: Musuh utama: tidak kuat jalan kaki.
Di ruang kosong memanjang selebar sekitar satu setengah meter di belakang toko pakaian Hang Ten, Pelabuhan Harbour Front, Singapura, pria itu khusuk bersalat Asyar. Di ruang yang sebetulnya dipakai untuk jalur pintu darurat. Jam, ketika itu memang menunjukkan senja segera selesai, tampaknya si pria terpaksa salat di situ karena tidak ingin Asyar terlewatkan.
Saya yang ketika itu hendak menumpang taksi, tak sengaja memperhatikan pria itu, karena tempatnya salat memang searah dengan taxi stand.
Di lain waktu, saya menjumpai sekelompok wisawatan Indonesia menunjukkan hal yang, menurut saya, terlalu “atraktif”. Belasan orang, salat berjamaah tepat di sebelah pintu kedatangan pelabuhan. Aksi ini, tentu membuat banyak orang yang lewat “geleng-geleng” kepala. Bagi orang Indonesia, kelakuan itu mungkin terasa “hebat”, karena, demi menunaikan salat, mereka berani melakukannya di mana saja. Tapi, di mata warga Singapura sendiri, hal itu adalah sebuah “kekonyolan”, bahkan mungkin terkesan “bodoh” dan “pemalas”. Bukankah ada Masjid Temenggung Daeng Ibrahim yang letaknya cuma “sepelemparan batu” dari pelabuhan? Di sana kita bisa salat dengan nyaman, khusuk, tanpa menjadi tontonan banyak orang.
Persoalan salat, kadang memang menjadi persoalan pelik para wisatawan muslim Indonesia yang datang ke Singapura. Saya kerap mendapatkan cerita, atau membaca pengalaman dari kawan-kawan, tentang bagaimana sulitnya bersalat di Singapura. Ada yang terpaksa berwudlu di toilet, ada pula yang seperti saya tuliskan di dua paragraf pertama, terpaksa harus salat di manapun tempat mereka berada. “Sulit cari masjid?”, begitulah alasan sebagian besar wisatawan muslim Indonesia yang berkunjung ke Singapura.
Maskid Selalu Berlokasi di Pusat Keramaian
Kenapa ketika kita mencari butik bisa, sedangkan menemukan masjid kok ngakunya sulit? Sepengetahuan dan pengalaman saya, sungguh mudah mencari masjid di Singapura. Lokasi masjid-masjid di sini, rata-rata juga berada di keramaian serta mudah dijangkau. Beberapa di antaranya bahkan sangat dekat dengan tempat-tempat wisata yang menjadi favorit warga Indonesia berkunjung ke Singapura.
Menemukan masjid di Singapura, bagi saya, justru lebih mudah ketimbang di Malaysia. Di Malaysia, negara yang nyaris saban tahun kami kunjungi, rata-rata masjid dibangun di tempat yang elit dan indah. Kecuali masjid-masjid tua yang biasanya memang dilestarikan, masjid-masjid di Malaysia lokasinya seringkali jauh dari keramaian, dan untuk ke sana memerlukan transportasi tersendiri. Ini karena masjid biasanya dibangun dengan sangat megah dan indah, serta memerlukan lahan yang sangat luas. Syarat ini jelas sangat susah didapat jika dibangun di pusat kota atau kawasan keramaian.
Lokasi masjid di Malaysia mungkin dimaklumi, mengingat banyak musala di kantor-kantor publik, serta masyarakat di Malaysia yang rata-rata punya kendaraan bermotor. Jadi, tidak menjadi persoalan jika datang ke masjid yang biasanya dibangun “menyendiri”, terpencil dari keramaian.
Ini berbeda dengan Singapura. Lokasi masjid di sini selalu berdekatan dengan pusat keramaian atau pemukiman. Kecuali Masjid Sultan di Arab Street yang agung itu, masjid-masjid di Singapura rata-rata kecil dan sederhana. Meskipun demikian, tak jarang fasilitasnya sangat modern dan desainnya sungguh mengasyikkan untuk dipandang mata. Ada kekhasan yang terus dipertahankan dari desain-desain masjid di Singapura. Tidak seragam. Beberapa masjid memilih mempertahankan desain kuno mereka, beberap lainnya memilih mengikuti desain modern.
Untuk menemukan masjid yang rata-rata lokasinya dekat kawasan wisata, hanya dibutuhkan jalan kaki saja. Jika Anda sedang jalan di China Town misalnya, dari China Town MRT tinggal jalan kaki sekitar 100 meter, sudah bisa menemukan Masjid Jamee Chulia. Tepat di samping Sri Mariamman Temple yang menjadi favorit fotografer-fotografer ketika berkunjung di China Town. Masjid Chulia bahkan boleh dikatakan sekomplek dengan “pasar senggol” di Chinatown yang riuh dan penuh pedagang aksesoris itu.
