: Terimakasih atas pilihan Anda!
Anda pilih mana:
1. Negara yang “katanya” demokratis; bisa berdemo menuntut apa saja, boleh berteriak apa saja, menulis apa saja, merusak apa saja; namun wakil rakyat dan pemerintahnya TULI, tak punya malu, suka korupsi, dan bahkan sudah benar-benar salah pun tak pernah minta maaf.
2. Negara yang “katanya” otoriter; namun wakil rakyatnya tiap minggu membuka tangan, mendengar setiap keluhan warganya, dan langsung bereaksi. Pemerintahnya, tak perlu menunggu hingga muncul belasan korban tewas karena lubang jalan, begitu retak saja, jalan langsung diperbaiki, kebutuhan hidup dibuat stabil.
Lee Kuan Yew sadar, saat lepas dari Malaysia 1965, ia “mewarisi” Singapura yang tercabik-cabik oleh rasisme antara Melayu-China, Singapura yang kumuh dan penuh begundal pemadat, Singapura yang sungai-sungainya seperti lautan sampah, dan rakyatnya yang barbar, dengan seenak udel mereka membuang sampah. Rasisme dan disiplin/mentalitas, adalah dua hal yang terlebih dulu DIURUS Lee, karena dua inilah sumber daya paling hebat yang dimiliki Singapura. Bukan minyak, hutan, gunung emas, atau laut yang luas. Lee mengungkapkan, Singapura adalah “masalah” bagi bangsa di sekelilingnya, dan karena itu Singapura harus benar-benar menjadi mandiri. Saya suka kalimat yang sempat dipopulerkan Anies Basdewan, yang senada dengan cara pandang Lee atas Singapura; “Kekayaan terbesar sebuah bangsa, adalah manusianya.”
Lee, satu kali dalam pidato kenegaraannya tidak menyangkal Singapura dibuat maju karena otoritas mutlaknya. Ia mengungkapkan, ia melihat di banyak negara; menggelar PEMILU dengan biaya yang luar biasa besar, namun yang didapat justru WAKIL RAKYAT dan PEMIMPIN berkualitas JOROK, yang bahkan untuk cebok saja, rakyatnya yang diminta melakukannya. Singapura, kata Lee, tidak ingin demikian. Ia meminta rakyatnya percaya pada dirinya, bahwa ia akan melakukan apa pun yang terbaik untuk Singapura. Saya mempercayai Lee, bukan karena omongan dan janji yang ia ucapkan: tapi segala bukti yang telah ia berikan; termasuk untuk masa depan dua anak saya yang WN Singapura.
Saya mempercayai pilihan Lee, pria yang selalu berhenti makan sebelum kenyang. Pria yang masih membiarkan lantai semen mendasari rumahnya. Pria yang memakai perabot tua buruk yang didapatkan bersama istrinya hingga ajal menemuinya. Pria yang hobi menanam pohon. Pria yang bahkan masih menggunakan jeding kampung dan gayung untuk mandi. Pria yang bahkan, ketika mati, tidak mau menyusahkan orang dan tidak ingin punya kuburan yang akan dikultuskan. Dalam wasiatnya, Lee ingin tubuhnya dikremasi, kemudian abunya dicampur dengan abu istrinya yang lebih dulu meninggal dunia.
Lee kemudian, dengan otoritasnya, memilih setiap anggota PAP, partai yang didirikannya. Lee begitu selektif memilih calon-calon pemimpin Singapura. Tidak hanya cakap, jujur, dan kebanyakan sudah menjadi kaya duluan sebelum jadi wakil rakyat. Lee juga selalu memilih wakil rakyat untuk PAP dari kalangan keluarga harmonis; bapak/suami yang baik, atau ibu/istri yang cergas. Bahkan Lee tidak bisa mentolerir pemimpin yang punya latarbelakang pernah menyelingkuhi pasangannya. Logikanya sederhana, bagaimana seseorang bisa dipercaya untuk mewakili sekian ribu rakyat, jika istrinya saja dibohongi.
Bercerai, bagi Lee, mungkin lebih masuk akal. Tapi berselingkuh, sama dengan kebohongan besar. Pemilu 2012 lalu, wakil rakyat dari daerah Punggol dipecat dan terpaksa pemilihan kembali digelar di wilayah tersebut, karena wakil PAP kedapatan berselingkuh.
Cobalah perhatikan setiap wajah wakil rakyat Singapurap; Anda akan mendapati kesan teduh, dan jauh dari nafsu politis setiap kali menatap wajah mereka.
Di hari pertama kematian Lee, saya menyempatkan diri datang ke Istana. Sekedar mengucap Alfatihah sembari menuliskan secuil rasa duka. Jumat (27/3/2015) malam, pukul 10.55 waktu setempat, saya bersama istri dan kedua anak saya kembali mendatangi Istana untuk berdoa dan menuliskan secuil rasa duka. Antrian masih sangat panjang, meski hari sudah sangat larut dan jenazah sudah dipindahkan ke Gedung Parlemen. Saat pulang, di stasiun-stasiun MRT, pengeras suara mengumumkan pada warga untuk tidak lagi datang ke Padang, tempat di mana antrian warga untuk melihat peti jenazah di Gedung Parlemen mengular. Padang tidak lagi cukup menampung warga yang ingin memberi penghormatan terakhir pada Lee. Meski untuk bisa melihat peti jenazahnya, warga harus antri selama delapan jam.
Seingat saya, hanya ketika Gus Dur wafatlah, situasi serupa kematian Tuan Lee terjadi; masyarakat begitu kehilangan, serta kesedihan ada di mana-mana. Bahkan masyarakat mau bersusah payah untuk memberikan penghormatan terakhir mereka pada orang yang mereka cintai. Dan ini berlangsung selama seminggu!
Hanya orang BAIK yang mendapat CINTA dan penghormatan sedemikian besar. Bukan orang otoriter!
“By-by Mr Lee,” kata anak bungsu saya, Zachary, sesaat seusai kami meletakkan karangan bunga di depan Istana. “See u next time!” ia melanjutkan.
(SY)