Belum lagi pantat saya duduk enak di bangku MRT, kereta sudah berhenti lagi di Stasion Outrum Park. Satu pemberhentian dari Stasiun Harbour Front, tempat kami pertama naik. Riuh selalu Stasion Outrum ini oleh penumpang keluar-masuk kereta, karena memang lokasinya yang di pusat kota dan menjadi salah satu stasion utama kalau kita ingin berpindah kereta jurusan lain. Kalau kita dari Pelabuhan Harbour front hendak ke Bugis, Jurong, ataupun ke Marina, kita harus berhenti di Outrum Park untuk kemudian naik ke MRT yang akan melewati tujuan kita. Murah, mudah, dan nyaman.
Asal mata kita selalu membaca banyak rambu penunjuk jalan, atau telinga mendengar instruksi dari pengeras suara di kereta; dijamin tidak akan tersesat meski baru pertama ke Singapura. Tapi kadang kita, orang Indonesia, jarang memperhatikan rambu – makanya banyak yang suka menerobos lampu merah – dan lebih suka bertanya. Sialnya, karena bahasa berbeda, kita pun malu bertanya. Ujung-ujungnya, memilih naik taksi yang harganya bisa sepuluh kali lipat dari harga MRT. Bayangkan berapa duit yang harus kita keluarkan hanya untuk taksi, jika kita di Singapura selama dua hari berkeliling sana-sini. Yang bawa uang pas-pasan, dijamin pulang tak bisa belikan oleh-oleh keluarga ataupun rekan mereka.
Okelah, lupakan soal kereta MRT; begitu pintu kereta terbuka di Stasiun Outrum Park, empat orang masuk dan berdiri tepat di depan kami. Ketika itu kursi memang sudah hampir terisi penuh. Dua etnis Tionghoa perempuan, satu lelaki, dan satunya pria etnis India. “Hey Teacher Joanne,” tiba-tiba satu cewek tadi, yang berbadan subur menyapa istri saya, Joanne. Istri saya membalas sapaan. Satu rekannya, yang punya potongan rambut pendek juga menyapa dengan kalimat sama. Si India juga. Sementara si pria Tionghoa, sedikit beruntung karena berhasil mendapat tempat duduk di ujung jauh kami duduk. Tidak sempat berbasa-basi dengan istri saya.
“Perkenalkan ini suami saya, dan ini anak kami. Namanya Ken,” kata istri saya ketika si India bertanya siapa bocah yang duduk di sebelah istri saya. Saya halo-halo, Ken halo-halo, mereka membalas halo-halo kami. Lalu, mengobrollah kedua perempuan dengan istri saya dalam bahasa China. Sayang, saya tak mengerti apa yang diobrolkan mereka. Sesekali, istri saya mengeluarkan HPnya, mencatat nomor yang diberikan seorang wanita, kemudian menyodorkan kepada mereka apakah nomor yang dicatat betul. Keduanya pun melakukan hal yang sama.
Jika bukan karena keempat orang tadi penyandang sindrom down (down syndrome), mungkin saya tak tertarik untuk menuliskannya di sini. Ketika itu hari – Sabtu, 13 Agustus – sudah mendekati pukul tujuh, waktunya para pekerja pulang ke rumah masing-masing. Sama seperti kebanyakan penumpang lainnya, keempat bekas murid istri saya itu juga baru pulang dari kerja. Penyandang sindrom down bisa bekerja?
Kenapa tidak? Istri saya bercerita, “Mereka kerja di pencucian mobil. Gajinya lebih besar dari gajimu lho!” katanya sambil tertawa.
Saya tentu saja tidak ikut tertawa. Ya, terima saja, sabar saja, memang itu kenyataannya. Siapa tahu tahun 2014 mendatang, negeri kita dipimpin presiden bijaksana yang bisa menaikkan kesejahteraan saya. Biar kerja profesional saya tak digaji lebih rendah dari pencuci mobil yang penyandang sindrom down.
