: Percayalah, Tidak ada negeri semembahagiakan Indonesia
Saya bertemu Valerie, di satu senja yang hampir habis di Pelabuhan Batamcentre, empat tahun silam. Saat tengah asyik memanasi jeep gaek yang sudah dua hari nginap di parkiran pelabuhan, dari jauh perhatian saya tertuju pada bule berpenampilan “punk” yang baru saja turun dari tangga pintu utama pelabuhan. Ia langsung dikerubuti tukang ojek serta sopir taksi yang hendak menawarkan sewa. Tapi semua tawaran itu ditampiknya. Dengan agak terburu, ia berjalan untuk menghindari para sewa, dan kemudian memelankan langkahnya begitu meraasa “aman”. Saya hampiri dan sapa dia begitu ia berjalan di dekat mobil saya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya saya, dalam bahasa Inggris yang jauh dari betul. Entah, tiba-tiba saja saya jatuh iba, atau mungkin lebih tepatnya teringat masa remaja saat melihat penampilan Valerie ini. Tubuhnya dekil, kanan-kiri rambutnya yang blonde dipangkas habis dengan menyisakan panjang di tengah yang jatuh terkulai begitu saja, sedikit gimbal karena lama tak dikeramasi. Celana bermudanya compang-camping, serupa dengan kondisi tas ransel 80 liter yang justru terlihat “indah” di pungung perempuan tinggi jangkung ini. Puluhan tahun silam, saya juga kerap dalam kondisi begitu; jalan-jalan mbambong ke kota-kota kecil di Jawa sembari berteman gitar yang kami pakai untuk mengumpulkan makan. Valerie berhenti, dan kemudian mengatakan, “saya hanya ingin mencari tempat inap malam ini saja. Esok saya mau beli tiket Pelni (dia menyebut Pelni) ke Jawa.”
Hmmm, okelah. Saya kemudian menawarkan tumpangan inap, dan dia bersedia. Di dalam mobil, dia begitu surprise ketika saya mengeluarkan kaset tape Iwan Fals, untuk kemudian memainkannya di tape cempreng mobil saya. “Kamu masih punya kaset? Terakhir saya punya, ketika dikirim kakak waktu jalan di Columbia,” Valerie ternyata cukup bisa berbahasa Indonesia. Perempuan asal Jerman ini, kemudian saya ajak mampir di warung kaki lima langganan saya: sambal balado di daerah Batamcentre. Saya memesan terung, ikan asin, tahu-tempe, dan sepotong ayam; sementara Valerie cuma mencomot dua biji tempe. “Saya sangat menyukai tempe,” kata dia lagi. Makannya sedikit, dan cuma memesan air putih. Meski sebelum makan sudah saya pastikan pada dia, saya yang akan membayar semuanya.
Valerie, perempuan di bawah 30 tahun ini adalah sebenar-benarnya backpackers! Bukan backpackers-backpackers-an yang travelling setelah sekian bulan mengumpulkan uang gaji dan berombongan membawa-bawa tas besar dan cuma sekedar nginap di hotel murah. Ia pergi dengan modal tas dan isinya, serta keberanian, dan mencari penghidupan di jalanan yang ia lalui. Kedatangannya ke Indonesia bukan pertama kali itu, ia mengaku sudah hampir dua tahun terakhir ini, tinggal di Yogyakarta. Nyaris empat tahun dia sudah meninggalkan Jerman untuk berkelana ke seantero dunia. Dari Jerman ia mengaku pergi ke benua Amerika. Diteruskan ke Asia daratan hingga Australia, Valerie akhirnya mengaku “jatuh cinta” dengan Indonesia. Di negeri inilah dia mengaku sangat betah, karena melihat rakyatnya begitu bahagia.
Saat saya ketemu, dia baru saja memperbarui “cop” paspornya. Ia mengaku pergi ke Malaysia selama tiga bulan untuk bekerja di sebuah perkebunan, dan dengan gaji ala kadarnya, dia kembali ke Indonesia. Ke Yogyakarta. Begitulah hidup Valerie, yang mengaku sempat menjadi mahasiswa jurusan sejarah di negaranya: tinggal di Indonesia selama masa kunjung, untuk kemudian sejekan pergi ke luar negeri untuk sekedar “bekerja” sembari “ngecop” paspornya. Dia memang mengaku tak tahu apakah ia akan menetap di Indonesia atau tidak. Yang jelas, dari puluhan negeri yang telah dikunjunginya secara backpacker, Indonesia adalah negeri yang paling membahagiakan.
***
Saya selalu memuji Indonesia ketika berbicara dengan orang asing, dengan orang Singapura. “Datanglah ke Indonesia, negeri kami begitu besar. Kami punya begitu banyak keindahan,” kira-kira begitulah saya mencoba membujuk orang-orang asing yang kerap saya temui di Singapura. Sebagian besar orang yang saya ajak bicara memang mengaku Indonesia begitu hebatnya. Kaya, ramah, serta penuh warna. Terlepas dari persoalan korupsi, kriminalitas yang tinggi, serta tidak bagusnya sarana publik di Indonesia, banyak di antara mereka yang menginginkan hidup di negeri seperti Indonesia.
“Di Indonesia, kamu bisa jadi raja jika kamu anak orang hebat! Orang kaya!” begitu satu kali seorang kenalan menyampaikan pendapatnay tentang Indonesia. Ia seorang bapak 60-an, pengusaha, kaya raya, dan mengaku teman dekat Tommy Winata, pengusaha Jakarta itu. Saya sih percaya-percaya saja, karena dia menjual kamera Leica-nya kepada saya dengan harga yang sangat-sangat murah! Hehehe… Hanya orang kaya yang agak bodoh yang biasanya bisa melakukan hal itu. Ia mengaku sangat senang tiap kali berkunjung ke Indonesia. “In Singapore? Tak peduli bapakmu orang kaya, pejabat, atau pengusaha, tak ada yang peduli dengan bapakmu!” ia menambahkan.
Sudah hampir sembilan tahun (meski selama enam tahun lebih sering wira-wiri Batam-Singapura) saya tinggal di Singapura, dan Indonesia terus saja ada di kepala saya sepanjang itu. Saya terbiasa makan pizza, namun tetap lalapan sambel terasi yang ingin saya rasakan. Saya kerap minum coke, tapi wedang jahe yang lebih menyenangkan. Saya tiap hari berbahasa Inggris, tapi ngomong boso walikan Malangan tetap menjadi satu kenikmatan. Singapura memang nyaman, tapi saya ingin secepatnya kembali menghirup udara desa Indonesia. Karena saya tahu, betapa keras dan tidak bahagianya hidup di Singapura. Maka dari itu, cintailah Indonesia! Dan berhentilah berkeluh-kesah tentang negerimu yang jadi impian semua warga dunia ini! Berhenti berkeluh kesah atas anugerah Tuhan yang hebat bernama Indonesia ini.
Selamat ulangtahun ke-70, Indonesia!
Foto: Pak Takim (atas) dan Mustaim, dua petani sayur asal Batu, Jawa Timur. Sawi yang dipanennya, akan diekspor ke Taiwan. Saya menjepretnya pada 10 Juni 2015 lalu.