:Ibarat orang lapar, kok malah dibelikan baju baru
Kren jatuh, menimpa orang, lalu puluhan orang tewas. Ini sebuah insiden “sederhana” yang seharusnya tak perlu mendapat penjelasan rumit njlimet yang ngawur bin mengada-ada ndak karu-karuan juntrungnya. Meski terjadi di Tanah Suci Mekkah. Penjelasan ndak pakai logika yang bahkan menggiring orang syirik, berpikir bahwa ada “kekuatan lain” yang menjadi penyebab kecelakaan tragis ini ketimbang kekuatan Gusti Allah yang Maha Membalas!
Penjelasan sederhananya cuma satu: karena ada gaya gravitasi! Juga orang-orang soak bin geblek yang “meremehkan” keselamatan orang lain. Di dunia Islam ini disebut SUNATULLAH. Hukum sebab-akibat. Hukumnya hukum yang telah ditetapkan Gusti Allah untuk membuat semesta ini berjalan dan bekerja.
Kalau Anda jatuh, pasti sakit! Kalau Anda belum makan, ya jelas lapar. Kalau Anda ndak kerja meski berdoa 24 jam sehari, Tuhan ndak bakal ngasih Anda rejeki! Itulah hukum Allah! Siapa pun, bahkan Rasulullah SAW tidak bisa lepas dari Sunatullah ini! Pasti Anda ingat, atau setidaknya pernah membaca saat Rasulullah terluka para di Perang Uhud, meski beliau sudah memakai baju zarrah? Lho, kenapa Kekasih Allah itu bisa sampai terluka parah? Bukankah ada sekian ribu malaikat yang menjaga beliau? Contoh ini menunjukkan, bahwa Rasullullah itu tak lepas dari Sunatullah.
Seperti lubang jalan di jalanan Indonesia, yang tiap hari “membunuh” ratusan orang, bahkan lebih banyak dari korban perang Palestina-Israel. Musibah jatuhnya kren di Mekkah juga setali-tiga uang. Kren dipasang, di bawah jamaah haji sedang beribadah. karena satu hal tekhnis, kren jatuh, dan karena kren mengikuti gaya gravitasi, maka jatuhnya ke bawah, ke kerumunan jamaah haji. Ada yang meninggal. Banyak yang terluka. Thats it! Jangan cari penjelasan yang melebar-lebar dong! Apalagi sampai membawa-bawa politik segala!
Dari sisi standart keselamatan – dan orang-orang gebleknya – seaman apa pun kren disanggah, seharusnya tidak dipasang saat ada prosesi keagamaan. Di Singapura misalnya, yang standar keselamatan kerjanya luar-biasa tinggi, setiap ada kren yang tengah bekerja maupun “diam nongkrong saja”, selalu diberi pagar pelindung di sekelilingnya. Sampai radius batas aman, di mana tidak ada orang yang bisa berada di bawahnya, kecuali pekerja itu sendiri. Jangankan kren, truk pengangkut tanah saja harus “dimandikan” dulu sebelum jalan agar tidak mengganggu warga. Padahal juga sudah ditutup rapat-rapat.
Seharusnya, pekerja konstruksi, juga kontraktor dan otoritas Mekkah, tahu bahwa SUnatullah itu ada. Sunatullah itu berlaku di mana saja, sekalipun di Tanah Suci yang kian hari kian hilang “kesuciannya” karena keserakahan manusia. Menghentikan dan menyingkirkan dulu kren di atas kepala jamaah haji yang tengah beribadah! Miminimalkan kecelakaan. “Zero accident!“, begitu bule-bule itu biasa menyebutnya.
***
Lalu apa hubungannya antara musibah kren dengan perpustakaan desa? Sebetulnya tidak ada. Saya cuma mengada-adakannya. Menghubung-hubungkan saja. Itu setelah saya melihat wall Facebook saya, yang “memberitakan” betapa bahagianya orang-orang yang pergi berhaji. Bahkan banyak di antara kawan-kawan yang sudah dua kali berhaji. Bahkan berkali-kali, kayak kyai muda teman saya di Malang itu. Lalu, “setan” di hati saya berbisik sambil melempar tanya ke kepala saya, “apakah Indonesia masih membutuhkan haji-haji geblek ini? Yang cuma mementingkan diri sendiri dengan “merampas” hak” berhaji orang lain, serta cuma sekedar “membangun” singggasana kemegahan antara dia dan Tuhannya lewat ibadah haji?”