Sindrom down, menurut Wikipedia, suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya perkembangan kromosom yang tak normal. Kita kadang lebih suka menganggapnya sebagai orang kurang waras, setengah gila! Padahal pengertian gila dengan sindrom down sangat berbeda. Kadang juga kita mengartikan orang sindrom down sebagai anak autis (mungkin juga karena malu), padahal ini juga sangat berbeda. Seorang teman polisi saya di Batam yang punya anak penderita sindrom down, pernah salah kaprah menganggap anaknya menderita autis dan harus keluar begitu banyak uang untuk melatihnya di sekolah autis. Ketika istri saya ke rumahnya, ia tetap ngotot anaknya autis, meski sudah dijelaskan dia penderita sindrom down.
Istri saya adalah guru autis, tapi sebelum menjadi sukarelawan di Malang, Jawa Timur sepuluh tahun silam, dia adalah pengajar untuk sekolah penyandang keterbelakangan mental seperti sindrom down. Keempat orang di depan kami Sabtu itu adalah bekas muridnya, dan hebatnya, mereka masih mengingat istri saya.
Seperti orang normal lainnya, kepada istri saya mereka bercerita tentang pekerjaannya, tentang aktivitasnya mereka, tentang apa pun yang mereka lakukan.
Meski kadang kala cerita mereka sedikit tidak nyambung. Tapi yang jelas, seorang penderita sindrom dow bisa bepergian seorang diri dengan MRT (juga bus kota), bekerja, dan mungkin juga ke kantin makan, adalah satu hal yang menggembirakan.
Ketika mereka ngobrol, mereka tak peduli – begitu juga istri saya – ketika puluhan mata penumpang lainnya memperhatikan mereka lekat-lekat. Itu karena mereka berbicara lebih keras dan penampilan mereka yang beda dengan kebanyakan orang lain. Sindrom down memangpunya ciri khusus di tubuhnya. Kepala biasa lebih kecil dan tidak proporsional. Perkembangan tubuhnya yang lain juga berbeda dengan orang normal.
Melihat mereka, saya jadi teringat kakak kawan saya di Malang dulu yang juga penyandang sindrom down. Mungkin karena malu atau apa, teman saya kerap bercerita bahwa kakaknya terkena sindrom down karena sesuatu yang tidak masuk akal. “Waktu ibu hamil, bapak ngejek orang gila,” ini cerita kawan saya tentang kakaknya.
Ada juga kisah yang mungkin ingin mengelabuhi rasa malu, bahwa penderita sindrom down karena kedua orangtua bersenggama saat si ibu menstruasi. Lho, bukankah wanita menstruasi tak bisa dibuahi?
Masyarakat kita masih memandang penyandang kelainan mental seperti sindrom down sebagai penyakit “kutukan Tuhan” yang memalukan keluarga. Harus ditutupi. Ketika saya dan istri saya kerap berkunjung ke panti-panti penyandang cacad di Malang dulu, cerita yang sama dengan cerita kawan saya juga kerap kami dengar. saya tidak punya pengalaman apa-apa soal masalah ini, tapi istri saya sedih kenapa mereka tak diberi pendidikan dan dilatih agar bisa mandiri? Bukan justru disembunyikan di kamar pengap seperti buronan kelas teri. Seumur hidup sepertinya ia akan menjadi beban.
Di Singapura, pemerintah mereka juga memberi peluang penderita sindrom down, cacad, dan juga lanjut usia, bekerja dengan baik. Tentu saja tak banyak bidang usaha yang mau mempekerjakan mereka. Untuk itu, pemerintah memberi insentif yang menggiurkan bagi perusahaan yang mau mempekerjakan mereka.
Mungkin pembaca akan jauh lebih tercengang jika satu saat membaca kisah rekan saya, Sie Gek, seorang penyandang tuna netra yang kerap bepergian seorang diri ke London, Australia, Malaysia, Tanjungpinang; dengan enaknya.
Entah kapan kita, negeri ini, bisa memerdekakan para penyandang cacad?
*Untuk DIA edisi 21 Agustus 2011