Saat menjemput sekolah hari Rabu lalu, Ken yang tengah berdiri di samping pagar pintu gerbang sekolah, terlihat kelelahan. Di tangannya tergenggam map hitam besar setebal kira-kira limacentimeter. Saking besar dan beratnya, map itu tidak bisa dimasukkan ke dalam tas anak saya, dan terpaksa ditenteng oleh jari-jemari kurus anak sulung saya. Ditambah dengan tasnya yang selalu berat karena membawa banyak peralatan sekolah, akhirnya saya turun tangan untuk membantu membawakan barang-barangnya. Rata-rata, isi tas-tas milik pelajar-pelajar di Singapura, termasuk punya anak saya, beratnya memang naudzubillah. Banyak macam peralatan, serta buku yang harus dibawa. Kawan-kawan Ken, bahkan banyak yang sekolah bawa troli mini yang biasa dipakai belanja nenek-nenek, untuk mendorong tas mereka.
Tapi bukan beratnya tas itu yang menarik perhatian saya menuliskan di sini. Tapi map besar setebal limacentimeter yang dibawa Ken. Itu map berisi semua tugas dan kegiatan belajar-mengajar Ken selama lima bulan menjadi siswa kelas 1 SD di Singapura. Di dalamnya, rapih betul si guru mengkliping selembar demi selembar kertas tugas dan kegiatan belajar-mengajar Ken menjadi seperti album foto. Map itu diberikan pada setiap minggu akhir kegiatan belajar-mengajar, untuk kemudian dikoreksi orangtua murid. Ditandatangani, sebagai bukti bahwa si orangtua telah mengetahui perkembangan kemampuan belajar si anak, untuk kemudian map itu diserahkan kembali pada sekolah.
Minggu ini memang minggu akhir Ken sekolah sebelum datang libur semester pertama selama sebulan. Dan Jumat kemarin, kami, orangtuanya diminta melakukan pertemuan dengan setiap guru yang mengajar anak saya. Sedikit unik memang, jika saya bandingkan dengan pengalaman kegiatan akhir belajar-mengajar di Indonesia. Dulu, saat saya masih sekolah, ketika penerimaan raport tiba, orangtua juga diminta datang. Dikumpulkan dalam satu ruangan, untuk kemudian diberi wejangan umum oleh wali-kelas. Tidak ada sesi khusus setiap wali-murid dipanggil untuk membicarakan perkembangan anak-anak mereka. Ada sih walimurid yang kadang memanggil secara khusus orangtua. Tapi jika demikian, biasanya ada masalah atau si anak terlalu nakal.
Tapi di Singapura tidak. Sejak taman kanak-kanak, orangtua harus membuat janji, kapan bisa ketemu dan berdiskusi dengan wali kelas dan semua guru yang mengajar. Begitu juga dengan Ken. Jauh-jauh hari sudah diumumkan hari terakhir sesi pertemuan orangtua dengan guru. Mengingat kesibukan berbeda, orangtua diminta jam berapa bisa bertemu untuk melakukan diskusi empat mata dengan guru. Ada yang pagi, banyak juga yang baru bisa datang seusai kerja. Jadi, hari itu, setiap guru harus stand-by seharian penuh untuk melayani para orangtua murid. Jumat kemarin, kami memilih jam tiga sore, untuk bisa bertemu dengan para guru anak kami.
Guru pertama yang kami temui adalah walikelas. Si guru begitu detilnya memberi gambaran seperti apa anak kami di sekolah. Hal-hal sederhana seperti kegemaran anak saya yang suka bercanda dengan kawannya, hingga kesulitannya di pelajaran yang ia ajarkan, dijelaskan pada kami. Si walikelas juga tak lupa memberi saran, hal-hal apa saja yang bisa kami lakukan terhadap anak kami saat di rumah. Agar ada kesinambungan antara pelajaran yang diberi di sekolah, dengan penerapan di rumah.
Kemudian, secara bergilir, kami bertemu guru-guru setiap mata pelajaran yang mengajar anak saya. Satu per satu mereka juga memberi penjelasan secara detil kesulitan dan kelebihan anak kami. Metode-metode apa yang mereka berikan, dan sebaiknya apa yang harus kami lakukan di rumah. Guru mata pelajaran bahasa China misalnya, meminta kami lebih banyak memakai bahasa China di rumah, agar penguasaan bahasa China Ken lebih baik. Ken memang mendapat nilai terburuk di pelajaran ini. Di rumah, kami memang terbiasa memakai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sementara guru matematika, mengaku puas dengan perkembangan Ken.
***
Kejutan lain yang saya rasakan adalah tidak adanya perankingan di kelas. Setiap kelas, tidak ada siswa yang berpredikat “ranking satu” maupun “ranking buncit”. Raport bahkan hanya berupa selembar kertas hasil ujian ala kadarnya.
Ujian akhir semester pun sepertinya bukan menjadi sebuah momok atau hal yang paling penting dalam sekolah. Saya, bahkan nyaris tidak mengetahui kalau anak saya tengah melakukan ujian akhir semester. Mengingat tidak ada persiapan khusus maupun woro-woro penting yang diberikan sekolah. Tidak ada pembagian kartu tes atau semacamnya. Tidak ada doa bersama atau semacamnya. Apalagi mendatangkan ustad untuk didoakan agar semua bisa mengerjakan tes sekolah. Anak kami hanya mengatakan, “esok akan ada tes,” dan semuan berjalan seperti hari-hari biasa. Penghargaan untuk siswa terbaik memang ada. Tapi tidak per kelas, melainkan dicari sepuluh terbaik seluruh sekolah yang kemudian akan mendapat hadiah berupa uang tunai.
Ujian, untuk anak SD di Singapura sepertinya tidak terlalu penting. Map hitam yang berisi kegiatan belajar-mengajar selama satu semester yang dibawa Ken itulah “raport” sesungguhnya yang jauh lebih berharga ketimbang selembar raport itu sendiri. Karena di situ, perkembangan dan kemampuan anak menyerap pelajaran terlihat. Anak yang kurang berhasil menyerap pelajaran bukan untuk dihukum dengan memberi ranking jelek, atau sebaliknya, yang pintar mendapat penghargaan ranking baik. Namun, sekolah didesain untuk mencari solusi antara guru dan orangtua murid atas setiap persoalan dan bagaimana memaksimalkan kemampuan si anak. Sekolah bukan didesain untuk mencari murid-murid terbaik.
*) untuk kolom Rasa Singapura Posmetro Batam