Ada dua pemandangan berbeda ketika saya pergi-pulang Batam-Singapura menggunakan Feri Batam Fast, pekan kedua Februari 2008 lalu. Pemandangan pertama, di sore yang berangin, saya sebelah-menyebelah dengan calon tenaga kerja Indonesia. Pemandangan kedua, sebuah kemesraan yang memuakkan.
Oke, saya buka kisah ini dengan perkenalan saya dengan TKI itu. ”Sampeyan Jawa Timur juga ya? Saya asli Malang juga. Dari Turen. Ini pertama kali saya ke Singapura (maksudnya jadi TKI),” wanita itu memperkenalkan diri. Turen adalah salah satu kecamatan paling selatan Kabupaten Malang. Sebuah daerah yang terkenal dengan perusahaan amunisi PT. Pindad dan sangkar burung yang terkenal indah. Namun untuk produk terakhir itu, saya dengar usaha itu kini berangsur-angsur hancur setelah sangar-sangkar burung besi yang tak kalah indahnya, dijual dengan harga terbanting.
Dia, TKI itu, terlihat sangat pemalu. Tapi rasa malunya mungkin sedikit teratasi ketika saya mengatakan berasal dari kota yang sama. Beberapa rekannya memandangi kami, ketika kami terlibat obrolan menggunakan bahasa Jawa. Ningsih, TKI itu, seperti TKI lain yang sering saya temui di Singapura: potongan rambut pendek, tanpa make-up, pandangan selalu menunduk, dan seolah selalu berada dalam suasana ketidakberdayaan. Jawaban yang diberikan selalu pendek, apa adanya, tanpa dibumbui kata-kata bersayap. Saya mencoba untuk membuat suasana jadi lebih cair dengan mengatakan, Singapura adalah kota yang menyenangkan.
Kami duduk di deret bangku paling belakang dari feri. Dan 24 rekan Ningsih yang lain, memenuhi hampir separo bagian tempat duduk belakang feri. Saya tanya tentang Malang, tentang proses menjadi TKI; dan dia balas bertanya soal Batam dan Singapura.
“Saya ikut agen Pak Koh,” jawabnya pendek ketika saya tanya agen mana yang memberangkatkannya. Hanya informasi “Pak Koh” yang dibawa Ningsih dan kawan-kawannya. Sebuah nama yang mungkin akan membuat nasibnya berubah. Menjadi lebih baik atau sebaliknya. Tidak dia tahu berapa gaji yang akan diterimanya. Tidak juga dia tahu harus bagaimana ketika dia mendapat masalah sewaktu nanti bekerja di Negeri Singa.
Saya sarikan cerita Ningsih. Begini:
Tiga bulan silam, sebuah agen datang ke kampung Ningsih di Turen sana. Mengiming-iming uang banyak dengan menjadi TKI, Ningsih dan beberapa rekannya kemudian bertekad menjadi TKI. Dua bulan “dipermak” di Jakarta, Jumat (15/2) lalu Ningsih dikirim ke Batam. ”Di sini (Batam) cuma beberapa jam. Cuma dikasih tahu apa-apa yang harus dilakukan,” kata Ningsih. Dan, berangkatlah Ningsih dan 24 rekannya ke Singapura dengan menumpang Batam Fast.
“Gaji? Lumayanlah. Nggak tahu pastinya berapa. Tapi katanya, kami digaji 300-an dolar. Dipotong delapan bulan. Kalau yang sudah pernah jadi TKI lebih besar. Kira-kira 400-an dolar.” Tentu saja Ningsih tidak sepanjang kalimat ini ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Bagian per bagian. Pendek-pendek.
Memang, ketika akan menjadi TKI, Ningsih mengaku tidak sepeserpun uang keluar dari kantongnya. Tapi, potongan yang delapan bulan adalah keterlaluan. Mari kita buat hitung-hitungan kasar. Jika dia dikontrak selama dua tahun, berarti Ningsih akan bawa pulang gajinya sebesar 300 X 24 – 8 bulan = 4.800 dolar. Atau kalau dirupiahkan dengan kurs Rp6.400, akan dapat angka Rp30.720.000.
Sebuah angka yang besar, memang, untuk ukuran penghasilan orang Indonesia. Tapi, tengoklah berapa Pak Koh mendapat bagian hasil dari keringat Ningsih! 300 X 8 = 2.400 dolar Singapura! Sebuah angka (baca nilai) yang jauh lebih besar ketimbang Rp30 juta. Dan ironisnya, Ningsih tak tahu berapa gaji yang akan diterimanya.
Ini informasi dari kakak ipar saya di Singapura yang mempekerjakan seorang pembantu Indonesia. Setiap bulan dia harus mengeluarkan uang 750 dolar Singapura. Membayar 5.000 dolar uang jaminan ke pemerintah sebagai bentuk kesepakatan bahwa sang majikan sanggup menjaga dengan baik pembantunya. Jika dalam kontraknya ada persoalan. Entah sang pembantu hamil, cedera, dll, uang 5.000 itu hangus. Dan mereka siap-siap disidangkan.
Pertanyaannya, soal besarnya gaji siapa yang benar? Apakah Pak Koh atau kakak ipar saya? Saya kok, cenderung percaya dengan kakak ipar saya. Nah, yang ingin saya kemukakan, seberapa besar ruginya seorang Ningsih, ketika hak-haknya tidak dimanipulasi. Dia bisa pulang dengan membawa Rp30 juta. Tapi, seharusnya dia bisa jauh lebih banyak menghasilkan uang. Sialnya, Ningsih dan sebagian besar TKI kita, ikhlas hak-haknya dikebiri. Tepatnya tidak berdaya!
Tapi sudahlah! Bagaimanapun Singapura adalah sebuah gairah, sebuah harapan. Harapan bagi puluhan ribu TKI. Harapan Ningsih dan ke-24 rekannya untuk mengubah nasib mereka. Karena mereka tahu, Pemerintah Rebublik Indonesia tidak bisa memberi sebuah harapan hidup yang lebih baik. Karena mereka tahu, pemimpin-pemimpin negara ini, jauh lebih suka membawa devisa hasil jerih payah mereka, untuk berasyik masyuk bersama wanita simpanan mereka ke Singapura. Seperti sebuah pemandangan yang saya lihat, ketika pulang dari Singapura, Minggu (17/2) kemarin.
Di bangku yang sama belakangnya dari Feri Batam Fast yang saya tumpangi, seorang lelaki paruh baya, tanpa punya malu, baradu peluk dan cium dengan seorang wanita 25-an tahun. Dari ruap tubuh keduanya, saya mencium sebuah perselingkuhan yang mengasikkan.