Diapit dua buah toko pakaian, pintu kaca model kupu-kupu itu selalu ramai oleh lalu-lalang orang keluar masuk. Tidak lebar amat pintu itu, sekitar tiga meter saja. Dua biji alat detektor dipasang masing-masing di sisi kiri-kanan pintu tersebut. Pintu itu, sekilas mirip pintu toko-toko lain di kanan-kirinya. Yang membedakan hanya beberapa pot bunga yang diletakkan di depan pintu, aneka brosur yang tertempel di samping pintu, serta seuplik bagian mirip loket karcis bioskop jaman dulu dengan dua lubang tangan di samping kanan pintu. Dan yang paling membeda, tentu saja lalu-lalang orang yang nyaris tak pernah putus, serta isi di dalamnya.
“Emang jualan apa toko itu?” Mungkin Anda yang baru melihatnya akan bertanya demikian. Di Hougang Mall lantai tiga, di antara deretan toko busana, toko elektronik, salon perawatan kuku, dan pujasera, pintu itu adalah pintu masuk dari “jualan” ilmu pengetahuan. Ya, itu adalah Perpustakaan Umum Hougang! Perpustakaan umum yang Anda akan bisa dapatkan ribuan koleksi buku, dari Senja di Jakarta-nya Muchtar Lubis hingga bigrafi tentang mantan bintang Manchester United, George Best! Beberapa waktu lalu saya sempat meminjam satu dari empat tetralogi Bumi Manusia-nya almarhum Pramodya Ananta Toer. Buku yang ketika saya kuliah sastra di Malang dulu, bahkan tidak ada di perpustakaan universitas. Di situ pula, saya mendapatkan buku pesanan penyair Batam, Hasan Aspahani, yang tergila-gila dengan puisi penyair Chile, Pablo Neruda.
Bertolak belakang dengan pintu kaca sederhana yang lebarnya tak lebih dari tiga meter itu; di dalamnya, ruangan sebesar hampir tiga kali lapangan bola voli, Anda akan mendapat kenyamanan luar biasa. Udara sejuk berpendingin, dengan lantai yang seluruhnya dilapisi karpet tebal hangat. Anda boleh baca sambil tidur-tiduran di lantai, atau duduk mojok di kursi-kursi yang disediakan.
Di sisi paling kanan ujung, berderet belasan komputer bersambung internet yang bisa Anda nikmati sesuka hati, gratis. Ruangan utama yang memakan hampir sepertiga luas ruangan berisi ribuan buku, tersusun rapi dan dengan sangat mudahnya kita berburu koleksi buku yang kita butuhkan. Kalau kesulitan, ada mesin komputer pencari yang bisa Anda operasikan dalam berbagai bahasa, termasuk Melayu.
Di sebelah ujung kiri yang disekat dengan kaca, adalah ruang buku khusus untuk anak-anak. Di dalamnya, selalu riuh oleh pemandangan orangtua yang mengejakan cerita pada anaknya, atau pembantu rumahtangga (kebanyakan asal Indonesia) yang berusaha mencegah anak majikannya agar tidak lari atau membikin gaduh. Menyenangkan.
Untuk loket dengan dua lubang yang terletak di samping kanan pintu masuk, fungsinya adalah sebagai tempat pengembalian buku. Anda tinggal memasukkan buku yang akan dikembalikan ke dalam lubang, setelah bunyi “tiittt”, Anda pun bebas dari buku pinjaman.
Tepat di depan ruangan buku anak-anak, semeja panjang yang di atasnya berderet tujuh komputer yang disulap menjadi “petugas pinjam”, siap melayani pinjam-meminjam buku yang Anda perlukan. Anda hanya butuh menempel kartu perpustakaan Anda di alat scan komputer itu, menscan kode buku yang Anda pinjam, berikutnya buku sudah bisa Anda bawa pulang. Dan semua Anda nikmati dengan gratis-tis, tanpa dipungut biaya. Menjadi anggota pun tak dipungut biaya, tak diminta menunjukkan batas usia. Bahkan Ken, anak saya yang saat ini berusia 2,5 tahun, sudah menjadi anggota perpustakaan pada usia pertamanya.
Perpustakaan Umum Hougang adalah satu dari sekian puluh perpustakaan di Singapura yang mungkin masuk golongan perpustakaan kecil dengan koleksi yang tak seberapa. Itu jika dibandingkan dengan koleksi Perpustakaan Nasional Singapura. Saya mungkin akan kehabisan kata-kata jika harus menggambarkan betapa dahsyatnya Perpustakaan Nasional Singapura. Tapi diskripsi itu mungkin tak terlalu penting jika melihat dari dahsyatnya manfaat yang diperoleh warganya. Menjadi orang pandai di Singapura, ternyata sangat mudah dan tak banyak memakan biaya. Di Batam, Anda hanya bisa ke Gramedia – dan tentu saja harus keluar banyak uang – untuk bisa mendapatkan buku-buku yang Anda inginkan. Sungguh kapitalis!
Di Perpustakaan Hougang yang “kecil” itu, yang dibangun di tengah-tengah mal, tiap pekan saya mendapatkan buku kebutuhan saya. Si Ken, bisa meminjam maksimal delapan buku anak-anak yang di toko khusus anak, Edukits, satu buku mungkin harganya bisa Rp100-an ribu. Istri saya bisa meminjam belasan buku cara mengasuh anak, dan menemukan informasi bahwa menggedong erat-erat seorang bayi yang sedang demam adalah sangat berbahaya. Nenek-kakek warga Hougang bisa mendapat informasi daerah asal mereka dari koran-koran internasional. Bahkan pembantu asal Indonesia bisa mendapatkan novel Laskar Pelangi yang dianggap fenomenal itu.
Di Batam, sepuluh rekan berpendidikan lumayan yang saya tanya apakah pernah datang ke perpustakaan Batam, semuanya menjawab tidak pernah. Bahkan di mana lokasi perpustakaannya pun mereka tak tahu. Ironis! Sama ironisnya dengan “kehebatan” pemerintah kita memberikan lahan strategis untul mal ketimbang sarana-sarana yang bisa memintarkan rakyatnya. Sama ironisnya ketika muncul kebijakan untuk memakai Dana Abadi Umat (DAU) yang triliunan rupiah itu untuk mengongkosi pejabat-pejabat naik haji ketimbang mencetak tafsir Alquran yang bisa disebarkan dan memintarkan masyarakat Indonesia. Sama ironisnya ketika mengkavling-kavling pantai yang indah hanya untuk diberikan pada pengusaha hotel-hotel berbintang. Dan rakyatnya, dipaksa untuk menjadi bagian dari kapital untuk kemudian hanya kebagian sampahnya saja!
Di benak saya, kadang menyembul lamunan yang isinya begini: Singapura yang katanya negara kapital, kok justru sangat sosial (is) memperlakukan rakyatnya. Di Batam dan Indonesia, orang miskin dilarang jadi pintar!
*Foto pinjaman Google!