Kringgg…, telepon selulerku berdering. Vibratornya keras menggetar, menggoyang kasur. Merambat getarannya, melewati seprei biru hadiah pacarku. Akhirnya, menyebar sampai ke setiap sel-sel indera perabaku. Membangunkanku.
Ah sialan! Perjuangan hari ini untuk menghabisi diri dengan mimpi-mimpi, tersia-sia. Padahal, sebuah prolog yang aku butuhkan untuk benar-benar bisa menyapa mimpi, masuk ke lorong gelap hari yang bernama tidur, kurang lebih dua jam. Dan, hanya dengan sebunyi kring sialan tadi, semuanya berantakan. Sia-sia, terbuang, melayang.
Pesawat yang masih menyisakan kringg dan vibratornya, teronggok satu meter di ujung kaki, aku ambil paksa. Suara seorang wanita, di seberang sana. Menyapa dengan ketawa.
Gila! Dua jam, sia-sia oleh sebuah ketawa. ”Ah…, Mas sekarang sudah sombong ya? Sudah melupakan Nana…, Sudah tak pernah mampir lagi ke tempat Nana? Sudah tidak sayang lagi dengan Nana? Apa udah punya gandengan lain…,” itu bunyi rentetan kalimat milik wanita, yang setelah menamatkan tawanya dengan sempurna, memberondongku tanpa ampun, tanpa daya. Sebuah pertanyaan manja.
Sebelum berondongannya melukai lebih dalam, sedikit pencetan dari tombol biru telepon selular milikku, mengakhirinya. Menyelamatkanku. Selaiak rompi anti peluru yang dikenakan bos mafia di film-film Tionghoa. Yang ternyata, akhirnya tewas dengan sebuah kata: cinta!
Kring…
Dhrerededededede…
Kring…
Dhrerededededede…
Mati, diam, berikutnya sepi. Dan, usahaku untuk memulai kembali episode mimpi yang sudah hampir masuk dialog, terulang lagi. Berarti, dua jam berikutnya, waktu kembali tersia-sia.
Gedebuk..drung..durung…dhe…, tettertett… Tiba-tiba seonggok musik taik dari tape cempereng masuk menyusup di antara celah-celah lubang kamar kosku. Merancau mengacaukan telinga. Simpul-simpul seluruh syaraf yang sebelumnya sempat mengendap di bawah kesadaran minimal, memuncak lagi ke permukaan. Mengusir sirna rasa kantuk sebelumnya.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Ternyata, begitu mahal arti sebuah ketenangan. Sebuah keheningan. Sebelumnya, di tempat kos lama, aku pindah gara-gara tetangga sebelah, seorang lelaki, hobinya meneriakkan kata-kata cinta lewat corong mikrofon, sambil melulur muka dengan bedak dingin. ”Ini mah gaya metroseksual. Lelaki berlulur sambil karaoke,” begitu katanya. Aku tak mengerti sama sekali.
Di tempat aku kerja, suasana tak jauh berbeda. Berisik bisik-bisik tentang omong kosong dan gosip murahan, ternyata jauh lebih menarik daripada sekedar belajar menggunakan Bahasa Yang Baik dan Benar.
Aku pindah kos dengan sebuah harapan memperoleh ketenangan, keheningan. Sehari, semuanya itu aku dapati. Dua hari, sedikit obrolan omong kosong tetangga kamar menyelinap melewati celah lubang kamar dan masuk ke lubang telinga. Dengan seonggok kapas menempel di kedua lubang telinga, masalah bisa teratasi.
Tiga hari, sedikit musik dan desahan gelinjang birahi, masuk menelingkup. Empat hari, giliran seliweran pantat-pantat dan payudara yang minim tertutupi. Hari kelima, sebuah bisikan menggoda, mendesah-desah di telinga. Menyanyikan dosa.
Hari keenam, omong kosong, musik taik, desahan gelinjang birahi lagi, pantat dan payudara, dan bisikan menggoda itu, menyatu dengan sempurna. Hari ketujuh, kesempurnaan yang menjatu itu, membetotku ke alam mereka. Dan, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk tidak menikmatinya***