: Ken Danish Yohana Chua
Dan, Kenny, dimulailah percintaan dua singa, dua negara berbeda. Bapak yang dari Singosari, dan ibumu yang bertumpah darah Singapura. Kisah cinta dua kepercayaan yang selama hampir 1.400 tahun selalu bertempur dalam ketidakdewasaan. Bapak yang Islam, dan ibumu yang Nasrani. Sebuah cinta yang sanggup menghancurleburkan kekolotan bapak atas semua hal yang sebelumnya bapak yakini, bapak amini.
Sebelum kisah ini berlanjut, bapak ingin jelaskan kenapa bapak lebih memilih mengatakan berasal dari Singosari ketimbang mengaku dari Indonesia? Atau setidaknya mengaku berasal dari Kota Malang? Dari Jawa? Karena di kepala bapak sekarang, tak ada negara bernama Indonesia. Institusi bernama Indonesia, bagi bapak hanyalah sebuah mesin pemerkosa hak-hak rakyat Nusantara – satu di antaranya hak rakyat Singosari – untuk kemudian dibagikan kepada “pemilik” nama Indonesia itu sendiri. Banyak orang kerap mengaku berhak memiliki Indonesia, berhak melakukan apa pun dengan Indonesia, berhak mencuri apa pun dari Indonesia, dan mengotori Indonesia dengan tinja-tinja mereka yang luar biasa busuk.
Lihatlah apa yang dilakukan para pemimpin bangsa ini, anakku? Lihat pulalah dengan apa yang dilakukan wakil rakyatnya? Penegak hukumnya? Pekerja persnya? Pengusaha-pengusaha nakalnya? Jalan-jalan dibiarkan berlubang, sementara mereka asyik melenggang dengan mobil mewah yang dibeli dari pajak rakyat! Bermandikan dingin udara dari AC, berkemeja Polo Ralp Lauren seharga SGD 1.800 sambil menghisap cerutu dari Havana. Dari mobil mewah mereka, “pemilik-pemilik Indonesia” itu berteriak soal kesengsaraan!
Air yang berlimpah dimonopoli, untuk kemudian dijual dengan harga yang mencekik rakyat. Minyak subsidi diselundupkan. Beras “dihilangkan” agar ada peluang “bermain” di impor beras. Hutan ditebas dan dibakar, gedung-gedung dibangun dengan membabi-buta, menghadirkan sengsara berupa banjir, longsor, wabah penyakit, kematian, dan rasa sakit yang menggigit.
Ketika penderitaan itu terjadi, apakah bapak berhak malu untuk tidak mengaku sebagai orang Indonesia? Berhak, tentunya! Meskipun dianggap sebagian orang, bapak seorang yang romantisme feodalis, tidak nasionalis, bapak lebih senang mengaku sebagai orang Singosari. Sebuah kota kecil bekas pusat Kerajaan Singosari yang mashur itu. kerajaan yang pernah menaklukkan kota asal ibumu, Singapura! Bahkan juga Malaysia, Siam, Philliphina.
Okelah Kenny! Lupakan saja kesengsaraan itu! Bukankah penderitaan adalah kebahagiaan itu sendiri. Kita bahagia, karena memiliki penderitaan, merasakannya. Terlibat di dalamnya. Itu setidaknya yang diyakini Robin Willams di film satir nan konyolnya Moscow on the Hudson.
Kau lanjutkan saja menyimak kisah cinta bapak! Seperti umumnya sejoli yang tengah bercinta, ya, seperti itulah kisah cinta kami, Kenny! Bertemu, jalan-jalan, bercanda, ciuman, berbagi cerita, tertawa, kadang menangis, dls. Tapi hal-hal mekanis seperti itu tidak akan bapak ceritakan. Ada banyak kisah lain yang jauh lebih menyenangkan. Maka itu, dengarkan! Dengarkan!
Ada satu kekhawatiran orang-orang yang bapak baca ketika bertanya soal kamu, Kenny! Yakni, akan beragama apa kau kelak! Islam seperti bapakmu? Nasrani mengikut ibumu? Taoisme mencontoh nenek-kakekmu? Atau Atheis seperti paklikmu Clement? Tentunya, bapak akan sangat bahagia jika kau nanti memeluk Islam. Tapi bapak tidak apa-apa jika kau memilih yang lain. Rahmat dan syafaat bukan hak bapak. Itu mutlak preogratif Tuhan. Bapak hanya bisa mendendangkan syahadat, juga puji-pujian di kedua telingamu.
Kekhawatiran mereka adalah hal yang wajar. Ketika Tuhan menciptakan mana yang baik dan mana yang benar, banyak orang lebih memilih yang benar saja. Tanpa peduli, yang benar kadang tidak baik. Yang benar kadang tidak benar. Karena benar adalah sangat relatif.