Bude saya antri bertahun-tahun untuk menunggu giliran berhaji! Tetangga saya malah akhirnya memilih menarik duitnya, dan dipakai untuk memperbaiki rumah, karena begitu lamanya giliran dia untuk berhaji. Seorang kawan ngeband saya dulu, bahkan memilih “murtad”, karena saking jengkelnya melihat ada kyai tetangganya yang ndak ngurusi masyarakat sekitar, dan lebih memilih tiap tahun naik haji. Busyet dah!
Indonesia terkini, menurut saya, tidak lagi butuh orang-orang bergelar haji sampai berkali-kali! Berhaji memang wajib, dan bahkan saya pun mengimpikan untuk melakukannya. Tapi, mbok, dalam situasi Indonesia saat ini, sekali saja lah berhajinya! Mungkin karena saking banyak dan ndak mendatangkan manfaat apa-apa kecuali memperkaya Departemen Agama dan travel-travel kapitalis itu. Berapa biaya berhaji? Gila, rata-rata sekitar Rp140 juta, Bro! Untuk bisa berhaji plus tanpa menunggu daftar antrian. Belum lagi uang sakunya!
Jika uang sebesar itu dibangunkan perpustakaan di desa masing-masing, mungkin akan ada puluhan ribu perpustakaan bagus yang bisa jadi amal jariyah para jamaah haji berkali-kali itu. Untuk bisa memintarkan masyarakat sekitar agar tidak dibodohi politikus gembel dan kyai abal-abal. Saya membayangkan, jika tiap tahun orang yang berhaji berkali-kali itu memilih menyumbangkan duitnya untuk membangun perpustakaan desa, cukup lima tahun saja masyarakat Indonesia akan lebih pintar dari sebelumnya. Bayangkan, betapa hebatnya Indonesia yang begitu kaya ini, dengan masyarakatnya yang cerdas tangkas gara-gara shodaqoh para ahli shodaqoh itu!
Kenapa harus perpustakaan? Kenapa bukan membangun musala? Masjid? Pesantren, dan sebangsanya? Karena biasanya, yang tidak ada hubungannya dengan “tuhan” itu kerap susah dilakukan. Membangun masjid itu seolah lebih berpahala ketimbang membangun perpustakaan. Padahal masyarakat Indonesia butuh banget perpustakaan. Saya kutipkan hasil survei yang dilakukan Integrated BPSDMKP Library Management System ( http://bpsdmkp.kkp.go.id/apps/perpustakaan/ ) di tahun 2014. Dari asil survei yang dirunut dari tahun 2006 sampai 2012, pada tahun 2006, BPS telah mencatat 85.9% masyarakat Indonesia memilih untuk menonton tivi, 40,3% mendengarkan radio, dan hanya 23,5% membaca koran. Tiga tahun berikutnya, 2009, dari Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi (OECD) Indonesia menduduki tempat terendah dalam minat baca di kawasan Asia Timur. Di tahun 2011, UNESCO menyebut, indeks membaca orang Indonesia hanya 0,001 yang berarti dari seribu masyarakat hanya satu yang minat untuk baca buku. Pada tahun 2012, Indonesia menempati posisi 124 dari 187 negara hasil survei IPM yang meliputi kebutuhan primer penduduk Indonesia. Di tahun yang sama, di tahun 2012; UNESCO mencatat bahwa dari SERIBU orang hanya ada satu saja yang mempunyai minat baca.
Mengerikan bukan? Banyak orang menyandang gelar haji di Indonesia, bahkan gelar “haji berkali-kali”. Tapi begitu rendahnya minat baca masyarakatnya. Salah satunya, bukan karena ketidakmauan masyarakat membaca. Tapi, tidak ada yang bisa atau menarik untuk dibaca! Perpustaaannya, di mana-mana macam “kandang kambing” yang tak pernah diup-tudate koleksinya. Bahkan awal tahun 2000an silam, saat saya menjadi mahasiswa Fakultas Sastra dan Filsafat di Universitas Negeri Malang (keren bukan nama fakultasnya), tapi perpustakaannya “cuma berisi” koleksi skirpsi doang! Saya njlimet, bahkan mencari koleksinya Pramodya Anantoa Toer, cuma dapat “Bukan Pasar Malam”. Di perpustakaan universitas lain di Malang, termasuk Unibraw yang beken itu, bahkan jauh lebih “menyakitkan” koleksinya. Di Batam? Bahkan saya tak tahu apakah ada perpustakaan kota! Bukan karena saya kuper, tapi…, ah sudahlah! Ntar saya dikira mengada-ada!
Masyarakat Indonesia terkini, ibarat orang lapar, kalau Anda menyodori pakaian baru, mereka pasti senang, tapi bukan itu yang mereka butuhkan. Sepiring nasi dan lauk-pauk sehat adalah yang seharusnya Anda berikan!
Selamat melamun!