorang pemusik, ingat bahwa satu-satunya kaset rekaman dia yang tersisa ada di tangan bapak. Dia ingin menghadiahkan kaset rekamannya – sebuah album indie bersampul biru dengan judul Bendera Hitam Setengah Tiang – pada Joanne. Dan, bapaklah yang diminta untuk mengantarkan kaset itu kepada ibumu.
Sebuah pertemuan yang menentukan. Seorang diri, kemudian bapak datang ke tempat tinggal ibumu: sebuah bilik luas yang menyenangkan, di antara sederet bangunan panti asuhan dan sekolah untuk anak-anak cacat. Yayasan Bhakti Luhur. Kuserahkan kaset itu, kemudian, berceritalah kami dengan nikmatnya. Ditemani kopi tubruk dan aneka gorengan yang dibeli di kaki lima depan gedung panti asuhan, bapak baru tersadar, nomor telepon yang bapak berikan kepada ibumu salah angka.
“Aku berkali-kali menghubungimu, selalu salah sambung. Selalu saja ada suara yang mengatakan salah sambung,” kata ibumu dengan suara renyahnya. “Aku hanya ingin ada seseorang menemaniku ketika jalan-jalan di kota ini. Waktuku sangat singkat di sini. Dan aku tak ingin melewatkan sedikitpun untuk belajar mengenal kota ini. Kotamu indah. Aku jatuh cinta dengannya. Juga dengan orang-orangnya,” ia melanjutkan.
Kau mungkin bisa menebak kisah selanjutnya, Ken! Ya, sejak pertemuan itu, dimulailah sebuah kisah baru bernama percintaan. Antara aku dan ibumu. Antara dua singa.