Penghujung siang yang gerah. Ketika saya memunculkan diri dalam sebuah forum diskusi sastra resmi, di sebuah hotel pusat kota. Pikiran pertama dan utama yang muncul dalam benak saya, adalah di mana saya bisa mendapatkan
seteguk kopi. Cairan hitam, kental, dengan kepulan
asap tipis di atasnya. Karena saat itu, saya sangat membutuhkannya. Tentu saja untuk sekedar mengganjal mata agar tetap terjaga.
Ya, setengah jam yang lalu, saya terjaga oleh alarm
HP yang saya pasang di penghujung siang. Saya berhasil
bangun. Padahal, biasanya, mustahil untuk saya
lakukan. Karena memang saya bekerja malam.
Untungnya sedini pagi, saya minta ijin pulang lebih
cepat pada atasan saya. Seorang lelaki ramah, juga
ayah dari seuntai bocah, yang seumur kerja saya, tak
pernah marah pada siapa saja. Tentu saja setelah
menyelesaikan pekerjaan saya. Pekerjaan membuat
cerita.
Ketika berjalan dalam pulang, satu yang membuat saya
teramat resah, bagaimana saya memulai untuk
mengistirahatkan simpul-simpul syaraf otak saya.
Karena, ya, saya tergolong orang yang susah berebah.
Saya hanya bisa berebah, ketika seluruh otot-otot
saya, sudah lelah dibuatnya.
Saya masuk kamar. Masih keresahan itu terngiang.
Ketika pintu kamar kos saya buka, teman saya terjaga
dengan kata-kata kacau yang sulit saya mengerti. Saya
kasihan melihatnya. Karena mungkin, kemunculan saya
membuat mimpinya harus terselesaikan lebih cepat.
Semoga saja dia masuk sorga!
Alhamdullilah, untunglah ada onggokan pil sulit
tidur warisan dari rekan saya yang kini telah melempar
diri ke kota tetangga. Saya raih, dan saya minum dua
butir. Saya biarkan bereaksi, sambil meraih koran
ibukota yang kesemua isinya, hanya tentang kedukaan
bumi nusantara.
Pun, akhirnya saya klenger. Dalam ketidakterjagaan,
ndilalah… saya bermimpi.
Dalam mimpi saya, saya menjadi Spiderman. Dengan
seutas tali, saya bergelantungan dari gedung
bertingkat satu ke gedung bertingkat lain. Sesekali
saya menclok sebentar pada kaca-kaca jendela yang
lampu penerangannya belum dimatikan. Saya intip apa
gerangan aktivitas di dalamnya.
Djiancok…, menclokan pertama saya di jendela
sebuah hotel, saya dapati jendelanya sedikit terbuka.
Saya intip apa di dalamnyaa. Astaga, sebuah adegan
mesum. Dua lelaki bule bersetubuh dengan seorang
wanita muda, yang pastinya, atau mungkin, entahlah,
seorang pelacur.
Saya pun terbang kembali.
Menclokan kedua, masih di sebuah jendela hotel yang
tertutup rapat. Namun, tirainya tersingkap. Ah…,
lagi-lagi adegan persetubuhan. Sepasang muda penuh
gairah. Mungkin itu malam pertama mereka.
Berikutnya, saya menclok di sebuah gedung baru,
menjulang, yang ketika saya perhatikan seksama,
bukankah ini gedung kantor saya? Memang, benar adanya.
Dan, saya, dalam mimpi itu melihat saya. Yang detik
demi detik, semakin menua dan tetap menjadi bukan apa-apa. Saya pun sedih, kemudian kabur melayang ke gedung pencakar lainnya.
Dan, ketika dalam sebuah loncatan berikutnya saya yang Spiderman, dering alarm HP saya membangunkan saya. Saya terjaga, dan ketika saya teringat sebuah acara diskusi sastra, dan bersegera mandi, ganti baju, pasang sepatu, untuk kemudian kabur bersama sebuah taksi tak berpendingin.
Ah…, saya lupa minum kopi.
Ketika saya masuk ke dalam ruangan-tentu saja berpendingin, perhatian saya
langsung tertuju meja di belakang forum, yang di sana tertata dengan rapi, gelas-gelas keramik warna susu. Tapi, diancok…, tak ada kopi di anteronya.
Saya pun kemudian mengambil duduk pada deretan memojok. Berharap bisa memperhatikan seantero ruangan. Sambil sesekali mengeluarkan uapan, saya masih terus berharap, ada secangkir kopi panas, kental, dan menggairahkan.
Namun, sejauh itu, angan saya tersia-siakan. Saking beratnya kantuk saya, bahkan mimpi saya yang tadi, sempat tersambungnya. Kini, saya, dengan pakaian ketat merah biru berlogo laba-laba di dada. Saya yang Spiderman, manusia laba-laba itu.
Dan, dengan sekali loncatan, tubuh saya sudah menclok pada setangkai jendela sebuah hotel di pusat kota. Seperti sebelumnya, mata saya pun kemudian melongok-longok keluar. Lho?
Saya perhatikan dengan seksama, saya kucek mata saya, saya goyangkan-goyangkan kepala saya. Itu kan saya yang sedang duduk di deretan belakang, sambil terus menguap? Di antara belasan peserta diskusi sastra? Saya kucek lagi kedua bola mata saya. Saya menggeleng-geleng lagi kepala saya. Karena keheranan saya, kok banyak di antara mereka, termasuk saya, masturbasi berjamaah?!
Ah, memang. Saat ini saya benar-benar butuh secangkir kopi.
Batam, September Minggu ketiga