Ketika sedang berada di sekitar daerah Raffles atau Patung Merlion, Anda juga bisa salat di Masjid Moulana Mohamed Ali. Masjid ini unik. Setahun lalu, juga bertepatan dengan puasa, saya sempat kebingungan mencarinya. Meski googgle map di HP saya sudah menunjukkan bahwa saya sudah sampai di lokasi masjid, tapi saya tidak melihat ada bangunan masjid di depan saya. Setelah keliling mencari, ternyata masjidnya berada di basemant gedung UOB Plaza yang pencakar langit itu. Kalau Anda memotret landsap sekumpulan gedung tertinggi di Singapura dari arah Marina Bay, atau yang terkenal dengan sebutan Central Business District (CBD), salah satu gedung tinggi itu adalah UOB yang di bawahnya ada masjid.
Anda di Bugis? Tak ada salahnya jalan sedikit ke Arab Street, bersalat di Masjid Sultan yang indah itu. Atau ke Masjid Abdul Gafoor yang letaknya hanya “seujung kuku” dengan Sim Lim Tower/Simlim Square, pusat elektronik itu. Sedang jalan-jalan di Orchard Road? Kenapa tidak ke Masjid Al-Falah yang cuma berada sepenyebrangan jalan dengan pusat belanja Paragon.
Tergantung Kemampuan Kaki
Selain yang saya sebutkan, nyaris banyak masjid di Singapura, berada dalam “jangkauan langkah kaki” dari pusat keramaian. Tidak perlu memakai bus atau transportasi bergerak lainnya. Namun, inilah masalah UTAMA orang Indonesia; tidak punya cukup kemampuan kaki-kaki mereka untuk mencari, apalagi eksplorasi.
Hingga, kewajiban bersalat terlewatkan karena merasa tubuh tak mampu lagi jalan kaki. Berkali-kali saya jadi “guide” untuk orang-orang Indonesia yang sedang jalan di sini, keluhan tentang “capeknya jalan kaki” nyaris datang dari semua orang yang saya temani. Meskipun, sebetulnya tidak jauh-jauh amat jarak jalan kaki yang harus dilalui. Namun karena tidak terbiasa jalan kaki, hingga kemudian menjadi masalah besar.
Di Singapura, sangat jarang ada gedung, mall, atau perkantoran yang menyediakan musala tempat salat. Mengingat, jika mau, nyaris semua masjid bisa dijangkau dengan jalan kaki dari keramaian atau pusat perkantoran.
Kota Singapura memang didesain untuk “memaksa” warganya banyak jalan kaki. Mau kaya atau miskin, tua atau muda; semuanya terbiasa jalan kaki. Jika Anda
berkunjung ke sini, coba perhatikan betis orang-orang Singapura. Jika betisnya tertarik ke atas atau menonjol, saya bisa pastikan, 99 persen mereka orang asli SIngapura. Namun jika betisnya lurus seperti kaki kursi, kemungkinan besar adalah warga asing yang tinggal di sini.
Membuat Rencana Perjalanan
Jika bisa search lokasi-lokasi pusat belanja, hotel murah, atau tempat wisata di Singapura, kenapa tidak bisa mencari-tahu keberadaan masjidnya sekalian? Banyak di antara kita telah memiliki smartphone, dan dari situ ketika jalan-jalan ke Singapura, kita bisa dengan mudah mencari lokasi masjid di dekat kita. Tinggal kita membuat rencana perjalanan selama di Singapura.
Jikapun tidak ada jaringan internet, pastikan dulu lokasi masjid yang kemungkinan akan jadi persinggahan. Salah satu cara termudah adalah dengan mencari titik bantu berupa gedung atau lokasi paling beken di satu kawasan wisata di Singapura. Sebagai contoh, jika kesulitan mencari Masjid Chulia di China Town, kita bisa berpatokan dengan mengunjngi “pasar senggol”nya yang merupakan ciri khas daerah itu. Dari situ, biasa akan banyak papan penunjuk arah, tempat kita bisa dengan mudah menemukan lokasi masjid. Atau, minimal memperhatikan peta setiap wilayah yang dikunjungi, yang biasa dipampang di stasiun-stasiun kereta api/MRT.
Usahakan di setiap waktu salat, kita berkunjung ke lokasi wisata di Singapura yang dekat dengan masjid. Sekaligus telah berburu informasi tentang letaknya. Dari situ, kita dengan mudah bisa menemukan masjid dan melakukan kewajiban salat.
Semoga bermanfaat.
Keterangan foto:
Foto 1, seseorang sedang salat di bawah trek MRT di daerah Jurong.
Foto 2, Masjid Sultan di Arab Street yang dekat dengan Bugis.
Foto 3, Masjid Al-Falah di daerah Orchard Road.