Dulu ketika di Malang, ibumu selalu senang mengajak bapak mengikuti kegiatan sukarelanya. Mengajar anak-anak yatim di madrasah dan masjid-masjid. Menyambangi anak-anak jalanan. Datang ke rumah-rumah orang tak punya. Bercanda dengan pedagang-pedagang kaki lima. Menyisihkan sampah plastik dan kaleng di tempat berbeda untuk kemudian diberikan kepada ibu-ibu pemulung. Dia melakukannya karena itu baik. Tak peduli yang disambangi adalah bocah-bocah atau orang-orang Islam. Tak peduli mereka menyembah apa. Yang jelas, dia melakukan itu, karena itu sebuah aktivitas yang baik. Sebagian orang mungkin menganggap apa yang dilakukannya tidak benar! Tapi sekali lagi, itu adalah sebuah hal yang baik.
Bapak kemudian berpikir keras soal baik dan benar. Di kepala bapak, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sangat sederhana namun banyak orang takut mencari jawabannya: Apakah Tuhan sekejam itu menempatkan orang sebaik seperti Bunda Theresa di neraka, dan memasukkan ke dalam surga yang asri koruptor-koruptor yang menyengsarakan rakyat Indonesia? Hanya karena yang satu dianggap baik dan yang satunya dianggap benar? Berhak ditempatkan di sorga kah orang yang berhaji dari uang korupsi?
Pembelajaran itu datang dengan sangat alamiah. Ketika bapak sholat, ada banyak pelajaran yang sangat menyenangkan dari kegiatan sholat itu. Berserah diri dengan ikhlas, sembari menelisik diri, apakah ada hal buruk yang dapat membatalkan sholat bapak? Apakah makanan yang bapak makan berasal dari uang halal? Belajar untuk selalu memperhatikan orang, mendoakan tentang kebaikan kepada orang lain? Mencari tahu, apakah kekerasan adalah sebuah cara yang benar? Dan apakah tuhan terlalu idiot dengan hanya menempatkan Islam sebagai satu-satunya cara yang benar?
Dan jawaban itu, bapak peroleh dengan sama alamiahnya. Menjadi Islam adalah kebenaran mutlak dan orang di dalamnya akan menjadi manusia-manusia terbaik jika taat dan mau belajar. Tapi, ibumu yang Kristen juga sebenarnya seorang islam. Islam dengan cara yang berbeda. Islam dengan jalan yang berbeda. Islam dengan huruf “i” kecil. Mungkin sholat bapak tidak benar, puasa bapak sering terlewatkan. Bapak masih belum bisa lepas dengan yang namanya alkohol. Tapi yakinlah Kenny! Bapak selalu mengusahakan nafkah yang halal untuk kita sekeluarga.
Dari ibumu, selanjutnya belajarlah bapak mengenai keikhlasan. Suatu ketika, sebelum kamu ada, bapak pulang dengan segepok koran di genggaman. Dari sekian artikel yang kebanyakan isinya sampah, terselip sebuah kisah memilukan dari Nusa Tenggara Barat: sekeluarga cacad yang sekarat oleh kemelaratan. Ibumu tertarik dengan artikel itu. Membacanya dengan biasa, dan kemudian meminta bapak mencari tahu wartawan mana yang menulis kisah itu.
Beberapa hari kemudian, bapak berhasil mendapatkan telepon wartawan itu. Sekaligus nomor rekening banknya. Ibumu, tanpa sepengetahuan bapak secara rutin menyumbangkan penghasilannya kepada sekeluarga cacad itu.
Bapak lagi-lagi berpikir, sedangkan pemerintah di negeri ini sama sekali tidak peduli dengan kesengsaraan rakyatnya, ibumu justru datang dengan keikhlasan. Bapak malu. Bapak merasa teramat kecil untuk menandingi ibumu. Tapi bapak juga tak bisa mengesampingkan, bapak semakin cinta dengan ibumu. Semakin cinta.
Tapi bukan berarti percintaan kami mulus-mulus saja, Nak! Budaya berbeda, melahirkan percintaan yang berbeda. Melahirkan persoalan berbeda pula. Sebenarnya, ada banyak kekhawatiran ketika bapak memutuskan mencintai ibumu. Satu di antaranya, apakah kelak bapak bisa kembali di antara orang-orang yang bapak cintai di Singosari sana? Ini sebenarnya kekhawatiran yang memuakkan. Kekhawatiran yang kekanak-kanakan. Tapi, justru sangat mengganggu pikiran bapak. Bapak mencintai ibumu. Tapi, sepotong cinta bapak ini, juga harus dibagi kepada orang-orang yang sama mencintai bapak di Singosari sana. Juga kepada dunia yang mengelilingi bapak. Kawan-kawan bapak, musuh-musuh bapak, sastra, dan banyak lagi yang lainnya. Kadang, sepotong cinta ini terlalu sedikit untuk dibagi-bagi. Dan, dengan memutuskan mencintai ibumu, bapak harus sudah siap memberi potongan porsi terbesar kepada ibumu.